Menuju konten utama

Teman Tuli Alami Hambatan & Kesenjangan Informasi di Kala Pandemi

Beberapa protokol dan kurangnya fasilitas ramah tuli selama pandemi membuat kesenjangan kelompok tuli semakin lebar. Orang dengar perlu turut membantu.

Teman Tuli Alami Hambatan & Kesenjangan Informasi di Kala Pandemi
Ilustrasi Masker transparan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pandemi COVID-19 memukul keteraturan hidup semua orang, tapi kelompok marginallah yang paling berat terdampak. Di antara kelompok marginal itu adalah para tuli. Pasalnya, pagebluk ini membuat kesenjangan akses informasi dan komunikasi bagi mereka semakin lebar.

Jika sebelum pandemi fasilitas ramah tuli sudah sulit diakses, sekarang kondisi tersebut diperparah dengan beragam aturan pencegahan infeksi. Di Amerika, seturut National Association of the Deaf (NAD), banyak tuli kesulitan melakukan komunikasi saat mengakses fasilitas kesehatan atau beraktivitas di lingkungan kerja mereka.

NAD memberi contoh penurunan kualitas hidup pada orang dengan gangguan pendengaran ringan. Sebelum pandemi, mereka tidak harus memakai alat bantu dengar dan bisa berkomunikasi dengan bantuan pembacaan gerak bibir. Namun sekarang, kewajiban penggunaan masker membikin mereka lebih sulit atau tidak bisa memahami obrolan.

Organisasi hak-hak sipil kelompok tuli di Amerika Serikat ini bilang, masker menciptakan penghalang berlapis bagi individu dengan semua tingkat gangguan pendengaran. Pasalnya, masker membuat suara dari lawan bidara jadi teredam serta menutupi gerak bibir dan ekspresi wajah. Lawan bicara harus membuka masker agar komunikasi tetap berjalan baik, tapi tindakan tersebut jelas dilarang di saat seperti ini.

Ini merupakan akibat dari kurangnya teknologi dan fasilitas pendukung tertentu untuk berkomunikasi,” tulis laman NAD.

Fasilitas yang dimaksud NAD menyasar pada tersedianya juru bahasa isyarat atau informasi-informasi yang dituangkan secara visual. Bahkan ketika semua fasilitas tersebut ada, kosakata baru terkait pandemi COVID-19 masih jadi masalah karena belum adanya keseragaman bahasa isyarat.

Aktivis serta juru bahasa isyarat khusus orang tuli Surya Sahetapy lantas terdorong untuk mencari solusi atas hambatan ini. Kemudian, dia bersama Bowin Indonesia menggagas produk masker transparan. Masker ini punya lapisan plastik transparan di tengah yang memungkinkan bibir terlihat oleh lawan bicara.

Meski begitu, produk ini masih punya banyak kelemahan. Selain bahannya yang lebih meredam suara dibanding jenis masker lain, masker sahabat tuli tidak digunakan secara luas. Padahal, masker ini diperuntukkan bagi lawan bicara orang tuli—dalam konteks ini adalah orang dengar.

Orang Dengar Perlu Turut Membantu

Sebuah studi yang terbit di Indian Journal Community Medicine (2021) menelusuri beragam hambatan yang dialamikomunitas tuli selama pandemi. Para periset studi itu menelusuri kata kunci yang berkaitan di PubMed dan Google Scholar sejak November 2019 hingga Juni 2020.

Kesimpulan penelusuran tersebut mengelompokkan tantangan bagi orang tuli ke dalam beberapa kategori. Yang paling disorot tentu saja masalah akses informasi akibat kewajiban memakai masker. Selain itu, ada pula aturan penjarakan fisikyang berdampak pada kesehatan fisik dan mental. Lalu, hambatan terkait akses fasilitas kesehatan dan terakhir masih berkutat soal stigma.

Guna mengetahui hambatan riil yang sering ditemui para teman tuli, Tirto menghubungi Bagja Prawira, aktivis tuli sekaligus pendiri Silang—start up penyedia layanan pembelajaran bahasa isyarat. Pengalaman Bagja nyatanya mengamini hasil studi tersebut dan rangkuman hambatan yang disiarkan oleh NAD.

Memang paling krusial ada di komunikasi karena akses tersebut membantu teman tuli melihat perkembangan sekitar, mulai dari program vaksinasi pemerintah hingga aturan atau kebijakan baru (terkait covid),” katanya.

Misal, teman tuli akan memahami pentingnya vaksinasi dalam program vaksinasi nasional jika info dan fasilitasnya ramah terhadap teman tuli. Kemudahan akses tersebut bisa disediakan dalam bentuk informasi teks, gambar, atau tersedianya juru bahasa isyarat.

Infografik Sulitnya Akses Tuli di Kala Pandemi

Infografik Sulitnya Akses Tuli di Kala Pandemi. tirto.id/Quita

Sejauh ini program-program kesehatan sudah banyak yang menggunakan teks. Vaksinasi pun kami difasilitasi. Memang bagi teman tuli dengan vaksinasi mandiri jika tempatnya belum ramah tuli jadi terkendala, tidak selancar dan senyaman jika ada fasilitas,” ujar Bagja.

Sejatinya, fokus komunikasi tuli ada di bahasa isyarat, bukan membaca gerak bibir atau suara. Sejauh aktivitas mereka hanya berkisar di kelompoknya sendiri, komunikasi tak jadi soal. Namun, kendala komunikasi akan terasa kala mereka harus berhadapan dengan orang dengar. Pasalnya, hanya sedikit orang dengar yang memiliki kemampuan berbahasa isyarat.

Akhirnya, teman tuli jadi “terpaksa” mengikuti bahasa verbal sehingga lawan bicara harus membuka masker. Ketika komunikasi tidak dilakukan dalam bahasa yang sama, penyampaian informasi jadi rentan tak akurat karena bahasa yang digunakan tidak dikuasai kedua belah pihak.

Masalahnya orang-orang dengar ini banyak mengambil porsi di pelayanan publik. Jika sudah begitu, teman tuli akan menggunakan cara komunikasi lain, misalnya dengan tulisan yang kemudian dijawab lawan bicaranya dengan gestur tubuh atau membalas lagi lewat tulisan.

Untuk pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti arah biasanya akan ditunjuk atau diantar. Namun, untuk yang lebih detail dan spesifik bisa lewat tulisan. Memang agak memakan waktu dibanding jika kedua pihak memahami bahasa isyarat,”tutur Bagja.

Maka penting bagi negara dan masyarakat luas untuk memperluas akses fasilitas ramah tuli, seperti penyediaan juru bahasa isyarat di setiap fasilitas publik dan informasi program pemerintah. Kemudian, kesediaan para tenaga kesehatan dan masyarakat luas untuk belajar dan menggunakan bahasa isyarat.

Baca juga artikel terkait DAMPAK PANDEMI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi