Menuju konten utama

Tebang Pilih Insentif dan Santunan untuk Nakes Terpapar COVID-19

Insentif dan santunan bagi tenaga kesehatan yang terpapar dan bahkan meninggal karena COVID-19 dianggap tebang pilih. Desakan agar itu direvisi muncul.

Tebang Pilih Insentif dan Santunan untuk Nakes Terpapar COVID-19
Seorang tenaga kesehatan memakai alat pelindung diri (APD) sebelum memeriksa pasien di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Karawang, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/foc.

tirto.id - Setelah berkarier sebagai dokter spesialis kandungan selama 29 tahun, Rahmat, nama samaran, akhirnya tutup usia. Ia meninggal dunia pada 26 Agustus 2020 usai dinyatakan positif COVID-19.

Dokter kandungan senior ini sedang berada di Yogyakarta bersama keluarga pada saat terjatuh dan tidak sadarkan diri. Keluarga membawanya ke rumah sakit terdekat dan dari hasil CT scan dinyatakan stroke. Rahmat memiliki riwayat sakit jantung dan paru-parunya mengalami pembengkakan.

Setelah dilakukan tes swab, ia dinyatakan positif COVID-19 dan hanya bertahan selama lima hari dalam perawatan rumah sakit.

Ajeng, anak mendiang, juga nama samaran, mengatakan mungkin ayahnya terpapar COVID-19 dari pasien. Ia mengabdikan diri di tiga rumah sakit di Tuban, Jawa Timur. Keluarga pun akhirnya dites dan hasilnya semua negatif.

Meski meninggal terpapar COVID-19, Rahmat tidak termasuk penerima santunan dari pemerintah. Menurut Ajeng, lantaran “papa tidak secara langsung merawat pasien Covid. Papa cuma bekerja di RS yang menerima pasien Covid,” kepada reporter Tirto, Senin (11/1/2021) lalu.

“Untuk kami sekeluarga mungkin secara ekonomi tidak terlalu perlu. Tapi bagaimana dengan teman-teman yang menjadi tulang punggung keluarga?”

Ajeng yang juga berprofesi sebagai dokter menilai kriteria agar menerima santunan mengada-ada. Menurutnya setiap tenaga kesehatan (nakes) akan selalu berpotensi terpapar COVID-19 selagi menangani pasien.

Lilis, sebut saja demikian, seorang perawat di rumah sakit swasta di Kediri, Jawa Timur juga tidak mendapatkan insentif dari pemerintah lantaran rumah sakit tempat ia bekerja bukanlah fasilitas kesehatan rujukan COVID-19. Menurutnya syarat itu mengada-ada karena tetap saja risiko itu ada. “Kemarin saya kontak dengan pasien positif COVID-19 dan tertular,” keluhnya kepada reporter Tirto, Senin.

Ia memperkirakan tertular dari seorang pasien yang direncanakan menjalani operasi masuk ke ruang rawat inap pada 2 November 2020 pagi. Dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) level I dan II, Lilis dan tiga perawat lain secara bergiliran melakukan tindakan: pasang infus, cek anamnesa, dan cek tanda-tanda vital. Sore hari sekitar pukul 15.00, pasien dibawa ke laboratorium sekaligus dites cepat dan hasilnya reaktif dan setelah dites lagi dinyatakan positif.

Lilis dan perawat lain dites swab dan dinyatakan positif COVID-19. Ia harus menjalani isolasi mandiri di rumah karena bergejala ringan, sementara perawat lain isolasi di asrama bahkan menjalani perawatan intensif karena gejala lebih berat.

“Harapan kami ke pemerintah, meski tidak semua RS adalah rujukan, tolong dibantu minimal APD. Jika tidak ada insentif secara materiil, setidaknya berikan dukungan moral pada kami agar tetap semangat bekerja,” ujarnya.

Ubah Syarat

Kementerian Keuangan telah memberikan santunan kepada ahli waris 194 nakes yang meninggal karena COVID-19 selama 2020. Jumlah tersebut jauh dari catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bahwa COVID-19 telah membunuh 504 nakes.

Menurut seorang anggota Tim Santunan Kematian Nakes Akibat COVID-19 Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM (PPSDM) Kementerian Kesehatan, penerima santunan adalah mereka yang memenuhi persyaratan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/2539/2020.

“Dokter yang gugur, yang memenuhi persyaratan mendapatkan santunan Rp 300 juta, sesuai KMK 2539,” kata anggota tim itu dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin.

Syarat dalam KMK 2539 adalah: (1) melampirkan surat usulan yang ditujukan kepada Kepala Badan PPSDMK; (2) SPTJM dari pimpinan instansi yang bermaterai; (3) surat tugas/SK yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bertugas dalam penanganan Covid; (4) hasil lab VCR dengan hasil positif atau hasil reaktif atau surat DPJP menyatakan wafat karena COVID-19;

(5) lalu surat keterangan kematian dari instansi yang berwenang; (6) surat keterangan ahli yang disahkan lurah; (7) fotokopi KTP almarhum, ahli waris, dan KK; (8) fotokopi buku rekening; (9) nakes yang gugur telah mendapat tanda kehormatan Presiden dengan mekanisme pengajuan dari Biro Kepegawaian ke Badan PPSDMK.

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Netty Prasetiyani menilai persoalan ini disebabkan oleh verifikasi data nakes oleh fasyankes yang bertele-tele. Hal ini harus lekas diatasi.

“Pemda harus proaktif mendampingi RS mengusulkan nakes. Harus ada komunikasi intensif antara pemerintah pusat dan daerah sehingga mitigasi masalah pencairan dapat segera terdeteksi,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin.

Sementara Relawan LaporCovid-19 Tri Maharani mendesak kriteria pemberian insentif dan santunan diubah total sebab setiap nakes yang bekerja di rumah sakit selalu berpotensi terpapar COVID-19, apakah ia bekerja di tempat rujukan atau tidak; di fasilitas pemerintah atau swasta.

“Kriterianya harus manusiawi, jangan tebang pilih. Ketika nakes meninggal dan ada tanda-tanda mengarah Covid, tanpa bukti swab, tapi suspek, maka ketika meninggal harus diberi santunan,” katanya.

LaporCovid-19 membuka posko pengaduan yang datanya bakal disampaikan langsung ke Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Per 11 Desember lalu, terdapat 50 laporan plus 100 kasus yang tengah ditelusuri tim.

Baca juga artikel terkait TENAGA KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino