Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Tendangan Zvonimir Boban: Kroasia di Antara Takut dan Nyali Besar

Bagaimana tendangan Zvonimir Boban ke dada Refik Ahmetovic menjadikan Kroasia seperti sekarang.

Tendangan Zvonimir Boban: Kroasia di Antara Takut dan Nyali Besar
Zvonimir Boban (kanan) melancarkan tendangan ke arah polisi dalam pertandingan antara Dinamo Zagreb melawan Red Star Belgrade di Maksimir Stadium, Zagreb, 13 Mei 1990. FOTO/Istimewa

tirto.id - Dalam banyak hal, sepakbola dapat menjadi alegori sejarah sosial masyarakat yang membentuk dan dibentuknya.

Rivalitas Pele dan Diego Maradona adalah alegori atas kompetisi Brasil dan Argentina dalam kehidupan politik regional di Amerika Selatan. Dendam berkarat Belanda versus Jerman adalah warisan Perang Dunia II dan sentimen yang telah mengurat antara keduanya pernah diwakili Johan Cruyff dan Franz Beckenbauer di atas lapangan hijau. Sementara pekik kemerdekaan bangsa Kroasia direpresentasikan melalui tendangan Zvonimir Boban ke dada Refik Ahmetovic.

Laga itu selalu diingat sejarah: Dinamo Zagreb versus Red Star Belgrade, stadion Maksimir, 13 Mei 1990. Kedua kelompok suporter, Bad Blue Boys (Dinamo Zagreb) dan Delije (Red Star Belgrade), terlibat kerusuhan hingga meluber ke lapangan. Kepolisian Serbia kemudian menangkap seorang anggota Blue Boys bernama Bruno Sirok. Di tengah lapangan itu pula ia dipukuli dan dipentungi berkali-kali.

Zvonimir Boban, saat itu masih berusia 21 tahun tapi sudah menjadi kapten Dinamo Zagreb, menyaksikan adegan tersebut. Darah mudanya mendidih. Terlebih kepolisian Serbia melakukan tebang pilih: memburu pasukan Bad Blue Boys dan sengaja membiarkan kelompok Delije. Maka, adegan monumental itu berlangsung: dari jarak tak terlampau jauh, Boban berlari kencang dan sejurus kemudian menendang dada Ahmetovic.

Bruak!

Keruntuhan Yugoslavia

Sejak kematian Josip Broz Tito, Presiden Republik Rakyat Federal Yugoslavia pada 4 Mei 1980, perpecahan segera menggerogoti negara-negara Balkan. Kroasia, Serbia, Slovenia, dan Montenegro, yang berada di bawah satu bendera, menuntut kemerdekaan. Dan keinginan ini pun ditunjukkan lewat segala medium: sidang parlemen, tembok-tembok di jalanan, sekolah, poster, hingga sepakbola—yang merembet pada perseteruan antara suporter.

Hanya saja kisruh pada 13 Mei 1990 itu memiliki tensi lebih tinggi dari biasanya. Beberapa pekan sebelumnya, partai yang mendukung kemerdekaan Kroasia memenangi pemilihan umum. Ini membuat semangat pasukan Bad Blue Boys kian berlipat saat mendukung timnya menghadapi Red Star Belgrade.

Pemimpin Serbia kala itu, Slobodan Milosevic, yang mengetahui situasi bakal memanas, mengirim sekitar 3.000 anggota Delije untuk hadir ke stadion Maksimir di bawah komando Zeljko Raznatovic atau dikenal dengan panggilan Arkan, seorang nasionalis Serbia yang belakangan menjadi penjahat perang.

Kerusuhan sudah dimulai bahkan sebelum laga, dan makin parah di dalam stadion. Bad Blue Boys berulang kali melempari Delije dengan batu. Tak lama, usai merobek papan iklan, pasukan Delije ganti menyerang Bad Blue Boys dengan kursi tribun dan belati.

Ketika para suporter merangsek ke lapangan, para pemain kedua kubu segera dievakuasi ke ruang ganti. Namun, beberapa pemain Dinamo, termasuk Zvonimir Boban, tetap di lapangan guna membantu para suporter mereka.

“Di mana polisi? Di mana polisi?” teriak Boban, sebagaimana bisa kita tonton dalam film dokumenter The Last Yugoslav Football Team.

Kurang lebih satu jam kerusuhan berlangsung. Ratusan suporter maupun polisi terluka. Sementara itu, akibat tendangan kungfunya tersebut, Asosiasi Sepakbola Yugoslavia (FSJ) menjatuhi Boban sanksi larangan bermain selama enam bulan. Ia pun tidak dapat mengikuti Piala Dunia 1990. Tetapi Boban, toh, tak peduli. Itulah harga yang memang mesti ia tanggung demi kemerdekaan bangsanya.

Dalam satu wawancara, Boban mengatakan: “Di sinilah saya, di hadapan publik, saya siap mempertaruhkan nyawa, karier, dan segala ketenaran. Semua ini demi sebuah idealisme: Demi Kroasia.”

Pada 25 Juni 1991, Kroasia akhirnya merdeka.

Kesalahan Umpan Itu ... Semifinal Piala Dunia 1998

Dalam esai berjudul "Political Football: Zvonimir Boban", Simon Kuper mengutip pernyataan profesor filsafat di Kroasia, Zarko Puhovski: “Kroasia tidak butuh satu dekade untuk membuat Boban menjadi mitos nasional.”

Puhovski benar. Tendangan Boban ke dada Ahmetovic dianggap rakyat Kroasia sebagai katalis pembangkit nasionalisme bangsa. Itulah kenapa kini di stadion Maksimir terdapat patung sang hero yang menyerupai seorang prajurit dan di bawahnya terpahat tulisan: “Kepada pendukung klub ini, yang memulai perang dengan Serbia di stadion ini pada 13 Mei 1990.”

Namun, bagi Kuper, bukan Boban yang menjadi aktor utama pengobar Perang Balkan, melainkan para politikuslah yang menciptakan peperangan tersebut.

Sebagaimana yang ia tulis dalam esai yang sama: “Klaim itu salah. Politikus, bukan Boban, yang memulai perang. Tendangannya dan huru-hara di pertandingan—hanya disampaikan kepada pemirsa TV Yugoslavia ... bahwa ketegangan antara Serbia dan Kroasia akan menyebabkan perang di negara mereka.”

Bagi Boban, tendangan kungfunya mungkin bukan hal paling berkesan dalam karier sepakbolanya, betapapun hal itu membuatnya dimitoskan dan dianggap pahlawan. Apa yang akan terus ia ingat di lapangan hijau justru kesalahan umpannya dalam laga semifinal Piala Dunia 1998 antara Kroasia melawan Perancis.

Umpan Boban yang keliru berhasil dimanfaatkan Youri Djorkaeff, lalu penyerang Perancis ini memberi bola terobosan kepada Lilian Thuram. Terjadilah gol penyama kedudukan. Perancis akhirnya menang 2-1.

Mungkin ingatan kemenangan atau simbolisasi terhadap tendangan Boban kepada polisi Serbia bisa jadi jauh lebih penting bagi rakyat Kroasia ketimbang kepedihan hati Boban kala itu. Kepecundangannya tentu akan termaafkan, tapi segala hal telah menjadi berbeda setelah laga usai. Dan persis di titik inilah sepakbola memperlihatkan kembali betapa ia dapat menjadi representasi dari rumitnya kehidupan.

Franjo Tudjman, presiden pertama Kroasia, seorang nasionalis yang berkepala batu sekaligus penggemar sepakbola yang cerdik, suatu ketika pernah mengatakan: “Seperti halnya kejayaan di medan perang, menang di lapangan hijau juga bisa membentuk identitas sebuah bangsa.”

Tudjman tak asal omong. Ketika sepakbola dan Boban bertemu di Zagreb, keduanya kemudian menjadi wakil dari gema Kroasia yang menginginkan merdeka. Hanya saja, di Stade de France pada 8 Juli 1998, kekalahanlah yang membentuk Kroasia, wabilkhusus Boban. Dan, jika perjuangan melawan kekalahan adalah perjuangan melawan lupa, Boban telah melakukan itu semua dengan sehormat-hormatnya.

Final Piala Dunia 2018: Rasa Takut atau Nyali Besar

Sepakbola memiliki sihir yang mampu melampaui segala pencapaian akal manusia. Filsafat, sastra, film, musik mungkin membantu manusia memahami dan membuat hidup jadi lebih mudah. Namun, dalam hal mengobarkan antusiasme atau mengobati apati dan putus asa, semua hal ini takluk di hadapan sepakbola. Terutama dalam pagelaran agung bernama Piala Dunia.

Nyaris tak mungkin bagi negara yang baru tujuh tahun merasakan kemerdekaan seperti Kroasia, di mana tiap lini kehidupan masih patah-patah dan sedang disusun ulang, langsung mampu menjadi juara ketiga dalam keikutsertaannya yang pertama pada Piala Dunia. Mungkin di sinilah letak teka-teki psikososial sepakbola yang kerap menyaru jadi magi lewat pertunjukan kaki-kaki dan taktik di lapangan.

Di hadapan 45 ribu orang yang memadati Parc des Princes pada 11 Juli 1998, gol-gol Davor Suker dan Robert Prosinecki membungkam gemuruh pendukung tim Oranye yang sebelumnya unggul 1-0 di babak pertama lewat Boudewijn Zenden. Kroasia menang 2-1 dan mereka berhak meraih medali perunggu.

Kroasia 98 memang tampil selayaknya sebuah bangsa pinisepuh yang merdeka hanya demi sepakbola. Enam gol dicetak Davor Suker dan menjadikannya topskor turnamen. Berkali-kali Robert Jarni mempertontonkan penetrasi kilat di sayap kiri hingga membuat Roberto Carlos tampak seperti anak bawang. Igor Stimac menjadi benteng kokoh di pertahanan. Sementara Boban adalah sang konduktor yang menjaga harmoni orkestrasi permainan.

20 tahun berselang, ketika mayoritas angkatan 98 sudah mencapai usia setengah abad, Kroasia kembali hadir dengan magi sepakbola mereka. Kali ini, melalui duet maut Ivan Rakitic dan Luka Modric di lini tengah, mereka bahkan sukses menembus final Piala Dunia 2018 kendati harus ditempuh cara yang berdarah-darah: dua kali melewati babak adu penalti (Denmark di 16 besar, Rusia di perempat final) dan satu kali perpanjangan waktu (Inggris di semifinal).

Dalam final yang digelar di Stadion Luzhniki, malam nanti (15/07/2018), Kroasia akan bertemu dengan Perancis, tim yang dalam turnamen ini memiliki kekuatan relatif seimbang. Diakui atau tidak, Kroasia akan meladeni laga ini dengan membawa misi balas dendam.

Data head to head Whoscored menunjukkan, dari 6 laga yang telah dijalani di Piala Dunia 2018 Kroasia unggul sedikit dalam hal membobol gawang lawan dengan torehan 12 gol. Adapun Perancis baru 10 gol. Tim asuhan Didier Deschamps tersebut lebih unggul dalam eksekusi bola mati dengan mencetak 2 gol, sementara Kroasia hanya 1. Namun, dalam skema open play, Kroasia berhasil melesakkan 8 gol, berbanding 5 gol dengan Prancis.

Hanya saja, dalam empat pertemuan sebelumnya, Perancis tak pernah kalah dari Kroasia. Perinciannya: menang 4 kali dan imbang 2 kali. Perancis mencetak 6 gol dan menerima 4 kartu kuning, sementara Kroasia hanya mencetak 3 gol dan mengoleksi 8 kartu kuning.

Dengan melihat data tersebut, di atas kertas, final nanti (semestinya) berlangsung seru. Terutama di lini tengah ketika duet Rakitic - Modric berhadap-hadapan dengan Paul Pogba dan N’golo Kante. Namun, ada baiknya mengingat ucapan Eduardo Galeano sebelum berharap final Kroasia versus Perancis dapat melahirkan laga sengit:

“Sebuah gol adalah orgasme sepakbola. Dan sebagaimana orgasme, kini gol-gol jarang tercipta dalam kehidupan modern. Sepakbola modern mengutuk segala hal yang sia-sia karena dianggap merugikan.”

Secara sederhana, ucapan Galeano tersebut—banyak orang mengistilahkannya sebagai “Soccer Orgasm”—dapat diartikan sebagai kejemuannya kala menyaksikan sepakbola modern yang kerap bermain aman demi meraih kemenangan (keuntungan). Namun, apa boleh bikin, memang begitulah cara sepakbola modern bekerja.

Dalam pengertian yang lebih ekstrem, sepakbola modern bagi Galeano dimainkan dengan rasa takut. Takut bermain menyerang, takut bermain terbuka, takut membuat kesalahan dan menerima kekalahan karena semua ingin menjadi pemenang. Atas nama taktik dan strategi, demi jargon “keseimbangan tim”, bek-bek ditumpuk, kebebasan dikekang, kreativitas ditumpulkan. Barisan gelandang diperintahkan untuk lebih sering menarik kaos lawan, sementara para penyerang kerap diminta untuk berpura-pura meringis kesakitan.

Dengan sikap seperti itulah sepakbola modern dimainkan. Maka, tak heran, jika sebuah final turnamen bergengsi yang diharap dapat menyuguhkan laga dengan banyak gol dan klimaks yang menguras emosi, justru hanya menjadi panggung drama bagi para aktor berbakat yang memainkan naskah buruk.

Setelah sihir “Magical Magyars” Hungaria pada medio 1950-an dan atraksi “Jogo Bonito” Brazil tahun 1970 menjadi artefak sejarah, kini sepakbola acap ditentukan oleh data statistik dan keputusan tim Video Assistant Referee (VAR) di lapangan. Sebagaimana yang sempat dijelaskan oleh Chris Anderson dan David Sally dalam buku mereka yang terkenal The Numbers Game:

“Satu gol lebih baik daripada tidak mencetak gol: 1 > 0. Tapi menjaga agar tidak kebobolan lebih bernilai ketimbang mencetak satu gol: 0 > 1.”

Dalam final nanti, Kroasia tentu dapat memilih: Bertanding bersama rasa takut demi meraih kemenangan, atau bermain dengan nyali besar seperti kala Boban menghajar Ahmetovic.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS