Menuju konten utama

Tepatkah Opsi Pembiayaan Ibu Kota Baru dengan Tukar Guling Aset?

Berdasarkan perkiraan kasar Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) hasil pengelolaan aset negara itu bisa mencapai Rp150 triliun.

Tepatkah Opsi Pembiayaan Ibu Kota Baru dengan Tukar Guling Aset?
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi sejumlah pejabat terkait melihat peta kawasan salah satu lokasi calon ibu kota negara saat peninjauan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (8/5/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Demi ibu kota baru, pemerintah bakal memanfaatkan aset-aset negara yang berada di jalan Thamrin dan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Aset berupa tanah, bangunan dan gedung yang akan ditinggalkan ketika pemerintahan pindah ke ibu kota baru itu rencananya akan disewakan hingga ditukargulingkan.

Pengelolaan aset tersebut dinilai bisa mengerek pemasukan pemerintah dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Berdasarkan perkiraan kasar Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) hasil pengelolaan itu bisa mencapai Rp150 triliun.

Angka tersebut akan dipakai untuk menambah kebutuhan anggaran ibu kota baru yang bersumber dari APBN. Sebesar Rp93 triliun di antaranya akan digunakan untuk membangun istana pangkalan militer serta penyediaan rumah dinas. Secara umum, biaya pemindahan ibu kota negara sendiri diperkirakan mencapai Rp466 triliun.

Meski demikian, ekonom Institue for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pesimistis bahwa pengelolaan aset milik negara itu bisa menghasilkan PNBP jumbo dalam waktu singkat.

Sebab, aset-aset itu harus diinventarisasi ulang dan dihitung kembali nilai-nilainya. Jika harganya ternyata menyusut, bukan tidak mungkin pemerintah harus menambah daftar aset yang bakal 'dilego'.

Apalagi, menurut Bhima, swasta akan cenderung memilih gedung baru ketimbang menyewa bangunan-bangunan lama milik pemerintah.

"Aset itu juga kan mengalami depresiasi, khususnya dari nilai bangunannya. Intinya swasta kalau mau milih mikir dua kali deh. Dari segi faktor risiko dan aspek safety juga swasta akan cenderung mencari bangunan baru," ujar Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (8/7/2019).

Lantaran itu, menurut dia, dalam membangun ibu kota baru pemerintah harus lebih kreatif, terutama menggandeng swasta dengan skema Kerja sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).

Bhima mengatakan pembangunan berpotensi molor jika hanya mengandalkan pengelolaan aset. Hal itu karena dari sisi pendanaan pemerintah harus menunggu pihak swasta yang mau menyewa atau menukar guling aset-aset tersebut.

"Makannya di samping nilainya enggak akan terlalu signifikan. Kontribusi APBN dari PNBP enggak akan terlalu besar dan prosesnya memakan waktu lama juga," imbuhnya.

Direktur PNBP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wawan Sunarjo mengatakan, total pendapatan yang masuk ke negara dari pemanfaatan aset sendiri masih sangat kecil nilainya. Angka itu bahkan hanya sekitar 1 persen dari total realisasi PNBP di tahun 2018 yang mencapai Rp407 trilun.

"Sementara ini PNBP dari pemanfaatan aset baru Rp4 sampai Rp5 Triliun. Dengan kondisi apa adanya, ya. Artinya gedung di Thamrin pun masih dipakai sendiri," ucap Wawan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (8/8/2019).

Wawan berharap kantong PNBP dapat bertambah setelah pemerintah mengelola aset-aset yang bakal ditinggalkan tersebut. Namun, kata dia, prosesnya akan butuh waktu lantaran nilainya sudah jauh berbeda saat aset tersebut dibangun.

"Pemasukan sekarang kecil karena gedung-gedung, kan, paling banter disewakan untuk ATM atau katakan lah kantor cabang dan lain-lain. Butuh proses memang, butuh penilaian ulang yang mudah-mudahan bisa lebih baik," imbuh dia.

Perlu Kajian Matang

Dalam kesempatan berbeda, Sekretaris Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Dedy Syarif Usman mengatakan skema tukar guling aset memang jarang dilakukan oleh pemerintah. Dari aspek legal, tukar guling aset diatur dalam Peraturan Pemerintah 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah.

"Seingat saya, memang sangat jarang, skema tukar guling dilakukan. Karena pembahasan kerja samanya juga panjang. Dan ada ketentuan-ketentuan turunannya dam bentuk Peraturan Menteri," ucapnya kepada reporter Tirto, Kamis (8/8/2019).

Beberapa Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud adalah No.96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN; Keputusan Menteri Keuangan No.31/KM.6/2008 tentang Pendelegasian Weawenang di Lingkungan Ditjen Kekayaan Negara, serta Surat Menteri Keuangan No.S-90/MK.6/2009 perihal Barang Milik Negara Berupa tanah dan/atau Bangunan Idle.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Lisman Manurung menilai rencana pemerintah melego aset Jakarta untuk pembiayaan pemindahan ibu kota seharusnya melewati dialog yang cukup panjang dan melibatkan publik.

"Bagaimana pun setiap pilihan kebijakan yang ditempuh pemerintah harus mengajak publik ikut membahas. Karena ini bukan sesuatu yang definitif," kata Lisman saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (8/8/2019).

Lisman beralasan hingga saat ini pemindahan ibu kota juga belum disetujui oleh dewan dan memiliki dasar hukum yang kuat dalam bentuk Undangan-undang. Karena itu, menurut dia, opsi pembiayaan dengan cara melego aset jangan buru-buru diketok.

"Ini belum ada Undangan-undang dan kemungkinan berubah. Memang sah-sah aja. Tapi kalau bisa didialogkan dulu, lah" ujarnya.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan