Menuju konten utama

Tekad Baihajar Tualeka Menyetop Kekerasan Perempuan di Maluku

Mama Bai bertekad memutus rantai kekerasan seksual perempuan dan anak dalam arus kebijakan politik di daerahnya.

Tekad Baihajar Tualeka Menyetop Kekerasan Perempuan di Maluku
Ilustrasi Baihajar Tualeka, caleg DPRD Seram Barat 2019. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dua puluh tahun lalu, Baihajar Tualeka adalah perempuan yang terjebak di kamp pengungsian Ambon, Maluku. Ia, dan banyak wanita lain, berada dalam situasi hidup serba terbatas.

Kadang ia tidak mengenakan pakaian dalam, tidak mandi, harus berganti baju di ruangan tanpa sekat. Keadaan tambah sulit saat ia menstruasi, sampai-sampai ia berdoa untuk tak pernah lagi mengalami siklus bulanan itu.

Memori itu ia tuliskan dalam Aku Memilih Damai, buku terbitan Komnas Perempuan pada 2010, bersama empat perempuan lain yang pernah terlibat maupun menjadi korban konflik di tanah air.

Maluku pada 1999 adalah panggung kehidupan panas sekaligus kelam. Bai, panggilan akrab Baihajar, terseret dalam pusaran konflik komunal tersebut. Ketegangan antara kelompok Islam dan Kristen merembet dan meledak di jazirah Maluku.

Ia yang seorang muslim sempat terdoktrin seruan kaum radikal. Baginya, tak ada pilihan kecuali melakukan kekerasan atau terlibat konflik.

“Aku merasa seakan pikiranku buta, benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, tidak terlihat ada pilihan lain,” tulis Bai, putus asa.

Namun, pelan-pelan, kesadaran sektarian itu memudar. Pada satu momen, Bai mempertanyakan kembali tujuan konflik berdarah yang menelan banyak korban dari kampung halamannya.

“Siapa yang sebenarnya kita bela?” tanyanya retorik.

Perlahan, Bai mulai meretas komunikasi di tengah masyarakat yang masih terbelah karena identitas agama itu, melalui jalur perempuan dan anak. Ketika atmosfer ketegangan mulai menurun di Ambon, Bai lantas mendirikan Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN), organisasi yang peduli terhadap hak perempuan dan anak pada 2002.

Memilih Panggung Politik

Ongkos pasca-konflik Ambon nyatanya harus dibayar mahal, terutama bagi perempuan. Diskriminasi dan kekerasan berbasis gender bak pandemi.

Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak mencatat ada sedikitnya 198 kasus kekerasan berbasis gender pada 2018. Angka itu terdiri dari 45 kasus perkosaan yang dialami korban berusia 3-17 tahun, 4 kasus pelecehan seksual, 10 kasus pencabulan, dua kasus percobaan perkosaan, dan satu kasus perdagangan manusia.

Minimnya edukasi dan kesadaran terhadap isu kekerasan berbasis gender membuat para korban terutama perempuan dan anak memilih bungkam, menurut Mama Bai, panggilan akrab Baihajar Tualeka sekarang.

Sementara di panggung publik, perempuan di Maluku nyaris tak punya akses informasi dan suara, dari tingkat desa hingga provinsi. Alhasil, hingga saat ini, keterwakilan perempuan dalam politik nyaris kosong, sebagai pengambil keputusan dan kebijakan hingga perumus anggaran daerah.

Maka, komunitas perempuan yang ada di Seram—sebuah pulau di utara Pulau Ambon—saat itu mendorong Bai untuk maju mewakili suara mereka.

“Tapi, saat itu saya belum tertarik. Baru tertarik saat rekrutmen caleg pada 2018. Saya berpikir, kuota 30 persen perempuan di pemilu legislatif tidak sekadar terpenuhi. Tapi juga dilihat kualitas dan kapasitas dari si caleg,” ujar Mama Bai kepada saya.

Pada akhirnya, setelah menyiapkan mental, Bai memilih terjun ke panggung politik di wilayah pemilihan Kabupaten Seram bagian Barat, Maluku. Ia memilih Partai Bulan Bintang sebagai kendaraan politiknya.

“Saya pilih PBB karena mereka yang paling netral dan tidak banyak komentar soal Pilpres. Mereka juga tidak berisik di media sosial dan menyebar hoaks. Dengan begitu, saya jadi lebih fokus untuk mengurus hal-hal yang memang penting,” alasan Mama Bai saat kami bertemu di Jakarta, Rabu pekan ini.

Masalah di Maluku, imbuhnya, masih cukup banyak terutama problem sisa-sisa pasca-konflik.

“Pasca-konflik, kasus kekerasan seksual semakin banyak. Seperti anak yang diperkosa, kasus-kasus rumah tangga. Dan pasca-konflik itu pun, pemulihan ekonomi juga tidak jalan,” jelasnya.

Selain menaruh perhatian pada isu kekerasan berbasis gender dan perekonomian serta ketersediaan akses bagi perempuan di daerah pemilihannya, ia bertekad untuk memutus sentimen intoleransi di Maluku, meski saat ini ketegangan komunal berbalut agama sudah jauh berkurang.

Salah satunya dengan memberikan edukasi kepada anak-anak agar memiliki rasa toleransi lintas agama. “Caranya kami ajak mereka saling bergantian mengunjungi rumah ibadah. Nanti ke masjid, lalu gantian ke gereja,” ujar Mama Bai.

Infografik Baihajar Tualeka

Infografik Baihajar Tualeka. tirto.id/Lugas

Kampanye Jalan Kaki

Langkah pertama yang dimiliki Mama Bai, dan karena itu menunjukkan keseriusannya, adalah ia mendatangi satu daerah ke satu daerah konstituen lewat jaringan aktivismenya. Ia mula-mula memilih untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, bukan menampilkan diri sebagai calon legislator.

Misalnya, ia mengenalkan apa yang disebut bagaimana menangani kasus kekerasan seksual hingga pencegahan pernikahan anak. Ia mendatangi kelompok-kelompok agama di Pulau Seram, dari majelis taklim hingga ke gereja-gereja.

“Ketika mereka tahu saya caleg, mereka justru langsung menawarkan untuk membuatkan spanduk dan stiker. Saya baru punya spanduk Februari 2019. Saya ke lapangan tidak pernah bilang di awal bahwa saya nyaleg dan tidak promosi sebagai caleg,” kata Mama Bai.

Ia berjalan kaki karena salah satu masalah krusial di wilayah Seram Bagian Barat adalah kurangnya infrastruktur seperti jalan penghubung antar-kecamatan atau desa. Maka, Mama Bai bisa menempuh perjalanan dengan berjalan kaki hingga satu sampai dua hari. Misalnya saja saat ia mendatangi Kecamatan Inamosol, wilayah lereng pegunungan, dan Kecamatan Elpaputih, daerah teluk di pantai selatan Pulau Seram.

"Karena kendaraan tidak bisa lewat untuk ke sana, jadi mau tak mau harus berjalan kaki. Kadang harus menyeberang pulau,” cerita Mama Bai.

Di Kabupaten Seram Barat, dalam catatannya, ada 104 kasus kekerasan berbasis gender, di antaranya 65 kasus kekerasan dalam rumah tangga berbentuk kekerasan fisik dan penelantaran.

Selama ini, cerita Mama Bai, banyak korban yang enggan melapor lantaran sulitnya akses dari tempat tinggal mereka hanya untuk melapor ke polisi.

Ia memutuskan menjadi legislator untuk memecahkan problem akses tersebut, dan membawa suara perempuan dari Seram menjadi arus kebijakan politik daerah.

"Pun jika tidak, dengan kampanye begini, jaringan saya terbuka lebih lebar karena bertemu dengan banyak orang. Saya makin paham permasalahan," ujar Mama Bai.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam