Menuju konten utama

Teknologi untuk Mendeteksi dan Mengantisipasi Banjir

Ternyata, ada produk teknologi yang dibuat untuk mendeteksi dan mengantisipasi banjir.

Teknologi untuk Mendeteksi dan Mengantisipasi Banjir
Anak-anak bermain di lokasi banjir di kawasan Jl. kemang Utara, Jakarta Selatan, Minggu, (19/2). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Dalam beberapa hari terakhir, wilayah Jabodetabek diguyur hujan dengan intensitas yang cukup tinggi. Hujan yang lebat dan intensitas tinggi, mengakibatkan banyak wilayah-wilayah yang terkena banjir. Masyarakat Jakarta juga mengenal istilah “banjir kiriman” yang menandai banjir tidak disebabkan curah hujan tinggi di wilayah Jakarta. Istilah "banjir kiriman" menandai fenomena hujan lebat di Bogor berujung pada banjir hebat di Jakarta.

Banjir bukan hanya bencana yang dialami wilayah-wilayah di Indonesia. Di Amerika Serikat, sebagaimana diwartakan floodsmart.gov, banjir merupakan bencana alam nomor 1. Selain itu, dari tahun 2003 hingga tahun 2012, rata-rata klaim asuransi akibat banjir mencapai $4 miliar per tahun. Dengan kata lain, banjir termasuk ke dalam bencana yang mahal.

Dalam dokumen yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti diberitakan floodlist.com, dalam 20 tahun terakhir ada 157.000 orang tewas akibat banjir. Selain itu, antara tahun 1995 hingga tahun 2015, terdapat 2,3 miliar manusia yang terdampak oleh banjir. Menurut data lain yang diungkap Perserikatan Bangsa-Bangsa, ada 3.062 bencana banjir yang dialami dunia. Wilayah Asia dan Afrika adalah wilayah yang jauh lebih sering mengalami banjir daripada wilayah lain di bumi.

Dengan tingkat kerusakan dan kehancuran yang tinggi oleh banjir, manusia selalu mencoba untuk memprediksi terjadinya banjir untuk meminimalkan kerusakan yang mungkin ditimbulkan. Teknologi adalah salah satu caranya.

NASA atau Badan Antariksa Amerika Serikat merupakan salah satu pihak yang mencoba memahami banjir. Pertama-tama, NASA unggul karena bisa melihat wilayah-wilayah di bumi, dari ketinggian sekitar 400KM. Inilah kemewahan yang sangat jarang dimiliki oleh lembaga-lembaga lain di dunia, apalagi di Indonesia.

Dalam mengantisipasi banjir, NASA menggunakan teknologi bernama Global Flood Monitory System atau GFMS. Dalam situsweb resmi NASA disebutkan bahwa sistem itu mirip dengan apa yang kita kenal sebagai Google Maps. Bedanya, GFMS merupakan peta bencana yang memetakan banjir dalam skala global. Ia memperoleh data secara real-time melalui satelit-satelit yang dimiliki NASA. Data yang diterima kemudian diolah sedemikian rupa dan ditampilkan melalui peta yang bisa digunakan para pembuat kebijakan untuk mengantisipasi banjir.

Menurut laporan Wired, NASA juga bekerjasama dengan USAID atau Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika untuk mencoba mengantisipasi bencana banjir. Kerjasama kedua lembaga tersebut menghasilkan inisiatif bernama “Servir,” sebuah alat atau komputer yang melakukan analisis. Servir menerima data-data penunjang melalui pencitraan satelit, kemudian menganalisis data yang diperoleh tersebut melalui bantuan kecanggihan-kecanggihan teknologi yang dimiliki NASA.

Servir telah digunakan untuk memetakan banjir di Afrika dan memprediksi kebakaran hutan di Himalaya.

Di Bangladesh, Servir digunakan untuk memprediksi banjir tahunan yang terjadi dengan memahami pola aliran sungai dari berkilo-kilo meter jauhnya. Memahami pola aliran sungai bisa dilakukan lantaran Servir memanfaatkan data-data dari NASA yang melakukan pencitraan di wilayah Bangladesh dan menghasilkan analisis yang baik.

Sebelum memanfaatkan Servir, maksimal Bangladesh memprediksi terjadinya banjir 5 hari sebelum datangnya bencana. Setelah menggunakan Servir, mereka memiliki tambahan waktu 3 hari. Meskipun terbilang kecil, tambahan waktu itu dapat dimanfaatkan lembaga-lembaga yang berkepentingan untuk melakukan antisipasi dan mitigasi bencana.

Setelah NASA, ada pula IBM, perusahaan teknologi Amerika Serikat yang turut menyumbangkan teknologinya untuk memprediksi bencana, terutama banjir. IBM, seperti diwartakan Wired, menamai program pertolongannya tersebut “Smarter Cities Program.” Ia adalah algoritma komputer untuk memahami suatu bencana. Melalui program tersebut, IBM mencoba mengumpulkan data-data terkait musibah banjir. Setelahnya, data tersebut diolah dan kemudian menghasilkan analisis yang berguna untuk meminimalkan dampak bencana banjir.

"[Program ini adalah] sistem operasi bagi kota,” kata salah satu petinggi IBM George Thomas kepada Wired. Program kota pintar IBM memanfaatkan data-data yang secara terus-menerus diterima sistem untuk diolah untuk dijadikan petunjuk dalam memahami bencana dan memperoleh solusi.

Di Rio de Janeiro, Brasil, bencana banjir yang mengerikan bisa diminimalisasi melalui algoritma bikinan IBM yang menggunakan data hasil dari sensor yang menangkap data hujan di luar kota Rio de Janeiro.

Infografik Antisipasi Banjir

Selain NASA dan IBM, penggunaan big data dan algoritma untuk menghindarkan umat manusia dari bencana juga dilakukan sekelompok tim dari Universitas Lancaster. Sekelompok peneliti di universitas tersebut membuat sebuah superkomputer kecil dengan 10 hingga 20 CPU yang disebut “GumStix.” Super komputer kecil tersebut jauh lebih murah dan efisien dibandingkan dengan superkomputer yang lazim digunakan lembaga-lembaga di dunia.

Superkomputer tersebut memperoleh data dari sensor-sensor yang ditempatkan di berbagai lokasi. Dasar sungai merupakan salah satu lokasi penempatan sensor. Selanjutnya, sensor tersebut mengirimkan data melalui jaringan telepon selular kepada superkomputer. Setelahnya, superkomputer akan membuat suatu model artifisial dan mengeluarkan data-data yang relevan untuk digunakan melakukan pencegahan atau mitigasi bencana.

Apa yang dilakukan NASA, IBM, maupun tim peneliti dari Universitas Lancaster adalah bermain-main dengan big data untuk dimanfaatkan memahami suatu banjir. Big data diperoleh dengan memanfaatkan beragam sensor dan dukungan alat-alat lain. Khusus NASA, ia memanfaatkan satelit untuk mengawasi apa yang terjadi di bumi.

Di Indonesia, aplikasi-aplikasi berbasis Android juga banyak yang bertema mitigasi bencana, khususnya banjir. Namun, aplikasi-aplikasi tersebut kurang populer bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Banjir, yang datang tiap tahun sewajarnya memang dipikirkan dengan serius. Memahami pola dan menempatkan sensor untuk memperoleh data yang relevan adalah keharusan jika ingin bencana banjir bisa diminimalkan.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani