Menuju konten utama
Miroso

Tengkleng dan Khazanah Perkambingan di Solo

Tengkleng lahir karena ketiadaan daging, dan masyarakat mengolah limbah daging kambing dengan berbagai bumbu.

Header Miroso Tengkleng. tirto.id/Tino

tirto.id - Beberapa waktu yang lalu saya sempat menginap di kota Solo. Di hari itu, saya menyempatkan diri untuk menikmati kembali sate dan tengkleng kambing ala Solo setelah sekian lama absen. Sebenarnya sejak menikah, saya lumayan sering menginap di Solo terkait acara keluarga. Sebelum itu, karena rumah saya tak terlalu jauh dari Solo, saya biasanya hanya tulak, yaitu berangkat pagi, pulang malam. Waktu yang saya habiskan di Solo pun tak terlalu lama kecuali ada acara khusus.

Tapi, karena seringnya menginap di Solo akhir-akhir ini, saya jadi menyadari bahwa hampir di setiap jalanan besar Solo, terdapat paling tidak satu warung sate kambing. Solo sendiri selama ini lebih saya kenal sebagai kota timlo, serabi, atau nasi liwet. Tak pernah saya sadari bahwa Solo justru dipenuhi oleh warung-warung sate kambing.

Sate kambing di Solo tampaknya memang bukan termasuk makanan ikonik, bukan tipe makanan yang dijadikan “identitas” kota Solo. Sate kambing ini justru tampaknya menjadi makanan yang lebih dekat pada masyarakatnya, dibandingkan dengan turis-turisnya.

Saya tidak pernah secara khusus mencari sate kambing hingga ke Solo. Meskipun begitu, sejak saya remaja, setiap ke Solo, ibu saya sering mengajak saya untuk menikmati hidangan sate kambing. Saya lupa nama warungnya, tapi letaknya dekat dengan rel kereta. Sate yang dipesan kerap kali adalah sate buntel.

Di masa itu, saya tidak banyak berpikir panjang dan rumit. Anggapan saya sederhana: Ibu sedang ingin sate kambing. Tapi kini, saya jadi lebih berpikir. Kenapa banyak sekali warung sate kambing di kota Solo ya?

Uniknya, setiap saya bertanya pada beberapa kawan, kenalan dan keluarga yang bisa dikatakan warga Solo, saya selalu mendapatkan jawaban yang sama: mereka tidak tahu kenapa. Mereka sadar bahwa kotanya dipenuhi oleh warung sate kambing, tapi tak pernah terpikir kenapa bisa begitu.

Namun dari hasil riset agak lebih dalam, usut punya usut maraknya kehadiran sate kambing ini tak lepas dari keberadaan komunitas Arab yang mendiami kawasan Pasar Kliwon. Pasar Kliwon yang saya sebut di sini bukanlah nama suatu pasar, melainkan nama kecamatan di Solo.

Menurut sejarah panjangnya, komunitas Arab ini mulai mendiami kawasan Pasar Kliwon semenjak Belanda mulai menerapkan politik segregasi di tahun 1863. Kebijakan Wijken Stelsel memisahkan etnis-etnis luar dan menempatkan golongan asing etnis di wilayahnya masing-masing. Etnis Cina ditempatkan di kelurahan Sudiroprajan, sementara etnis Arab di kawasan Pasar Kliwon.

Di kawasan Pasar Kliwon inilah tampaknya dunia kuliner perkambingan Solo dimulai. Kuliner Arab dihidupkan oleh komunitasnya, dan kambing merupakan salah satu sajian yang banyak digemari oleh anggota komunitas tersebut. Tak heran warung-warung yang menjual sate kambing pun bermunculan. Warung-warung ini terkadang tak hanya menyajikan sate kambing, namun juga berbagai kuliner lain yang bernafaskan Timur Tengah.

Seiring berjalannya waktu, pekerja-pekerja di warung-warung Arab yang umumnya orang Jawa ini belajar banyak mengenai ilmu tentang sate kambing dan perwarungan yang dari bosnya. Para pekerja ini pun lantas berusaha mandiri dan berani membuka warung sate kambingnya sendiri, di segala penjuru Solo. Mereka tak lagi hanya dapat ditemukan di kawasan Pasar Kliwon. Warung-warung sate kambing bermunculan di pinggir-pinggir jalan dan rasanya semakin merangkul cita rasa masakan Jawa.

InfografIk Miroso Tengkleng

InfografIk Miroso Tengkleng. tirto.id/Tino

Kegemaran akan daging kambing ini, pada satu masa juga melahirkan makanan yang kini menjadi salah satu makanan khas Solo: tengkleng.

Sejak dulu kala, dalam hal perdagingan ini memang selalu tercipta kelas-kelas, atau kasta. Kasta perdagingan tertinggi tentu saja hanya bisa didapat oleh orang Belanda dan keluarga raja.

Menurut Heri Priyatmoko, Dosen Prodi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, tengkleng ini lahir di masa penjajahan Jepang. Saat itu bahan makanan mulai susah didapatkan, apalagi daging. Masyarakat Solo harus memutar otak agar tetap dapat menikmati lezatnya sajian kambing yang dulunya mungkin biasa mereka makan.

Akibatnya, sisa-sisa kambing seperti tulang, jeroan, kuping, kepala dan seisinya yang dianggap limbah tak berharga, diolah dengan menggunakan aneka bumbu rempah.

Di masa penjajahan Jepang ini, limbah tak hanya dikonsumsi oleh rakyat kelas terbawah, tapi diolah sedemikian rupa agar dapat pula dinikmati oleh kelas-kelas di atasnya. Bumbu yang digunakan pun cukup lengkap, mulai dari jahe, kunyit, serai, daun jeruk segar, kayu manis, daun salam, cengkeh, lengkuas, bawang putih, bawang merah, kemiri, hingga pala.

Terbayang enaknya, bukan?

Nama tengkleng sendiri berasal dari suara kleng-kleng saat tulang-tulang itu berbenturan dengan piring seng yang digunakan oleh masyarakat bawah. Meski begitu, kini tengkleng sudah naik derajat. Tengkleng disajikan pula di piring-piring keramik terbaik.

Melalui perjalanan panjang, tengkleng akhirnya menambah maraknya dunia kuliner perkambingan di Solo. Sate kambing memang tidak menjadi identitas kuliner Solo, sebab ada terlalu banyak jenis sate kambing dalam kamus kuliner Indonesia.

Namun tengkleng berhasil menjadi identitas kuliner kota Solo.

Warung-warung sate tak hanya menjual sate kambing, namun juga tengkleng – yang rupanya makin digemari justru karena sensasi mbrakoti tulangnya. Daging-daging yang menempel pada tulang, rontok dengan mudahnya, memberikan tekstur daging yang sangat lembut.

“Kalau mau tengkleng, belinya ya di Solo. Aslinya. Yang di Jogja, walaupun namanya sama, tapi sering rasanya jauh,” ujar seorang kawan.

Tengkleng di Solo memang memiliki kuah yang berwarna lebih bening dibandingkan dengan tengkleng di Yogyakarta. Meski dikatakan mirip dengan gulai, tengkleng ini sama sekali tidak menggunakan santan. Untuk rasa sendiri, tengkleng Solo mempunyai cita rasa yang cenderung gurih dan pedas. Sementara di Yogyakarta, seperti biasa, mempertahankan identitasnya dengan memberi rasa manis yang cukup kuat pada tengkleng-tengklengnya.

"Orang Solo ini berani-berani," ujar bapak mertua saya saat menyantap sepiring tengkleng di siang hari. "Gimana nggak berani, pagi-pagi jam 7 saja sudah banyak warung sate kambing yang buka. Sate kambing sama tengkleng kok ya untuk sarapan."

Memang iya sih, di Jogja tempat saya tinggal, rata-rata warung sate kambing baru buka pukul 10 pagi. Itu pun biasanya baru ramai di malam hari. Di Solo, hari bisa saja dimulai dengan menyantap sate kambing dan tengkleng.

Sungguh sarapan para pemberani.

Baca juga artikel terkait TENGKLENG KAMBING atau tulisan lainnya dari Rizkie Nurindiani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono