Menuju konten utama

Tenang Bersama Sigur Ros

Bagaimana bisa ketika musik yang diciptakan dengan penuh rasa cinta dan kerendahan hati justru acapkali dianggap membosankan?

Tenang Bersama Sigur Ros
Band asal Islandia, Sigur Ros tampil dalam sebuah festival musik Internasional, Neonlights Festival di Fort Canning, Singapura, (27/11/16). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Suatu malam, Josh Baines sedang nongkrong di apartemen temannya. Di sana, mereka menghabiskan waktu dengan merokok, minum beberapa kaleng bir, melempar tawa satu sama lain, dan berbincang begitu asyik, seperti tanpa beban.

Di tengah kehangatan itu, si teman Baines punya inisiatif untuk memutar musik agar suasana makin syahdu. Baines tak menolak. Dalam benak Baines, temannya bakal memutar musik ambien Brian Eno atau mungkin Stars of the Lid yang menurutnya cocok menemani santai mereka.

Namun, harapan Baines luput. Si teman rupanya memainkan lagu Sigur Ros. Ia terhenyak dan tanpa pikir panjang langsung cabut sembari bergumam dalam hati bahwa pertemanan mereka selama ini palsu belaka.

Kisah tersebut dituturkannya dalam “Is Sigur Ros Just Music for Adult Babies?” yang terbit di Noisey. Baines benci Sigur Ros. Baginya, musik-musik Sigur Ros merupakan musik “untuk bocah manja.” Pasalnya, mereka yang mengidolakan Sigur Ros hanyalah “orang-orang yang tidak bisa menghadapi kenyataan tapi berpura-pura bahwa hidup selalu indah.”

Selain faktor itu, alasannya mengutuk Sigur Ros ialah musik yang dihasilkan mereka dalam tujuh album sungguh membosankan. Tanpa vokal serta bunyi alat gesek yang dilebih-lebihkan membuat musik mereka, sekali lagi kata Baines, “terdengar seperti megah namun tidak selalu berarti bagus.”

“[...] Sigur Rós menciptakan musik yang membuat tim pengisi soundtrack film “dokumenter indah” mempunyai alasan untuk berterima kasih kepada Tuhan setiap harinya. Musik yang cocok mengiringi adegan kakek-kakek yang tidak suka keluar rumah dan kemudian menginjakkan kaki keluar untuk pertama kalinya dalam 40 tahun. [...] Musik yang mencari makna mendalam di segala hal,” tulisnya seperti yang diterjemahkan VICE Indonesia.

Berangkat dari Heavy Metal

“Mulai sekarang, aku udah sah naik haji.”

Kalimat itu meluncur dari dua kawan karib SMA saya selepas menonton konser Sigur Ros di Jakarta pada 2013 silam. Saking terlampau emosionalnya perasaan keduanya, keberhasilan menyaksikan pementasan tersebut diibaratkan setingkat dengan menunaikan ibadah haji—tentu dalam konteks yang tak serius.

Kedua kawan saya itu memang penggemar Sigur Ros sejak lama. Beberapa kali saya ikut nimbrung dalam obrolan mereka yang menggambarkan betapa dahsyatnya band ini. Sampai-sampai, saya ikut tertular juga dengan mulai mendengarkan lagu-lagu Sigur Ros.

Pengalaman menonton keduanya yang kemudian diejawantahkan dalam “pengalaman spiritual” tersebut telah membuktikan bahwa tak semua pendengar musik, seperti halnya Baines, benci Sigur Ros.

Sigur Ros merupakan band post-rock asal Islandia. Didirikan pada 1994 oleh Jonsi Birgisson, Georg Hólm, Kjartan Sveinsson, dan Ágúst Ævar Gunnarsson (yang kemudian digantikan Orri Páll Dýrason). Nama Sigur Ros terinspirasi oleh adik Jonsi, Sigurros, yang lahir bersamaan pada minggu di mana band ini terbentuk. Keempatnya berkawan satu sekolah dan sama-sama menggilai heavy metal.

Tiga tahun usai dibentuk, album pertama mereka, Von rilis. Akan tetapi, Von gagal total. Hanya dijual di Islandia serta tak laku di luar negeri. Holm mengatakan kegagalan Von tidak mengagetkan sebab menurutnya album itu “adalah omong kosong.”

Nasib buruk tak berlangsung lama. Pada 1999, mereka melepas Agætis Byrjun yang disambut positif oleh publik. Kritikus merayakannya dengan menyebut Agætis Byrjun ibarat album “Radiohead dari luar angkasa” sampai “musik folk untuk akhirat.” Popularitas mereka perlahan naik dengan jadwal tur yang padat selama dua tahun. Album ini, secara tidak langsung, juga jadi landasan musikalitas mereka di album-album berikutnya—sebuah komposisi post-rock indah dibalut instrumentasi panjang yang tenang serta mendayu khas Islandia.

Akan tetapi, pengalaman turun gelanggang yang padat dan melelahkan membuat mereka macet ide dalam menggarap album () (2002). Jonsi bahkan menyatakan “tak ingin lagi melakukan rutinitas semacam itu.” Dampaknya terasa jelas. Album () terdengar suram dan muram. Sigur Ros seperti terlihat terjerembap dalam kedalaman yang entah. Maka, jalan keluar yang mesti diambil: rehat sejenak.

Usai cuti selama setahun, Sigur Ros masuk dapur rekaman. Mereka datang dengan antusiasme berlebih yang menuntun pada lahirnya album bernas, Takk... (2005). Album tersebut laku jutaan keping dengan sederet hits macam “Milano,” “Hoppipola,” hingga “Glosoli.”

“Itu [Tak...] merupakan kata sederhana yang kuat dan banyak makna. Dengan album itu, kami berterima kasih karena mampu melakukan semua dengan bahagia,” ujar Jonsi.

Mereka terus melaju. Sederet album berkualitas terus mereka hasilkan lewat Með Suð í Eyrum Við Spilum Endalaust (2008), Inni (2011), dan Valtari (2012). Tak cuma itu saja, mereka juga membuat film dokumenter bertajuk Heima—dalam bahasa Islandia berarti “rumah”—yang merekam pementasan dadakan di sejumlah lokasi macam air terjun, puncak bukit, hingga pabrik pengalengan di Islandia. Masa-masa ini bisa dibilang adalah bulan madu Sigur Ros yang tak terlupakan.

Meski begitu, bulan madu mereka sejenak disapu gelombang tatkala Sveinsson memutuskan hengkang pada 2012. Kepergian Sveinsson dianggap bakal membuat Sigur Ros limbung mengingat ia merupakan salah satu otak kreasi musik-musik yang selama ini muncul.

Tapi, yang terjadi sebaliknya. Alih-alih berhenti sementara waktu, anggota yang tersisa—Jónsi, Hólm, Dýrason—justru memacu pedalnya dengan membuat album eksplosif macam Kveikur (2013) sampai yang terbaru, Route One, yang berisikan delapan lagu serta terinspirasi dari perjalanan darat mereka mengelilingi lingkar Islandia sepanjang 1332 km.

“Ia sudah memikirkannya selama bertahun-tahun bahwa ia ingin melakukan urusannya sendiri. Jadi, itu adil dan bisa dimengerti. Dan, ketika ia membuat keputusan untuk pergi, kami tidak pernah berpikir untuk mencari orang lain untuk menggantikannya. Aku pikir kami hanya ingin terus bertiga,” tegas Jonsi.

infografik sigur ros

Kunci Utama: Kesederhanaan

“Musik kami memang lebih baik jika dibiarkan tanpa penjelasan,” kata Holm mencoba meyakinkan.

Genre post-rock merupakan genre musik yang unik. Andalan utama dari ragam musik yang satu ini adalah bagaimana ia memaksimalkan komponen instrumental dibanding olah vokal. Dan pada tahapan tertentu, faktor itulah yang menjadi elemen penting sekaligus daya tarik yang menyeret pendengar dalam buaian syahdu.

Hal serupa juga terjadi pada Sigur Ros. Sejak awal, mereka berpaku pada ranah post-rock. Namun, seiring waktu, mereka ikut menyesuaikan perkembangan dengan memodifikasi sedikit demi sedikit corak musiknya, kendati tidak sepenuhnya menghapus karakter aslinya.

Sebagai contoh, di Með Suð í Eyrum Við Spilum Endalaust, mereka menuangkan warna folk yang cheerful—seperti sedang mengikuti perayaan karnaval bangsa Nordik. Lalu, di Kveikur, Jonsi dan kawan-kawannya tak ragu menyuntikkan dosis elektronik yang gelap. Belum lagi, mereka menyusun alunan post-rock itu dengan perkakas yang bermacam rupa. Dari organ klasik, sampling, trombon, orkestra, dan tentunya lirik-lirik bikinan Jonsi yang bernama “Hopelandic.” Semua menyatu harmoni yang bernyawa.

Kemampuan-kemampuan tersebutlah yang menempatkan persona Sigur Ros ke titik yang, boleh dikata, istimewa. Dalam “Strange? Us?” yang dimuat The Guardian, Dorian Lynskey mengatakan energi Sigur Ros disampaikan lewat instrumentasi penuh ingar-bingar yang mendorong pendengar memaknai sendiri apa yang sebetulnya mereka hendak utarakan.

Sementara Tony Mitchell lewat “Sigur Ros’s Heima: An Icelandic Psychogeography” (2009) yang dipublikasikan Transforming Cultures eJournal menegaskan bahwa apa yang menonjol dari Sigur Ros adalah tatkala mereka mampu bermain musik secara alami. Nada-nada yang mereka keluarkan, jelas Mitchell, seperti merangkum segala bentuk laku manusia yang seolah mengamuk, meratap, memahami, dan menanyakan esensi tentang diri mereka.

Apapun pendapat publik terhadap mereka, Sigur Ros menilai bahwa yang (mungkin) menjadikan mereka spesial adalah karena mereka tetap membumi dengan segala pencapaian yang didapatkan. Mereka senantiasa memegang prinsip bahwa mereka hanyalah sekumpulan orang Islandia yang mencoba memainkan musik dengan hati. Tak kurang dan tak lebih.

“Kami tidak pernah terlalu serius dalam menjalani Sigur Ros,” ungkap Jonsi. “Tidak ada yang luar biasa atau istimewa terhadap apa yang kami lakukan. Aku pikir kami hanya melihat semuanya dari sudut pandang yang berbeda dibanding orang lain.”

Sebagai orang yang besar di negara yang berpenduduk hanya 300 ribuan jiwa, mereka tentu paham akan hal itu. Hari-hari yang mereka habiskan di tanah kelahiran berandil besar bagi sikap rendah hati tersebut. Ketika sedang tak ada tur, mereka hidup tenang. Menikmati udara dingin yang menyelimuti pori-pori kulit, berjalan mengitari kota yang sunyi, hingga merekam materi album sesuai keinginan mereka—tanpa tuntutan untuk harus selesai kapan.

“[...] Aku pikir ada banyak faktor. Salah satunya bahwa kami hidup di Islandia yang punya sedikit penduduk. Keadaan itu yang membuat kami punya banyak ruang untuk berkreasi. Dengan warisan yang dimiliki negara ini hanyalah alam dan segala energinya, itu pula yang mendorong kami untuk tidak takut dengan apa yang kami inginkan. Kami tidak mencoba meniru orang lain, kami punya gaya kami sendiri,” papar Jonsi kepada The Quietus.

“Banyak temanku yang punya band. Tapi, mereka tidak pernah mencoba jadi terkenal. Mereka cuma mau main musik. Kamu bisa melihat orang-orang di sini bermain musik di garasi mereka. Itu sudah cukup dan memuaskan ketika kamu melakukan hal-hal yang kamu sukai. Dengan melakukan itu, kamu menciptakan suaramu sendiri.”

Baca juga artikel terkait MUSISI DUNIA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Musik
Penulis: M Faisal
Editor: Nuran Wibisono