Menuju konten utama

Tarik-Ulur Perluasan Peringatan Kesehatan Bergambar 90% pada Rokok

Usul TCSC-IAKMI memperbesar ukuran gambar peringatan pada rokok disambut baik Kemkes, tapi ditolak pihak lain.

Tarik-Ulur Perluasan Peringatan Kesehatan Bergambar 90% pada Rokok
Lemari rokok yang berada di tengah pusat perbelanjaan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) meminta pemerintah memperluas ukuran peringatan kesehatan bergambar alias pictorial health warning (PHW) pada bungkus rokok menjadi 90 persen. Menurut mereka, ukuran PHW yang kini mencangkup 40 persen belum berdampak maksimal untuk menekan konsumsi rokok masyarakat. Ukuran PHW tampak semakin kecil karena kerap tertutup pita cukai.

"Kami berharap peringatan kesehatan bergambar berukuran 90 persen dapat segera diimplementasikan untuk mengurangi angka perokok," kata Ketua TCSC-IAKMI Sumarjati Arjoso, Kamis (14/5/2020), dikutip dari Antara.

Ia lantas mengaitkan permintaan ini dengan fakta bahwa para perokok lebih rentan terinfeksi COVID-19. Menurutnya ukuran PHW yang diperbesar juga dalam rangka menekan "keparahan infeksi COVID-19" di Indonesia.

Menurutnya desakan ini wajar karena ukuran PHW di Indonesia saat ini paling kecil di antara negara Asia Tenggara lain. Sementara di seluruh dunia, Indonesia menempati peringkat ke-117.

"Kita seharusnya cukup malu dengan Timor Leste misalnya. Mereka menerapkan peringatan kesehatan bergambar 85 persen di depan dan 100 persen di belakang bungkus," kata Sumarjati.

Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemkes Rizkiyana Sukandhi Putra menyatakan PHW memang termasuk upaya paling efektif dan murah untuk menurunkan prevalensi perokok pemula. Usulan itu juga pernah masuk dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Waktu itu opsinya perluasan PHW paling kecil 90 persen atau 75 persen.

Namun Rizki bilang saat itu rencana tersebut tidak terealisasi karena perlu ada keputusan yang lebih tinggi untuk mengubahnya. "Kalau di tingkat yang lebih tinggi berani, maka tingkat di bawahnya akan mengikuti," ucap Rizki, Kamis (14/5/2020), seperti dikutip dari Antara.

Rizki mengatakan alih-alih memperluas PHW, pemerintah sejauh ini konsisten mengikuti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan yang menargetkan bungkus rokok dibuat polos tanpa merek--bukan bergambar--pada 2020-2024. Kemkes sendiri menargetkan bungkus rokok polos atau plain packaging terealisasi pada 2021.

"Plain packaging prosesnya tidak sederhana. Jadi yang dibicarakan bukan besaran peringatan kesehatan bergambar lagi," kata Rizki.

Namun pemerintah sendiri sempat setengah hati menerapkan kebijakan plain packaging. Ini terlihat kala Indonesia, bersama Honduras, Republik Dominika dan Kuba menggugat Australia ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO) karena mereka menerapkan plain packaging sejak 2010. Negara-negara ini menilai kebijakan Australia melanggar hak cipta, hak kekayaan intelektual, juga merek dagang tembakau.

Indonesia kalah. Empat negara tersebut harus patuh jika ingin rokok tetap dapat masuk ke negara tersebut.

Ditolak

Usul TCSC-IAKMI ditolak berbagai pihak. Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengatakan mereka telah menolak PHW diperbesar saat ada usul revisi PP 109/2012. Ia bilang saat ini pelaku usaha sudah terbebani dengan adanya pelarangan bahan tambahan dan kenaikan cukai rokok yang berujung naiknya harga rokok. Volume produksi rokok juga terus turun hingga tahun ini. Menurut Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), penurunan produksi sekitar 6 miliar batang per tahun.

Bila PHW diperluas, beban industri akan semakin berat karena ongkos produksi dipastikan membengkak.

"Itu alasan penolakannya," ucap Moefti kepada reporter Tirto, Jumat (15/5/2020).

Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo mengatakan kebijakan ini bakal merugikan pabrikan rokok terutama yang skala kecil. Pada saat penerapan standar PHW 40 persen saja, kata Aditia, ada banyak yang tumbang.

"Mereka (pabrikan kecil) yang biasanya buat bungkus tanpa banyak warna, jadi harus bikin full warna. Ya, mampus mereka, enggak mampu dan jadi bangkrut," ucap Aditia saat dihubungi reporter Tirto.

Ia juga menilai kebijakan ini tidak bakal efektif. "Mau pakai atau enggak pakai bungkus, orang tetap 'sebats'. Dulu penerapan peringatan bergambar 40 persen juga harapannya mengurangi jumlah perokok, tapi hasilnya nihil."

Ketua Media Center AMTI Hananto Wibisono mengatakan persentase PHW memang tidak berbanding terbalik dengan konsumsi rokok, setidaknya berdasarkan sebuah penelitian di Australia.

Ia menilai efeknya akan lebih terasa pada industri hasil tembakau (IHT) itu sendiri. Ia menyayangkan bila saat IHT memiliki peran menopang perekonomian, pemerintah justru malah menambah beban mereka.

"Jika agenda tersebut dipaksakan," kata Hananto kepada reporter Tirto, "sudah barang tentu berdampak negatif terhadap situasi sosial ekonomi hari ini."

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino