Menuju konten utama

Tembok Cina di Dunia Maya

Cina melakukan sensor di dunia maya. Mereka ingin semua yang bereda di dunia maya merupakan versi dari negara tersebut. Kabar terbaru menyebutkan bahwa Cina sedang membangun Wikipedia versinya sendiri.

Tembok Cina di Dunia Maya
Ilustrasi tangan memegang smartphone di depan bendera Cina. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Winda Novia Rahmanisa pada tahun 2015 berkesempatan untuk pergi mengunjungi Cina dalam rangka mengikuti kegiatan AIESEC. Sebelum berangkat, Winda memperoleh pesan dari salah seorang penyelenggara acara tersebut agar berkomunikasi menggunakan WeChat ketika berada di Cina. WeChat merupakan aplikasi pesan instan sama seperti WhatsApp, aplikasi pesan instan milik Facebook yang kini menjadi paling dominan di seluruh dunia.

Ketika berada di negeri tirai bambu tersebut, Winda mencoba berkomunikasi menggunakan WhatsApp. Hasilnya ternyata nihil. "Masih bisa pakai WhatsApp, cuma ngga nyambung gitu," katanya.

Selama di Cina, Winda mengaku layanan internetnya sangat berbeda dan terbatas jika dibandingkan di Indonesia. "Enggak bisa sama sekali, Google Maps, pokoknya yang Google punya ngga bisa. Facebook ngga bisa, Instagram ngga bisa," jelasnya. Winda mendapat keterangan, untuk bisa menembus layanan-layanan tersebut, harus menggunakan semacam "cheat".

Pasca-masuknya teknologi internet ke Cina pada Januari 1996 Cina kemudian mulai membangun "tembok" untuk melakukan sensor terhadap internet. Pengendalian-pengendalian yang dilakukan pemerintah Cina di dunia maya mencakup pada pembicaraan-pembicaraan yang berseliweran melalui internet, mengendalikan ruang-gerak dan bahkan memblokir situsweb asing, melakukan filterisasi konten-konten, termasuk menurunkan laju lalu lintas internet dari Cina, menuju luar negeri. Hal demikian terkait dengan biaya bandwidth internasional yang harus dibayar mahal jika laju lalu lintas menuju situsweb-situsweb luar, terlampau banyak. Sebagaimana dikutip dari Business Insider, pada tahun 2010, terdapat 1,3 juta situsweb yang diblokir otoritas Cina.

Akibat kebijakan tersebut Cina mendapat julukan “The Great Firewall of China”. Dalam dunia komputer, Firewall merupakan sistem yang dirancang untuk memblokir akses bagi aplikasi atau program yang tidak sah, keluar atau masuk ke komputer yang menggunakan Firewall.

Akibat “The Great Firewall of China” tersebut, berbagai perusahaan teknologi asing, terkena imbasnya. Tak terkecuali para pemain-pemain besar di dunia internet. Google, diketahui sejak 2002, diblokir oleh otoritas internet Cina. Menyusul kemudian Facebook dan Twitter yang diblokir pada tahun 2009.

Kebijakan Cina memang mendapat cibiran dari dunia internasional. Di sisi lain, kebijakan tersebut ternyata memberikan dampak positif bagi dunia teknologi domestik. Muncul layananan-layanan baru yang tak kalah canggih, buatan orang Cina.

Di kategori mesin pencari misalnya, di negeri tirai bambu tersebut, sebuah perusahaan bernama Baidu mencuat. Baidu terbilang sukses melayani pengguna internet Cina. Data dari Statista mengungkapkan, di tahun 2016, Baidu memperoleh pendapatan hingga $10,16 miliar. Namun, tentu Baidu berbeda dibandingkan Google. Sebagaimana diwartakan The Washington Post, kala seseorang melakukan pencarian di Baidu, ada sensor yang menghampirinya, terutama pada frasa pencarian tertentu. Misalnya “Tianammen” dan “Tiananmen tank man”. Baidu akan secara otomatis menyeleksi kata-kata sensitif seperti hal tersebut.

Selain Baidu, ada pula perusahaan teknologi Cina lain yang ada akhirnya menjadi raksasa tatkala penduduk sana tak bisa menikmati layanan dari perusahaan teknologi dunia. Alibaba, e-commerce penantang Amazon, sukses mendulang pendapatan hingga $15,69 miliar pada tahun 2016 kemarin. Hal ini tentu bukan sesuatu yang cukup mengejutkan. Cina memang memiliki potensi belanja online yang sangat besar. Data Statista menyebutkan, di tahun 2016, pembeli online baru negeri tersebut, menghabiskan uang $53,45 juta untuk memuaskan nafsu belanja mereka.

Infografik Tembok Teknologi Cina

Data dari Statista mengungkapkan, pada bulan Desember 2016, terdapat 731,25 juta pengguna internet di Cina. Angka tersebut jelas merupakan suatu berlian yang sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan teknologi. Sebagaimana dikutip dari blog resmi Facebook, perusahaan buatan Mark Zuckerberg tersebut rata-rata memiliki 1,28 miliar pengguna aktif harian pada bulan Maret 2017 di seluruh dunia. Artinya, Cina memiliki kekuatan lebih dari setengah apa yang dimiliki Facebook hari ini atas jumlah pengguna mereka. Sayangnya, Facebook memang diblokir di Cina.

Kabar terbaru, sebagaimana diwartakan Quartz, Cina sedang membangun Wikipedia versinya sendiri. Situsweb Wikipedia, baik dalam bahasa Inggris maupun Mandarin, memang diketahui diblokir oleh pemerintah Cina. Proyek Wikipedia ala Cina tersebut sebenarnya telah disetujui pemerintah Cina sejak tahun 2011. Wikipedia buatan Cina tersebut, lebih merupakan versi online dari buku ensiklopedia yang telah mereka terbitkan pada tahun 1993 dan 2009. Dalam pengerjaan ensiklopedia online ala Wikipedia tersebut, Cina tidak akan mengambil pendekatan sama dengan Wikipedia. Cina hanya akan mempekerjakan orang-orang terpilih untuk menulis di ensiklopedia online mereka, yang antara lain terdiri dari para cendikiawan dari perguruan tinggi negeri di negeri tersebut. Aksi membangun ensiklopedia online ini, pada awalnya, setidaknya akan menghasilkan 300.000 konten yang masing-masing kontennya akan terdiri dari 1.000 kata. Konten-konten tersebut, terdiri dari 103 macam ilmu pengetahuan.

Sebelumnya telah ada ensiklopedia online pesaing Wikipedia asal Cina. Qihu360, perusahaan anti virus, memiliki layanan ensiklopedia online yang memiliki 30 juta artikel di dalamnya. Selain itu, ada pula ensiklopedia online yang dirilis Baidu, perusahaan teknologi yang fokus pada layanan pencarian seperti Google, memiliki 14 juta artikel dalam ensiklopedia onlinenya.

Cina dengan kebijakan yang mereka keluarkan terutama bagi dunia maya memang mengundang kontroversi. Di satu sisi, penduduk negeri sana kesulitan memperoleh informasi yang benar-benar sama dengan saudara atau temannya di negeri sebrang. Namun, di sisi lain, kebijakan Cina membuat iklim teknologi lokal berkembang cukup baik. Baidu, Tencent, Alibaba, Weibo, dan berbagai perusahaan teknologi lainnya, sudah membuktikannya.

Baca juga artikel terkait BAIDU atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Ahmad Zaenudin