Menuju konten utama

Tentang Tuduhan Mahathir Bahwa Bugis adalah Bajak Laut

Najib Razak dilanda kasus korupsi, dan Mahathir Muhammad mengungkit asal-usul Najib sebagai orang Bugis yang merompak.

Tentang Tuduhan Mahathir Bahwa Bugis adalah Bajak Laut
Mahathir Muhammad

tirto.id - Padang Timur, Selangor, Malaysia, jam setengah sebelas malam. Ribuan orang mengenakan pakaian serba merah berkerumun menatap panggung yang dihiasi slogan "Sayangi Malaysia, Hapuskan Kleptokrasi". Mahathir Mohammad, yang menjadi pemimpin mereka, berpidato.

Mahathir Mohamad: "Hari ini masalahnya luar biasa. Kerana apa dia luar biasa? Sebabnya kerana kita dipimpin oleh seorang Perdana Menteri pencuri, penyamun, perompak. Nah inilah negara kita hari ini. Tak pernah berlaku semacam ini di mana perdana menteri adalah seorang perompak. Mungkin karena dia berasal dari lanun bugis. Entah bagaimana dia sesat sampai ke Malaysia. Pergi baliklah ke Bugis."

Dalam tiga tahun ke belakang isu korupsi skandal dana 1Malaysia Development Berhad (1MDB) memang lekat dengan sosok Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. The Wall Street Journal melaporkan dana sebesar 700 juta dolar AS mengalir ke rekening pribadi Najib dari Maret hingga April 2013. Sedangkan The Guardian menyebut setidaknya 30 juta dolar AS disalahgunakan untuk membeli perhiasan istri Najib Razak.

Baca juga: Pertaruhan Nasib Najib Razak Dalam 1MDB

1MDB dibentuk Najib pada 2009 guna menghimpun dana pembiayaan proyek infrastruktur di Malaysia. Caranya dengan joint venture, penjualan obligasi, penjualan aset negara dan kerja sama investasi asing langsung. Namun setelah 1MDB diketahui memiliki utang 11,73 miliar dolar AS, skandal korupsi di balik proyek ini mulai diungkap satu per satu.

Terjebak Stereotipe

Usaha mengungkap skandal kasus korupsi di Malaysia yang dilakukan oleh pejabat publik patut diapresiasi, tetapi mengaitkan skandal ini dengan ke-Bugis-an Najib membuktikan stereotipe etnis merasuk dalam ucapan Mahathir. Di dalamnya, ada pandangan bahwa orang-orang Bugis itu lanun dan karena itu mesti angkat kaki dari Malaysia.

Adrianus Bernard Lapian, dalam Bajak Laut, Orang Laut, Raja Laut, menyebutkan kata "lanun" berakar dari kata "I lanao en" yang berarti "orang dari danau". Kata itu merujuk bajak laut di sekitar Sulawesi bagian utara – yang amat jauh dari wilayah asal Bugis di Sulawesi bagian selatan. Para lanun itu banyak beraktivitas di pesisir pantai di sekitar Kesultanan Sulu.

Baca juga: Wapres JK Protes Ucapan Mahathir Mohamad Soal Suku Bugis

Mengidentifikasi Bugis dengan laut, dan bahkan bajak laut, bukan stereotipe baru. Antropolog asal Perancis, Christian Perlas, dalam The Bugis, menyebutkan orang-orang Bugis dianggap telah lama menjadi pelaut karena kapal-kapal mereka terlihat di seluruh kawasan, dari Singapura ke New Guinea dan dari selatan Filipina ke barat laut Australia. Bahkan kapal-kapal Bugis disebut melintasi Samudera Hindia ke Madagaskar.

Lekatnya orang-orang Bugis dengan bajak laut juga tercermin dalam istilah the bogeyman yang dianggap berakar pada kata "bugis" dan "man". Kata ini kerap digunakan untuk mengancam anak-anak, contohnya sebagai berikut ini.

“Kalau kamu tidak menurut, the bogeymen akan menculikmu!”

Padahal, meneurut Perlas, sebenarnya orang-orang Bugis adalah petani. Orang-orang Bugis mengembangkan pertanian dari sagu (di Luwu), pisang (di Mandar), dan padi. Kedekatan orang-orang Bugis dengan pertanian pun tercermin dalam mitos dewi padi Sangiang Serri.

Infografik Bugis di Mata Tetangga

Narasi Lain Mengenai Bajak Laut

Menurut Perlas, anggapan orang-orang Bugis sebagai bajak laut tidak tepat. Perlas menemukan sedikit sekali sumber abad ke-19 yang secara langsung menyebut orang Bugis sebagai perompak. Bahkan dalam laporan yang ditulis pada 1846 oleh pemerintah kolonial Belanda, orang-orang Bugis hampir tidak disebut dalam daftar nama perompak. Padahal dokumen itu laporan paling rinci di zamannya mengenai perompakan di Hindia Belanda.

Perlas malah menemukan fakta sebaliknya. Beberapa catatan navigator menyebutkan pos perdagangan dan kapal orang-orang Bugis menjadi sasaran perompakan.

“Tidak pernah terdengar satu contoh pun mengenai perompakan yang dilakukan oleh pedagang Bugis; dan sebaliknya, telah sampai pada pengetahuan saya yang mengarah pada membuktikan bahwa kecenderungan yang terjadi justru sebaliknya,” sebut navigator Inggris G.W. Earl yang pada tahun 1837 menulis Eastern Seas yang dikutip Pelras.

Pedagang Dalton yeng bermarkas di Singapura mengadakan pelayaran dari Singapura ke Samarinda pada 1827. Haluan armada kapalnya dihiasiai Melayu Kutei dan Bugis.

“Bahaya utama muncul dari banyak bajak laut yang menjelajah di banyak pulau di belahan dunia di sini. Utamanya pulau Lingin [Lingga]. . . haluan kapal Melayu dan Bugis adalah objek favorit mereka,” sebut Dalton.

Baca juga: Legenda Bajak Laut Berlanjut

James Brooke juga mencatat adanya Lanun yang menjarah orang-orang yang tinggal di kawasan Teluk Bone dan tempat-tempat lain di Sulawesi. Sedangkan Singapore Free Press edisi 31 Oktober 1851 menerbitkan berita mengenai penangkapan seorang raja Mandar oleh armada Lanun lainnya.

Menurut Pelras, catatan ini bukan menyangkal bahwa beberapa orang Bugis mungkin telah menjadi anggota atau bahkan pemimpin bajak laut seperti yang dinyatakan Singapore Free Press edisi 24 Oktober 1851. Dalam surat kabar itu disebutkan ada serangan “bajak laut di bawah dua kepala suku Bugis” di Pulau Bawean, Hindia Belanda, pada 1850.

“Tampaknya beberapa raja yang terlibat dalam perompakan di Sulawesi Tengah (Kaili), Kalimantan bagian timur dan tenggara (Pegatan) atau selat Singapura adalah keturunan Bugis,” sebut Pelras.

Mengutip analisis yang dilakukan Cornets de Groot, Pelras mengatakan perompakan mungkin telah berkembang pada paruh pertama abad ke-19 sebagai konsekuensi menurunnya hasil perdagangan orang-orang Bugis yang terhambat monopoli Belanda.

Situasi kemudian berubah karena beberapa faktor. Di antaranya: penghapusan monopoli Belanda di Maluku, deklarasi Makassar sebagai pelabuhan bebas, dan langkah-langkah serupa lainnya. Faktor-faktor itu mendorong perdagangan laut menjadi lebih hidup. Dampaknya, laut menjadi ramai, patroli keamanan meningkat, sehingga pembajakan nyaris tidak muncul lagi di kawasan yang disebut Pelras setelah 1850.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS