Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Tarik Ulur Pemerintah-DPR soal Pengesahan RUU Perampasan Aset

Jokowi mendorong agar RUU Perampasan Aset segara rampung. Semestinya bisa cepat seperti UU IKN dan Perppu Ciptaker.

Tarik Ulur Pemerintah-DPR soal Pengesahan RUU Perampasan Aset
Suasana rapat dengar pendapat antara Menko Polhukam yang juga Ketua Komite TPPU Mahfud MD bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (29/3/2023). Rapat tersebut membahas tentang informasi Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

tirto.id - Desakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terus menggema dari sejumlah kalangan, mulai dari masyarakat sipil hingga lembaga negara. Teranyar, Kelompok Masyarakat Sipil Gerakan Tuntaskan Reformasi menagih kembali RUU yang mangkrak sejak 2006 tersebut.

Koalisi masyarakat sipil menilai, RUU Perampasan Aset harusnya bisa dimanfaatkan untuk merampas kekayaan para pejabat yang belakangan viral akibat harta kekayaannya yang tak masuk akal.

“RUU Perampasan Aset yang sudah di DPR sejak 2006 tidak kunjung disahkan, sehingga temuan-temuan yang telah diungkapkan, dan kekayaan fantastis seperti yang dimiliki Rafael Alun Trisambodo, pejabat Ditjen Pajak serta para pejabat lainnya tidak dapat dirampas,” kata Ketua Kelompok Masyarakat Sipil Gerakan Tuntaskan Reformasi, Nursyahbani dalam keterangan tertulis.

Nursyahbani mengatakan, perampasan kekayaan yang diperoleh dengan cara tidak sah ini sebetulnya sudah ada dalam UN Convention on Anti Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan UU Nomor 7 tahun 2006. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada instrumen UU yang dapat digunakan untuk melaksanakannya.

Tak hanya masyarakat sipil, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendorong hal serupa. Komisi antirasuah menyebut maraknya sorotan masyarakat terhadap harta kekayaan pejabat publik dapat menjadi momentum pengesahan RUU Perampasan Aset.

“Saya kira ini waktu yang tepat untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset sebagai support untuk penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sedang kami lakukan," kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat 31 Maret 2023.

“Saya kira ini momen yang tepat ketika ada beberapa laporan masyarakat, atensi masyarakat terkait dengan gaya hidup penyelenggara negara,” kata Ali menambahkan.

Ali mengklaim, pengesahan RUU Perampasan Aset ini dapat membantu KPK memaksimalkan perampasan aset pelaku korupsi. Sebab, kata dia, dengan RUU tersebut, pengambilan barang hasil korupsi dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan.

“RUU ini sangat menarik sekali. Bagaimana kemudian kemudahan-kemudahan dalam upaya perampasan aset dari hasil tindak pidana korupsi bisa dilakukan, baik lewat peradilan ataupun di luarnya," jelasnya.

Presiden Joko Widodo bahkan telah beberapa kali mendorong DPR segera mengesahkan RUU tersebut. Ia mengklaim pemerintah terus mendorong penyelesaian regulasi ini. Jokowi bilang, pemerintah terus berkomitmen mendorong segera pengesahan regulasi tersebut.

“RUU Perampasan Aset itu memang inisiatif dari pemerintah dan terus kita dorong agar itu segera diselesaikan oleh DPR dan ini prosesnya sudah berjalan,” kata Jokowi usai meninjau harga pangan di Pasar Johar, Jakarta, Rabu (5/4/2023).

Jokowi juga berharap kehadiran RUU Perampasan Aset bisa memudahkan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi.

“Saya harapkan dengan Undang-Undang Perampasan Aset itu, dia akan memudahkan proses-proses utamanya dalam tindak pidana korupsi untuk menyelesaikan setelah terbukti karena payung hukumnya jelas," kata Jokowi.

Tarik ulur ini sebenarnya kontras dengan RUU lain yang mampu dikerjakan secara cepat oleh pemerintah dan DPR. Misalnya RUU Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang rampung kurang dari tiga bulan saja.

DPR kala itu menyebut, RUU IKN akan selesai dengan cepat, sebab pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan, baik secara formal maupun informal.

UU lain yang juga dikebut DPR adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang diperlukan DPR guna memuluskan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja saat itu.

Mestinya, dengan pengalaman yang demikian, tak sulit bagi pemerintah dan DPR jika memang bersepakat untuk menggolkan sebuah UU, termasuk RUU Perampasan Aset. Apalagi, parpol pendukung pemerintah di DPR adalah mayoritas.

Sayangnya, hingga saat ini progres pembahasan RUU Perampasan Aset belum juga menunjukkan tanda kemajuan.

Perlu Lobi Ketua Umum Partai?

Di sisi lain, Komisi III DPR yang membidangi hukum justru menyebut macetnya pembahasan RUU Perampasan Aset akibat naskah akademik dan draf RUU ini tak kunjung dikirim oleh pemerintah. Karena itu, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani meminta pemerintah segera mengirimnya ke DPR.

Draf tersebut nantinya akan dibahas DPR. Arsul menyebut, akibat tertundanya draf dan naskah akademik RUU Perampasan Aset, DPR terkena imbas. Legislatif dituding memperlambat pembahasan RUU tersebut dan seakan tidak mau ikut dalam proses penyelesaian masalah korupsi di Indonesia.

“Sekarang, kan, yang dikesankan bahwa DPR nya tidak mau membahas. Padahal naskah akademik dan draf RUU nya saja belum dikirim ke DPR,” kata Arsul saat dihubungi Tirto pada 31 Maret 2023.

Sementara itu, Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto atau Pacul sempat mengatakan, pihak yang berkepentingan untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset harus terlebih dahulu melobi atasan para anggota legislatif tersebut, yaitu ketua umum parpol.

Hal tersebut dilontarkan Bambang Pacul dalam rangka menanggapi permintaan Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Mahfud MD agar DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Mulanya, Mahfud MD meminta DPR untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal agar leluasa menyelidiki transaksi mencurigakan di kemudian hari.

“Tolong melalui Pak Bambang Pacul, tolong Pak, Undang-Undang Perampasan Aset tolong didukung, Pak. Biar kami bisa ambil begini-begini ini Pak. Tolong juga (UU) pembatasan belanja uang kartal didukung, Pak," kata Mahfud dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Bambang Pacul pun menjawab “Saya terang-terangan ini. Mungkin RUU Perampasan Aset bisa (disahkan), tapi harus bicara dengan para ketua partai dulu. Kalau di sini nggak bisa, Pak,” kata dia menjawab permintaan Mahfud MD.

RDPU KOMISI III DPR DENGAN KOMITE TPPU

Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite TPPU Mahfud MD (kanan) bersama Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (kiri) mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). ANTARA FOTO/Prabanndaru Wahyuaji/hp.

Sontak, pernyataan Bambang Pacul itu menuai sorotan publik. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter bahkan menyebut bahwa Bambang Pacul menunjukkan dirinya tidak layak mewakili komisi dengan ucapannya tersebut.

“Seorang ketua komisi kemudian memperlihatkan betapa dia sebetulnya tidak layak untuk mengisi posisi anggota legislatif, apalagi yang mewakili di Komisi III, Komisi Hukum dalam sebuah RDP dengan PPATK dengan Menko Polhukam," kata Lalola dalam sebuah diskusi daring.

Lalola juga menyebut sikap Bambang Pacul menandakan bahwa praktik politik uang adalah hal lumrah, sehingga para anggota legislatif tersebut tak menghendaki pengesahan RUU Perampasan Aset yang berpotensi menghambat langkah mereka.

“Apalagi ini konteksnya mendekati pemilu, dan dia dengan sangat terbuka itu menyampaikan bahwa praktik politik uang itu adalah sesuatu yang biasa. Dan kalau sampai ada RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal itu justru akan membatasi praktik busuk tersebut,” kata Lalola.

Lalola menyebut hal ini juga menegaskan bahwa negara belum punya frekuensi yang sama dalam mendukung upaya perampasan aset hasil tindak pidana.

Karena itu, kata Lalola, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda mengirim surpres kepada DPR supaya RUU Perampasan Aset dapat segera dibahas. Terlebih mengingat munculnya gelagat minim dukungan dari DPR tersebut.

“Kalau surpres belum dikirimkan ke DPR, DPR jatuhnya menunggu. Saat ini memang bolanya masih di pemerintah,” kata Lalola.

Project Officer The Partnership for Governance Reform Kemitraan Indonesia, Refki Saputra mengatakan, pernyataan Bambang Pacul tersebut menandakan bahwa keputusan DPR hanya bergantung elite partai politik, bukan konstituennya.

“Aset terbesar dari partai politik bukan di kapasitas kader, tapi kapasitas modal atau kapasitas pengaruh dari elite partai,” kata Refki.

Hal ini, kata Refki, termasuk mengingkari sejarah, sebab dalam sejarahnya, partai politik muncul dalam rangka memperjuangkan ide yang dihimpun dari masyarakat yang menjadi konstituennya.

“Mekanisme bagaimana menghimpun aspirasi masyarakat kemudian aspirasi itu digodok di internal partai, baru kemudian diambil keputusan atau sikap partai, itu ternyata enggak ada. Jadi sebenarnya top down saja, apa yang dipikirkan elite partai, itu yang harus dikerjakan kadernya di lembaga-lembaga formal," kata Refki.

Tak Ada Political Will Pemerintah dan DPR

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai, baik pemerintah maupun DPR nampak tidak memiliki political will untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset. Hal ini dibuktikan dengan mangkraknya RUU tersebut hingga jelang akhir pemerintahan Jokowi.

“Pemerintah yang usulkan juga kelihatannya nggak terlalu serius. Kalau serius, [seharusnya] bisa didukung partai koalisi," kata Ujang pada Kamis, 6 April 2023.

Permasalahannya, kata Ujang, saat ini koalisi partai pendukung pemerintah sudah mulai terpecah karena kepentingan Pemilu 2024. Untuk itu, kata Ujang, lobi-lobi terhadap ketua partai saat ini menjadi penting bila pemerintah serius ingin RUU Perampasan Aset segara disahkan menjadi UU.

“Kalau mau lolos, ya memang harus lobi-lobi, ketemu ketua umum partai itu, karena sebenarnya ketum partainya di tangan Jokowi, di tangan pemerintah,” kata dia.

Ujang juga menilai, mengharapkan inisiatif DPR untuk serius mendukung pemberantasan korupsi, termasuk mengesahkan RUU Perampasan Aset adalah hal yang mustahil.

“Kalau kita berharap pemberantasan korupsi kepada DPR nggak bisa. Mereka justru di sana episentrum korupsi. Karena mereka punya power, punya kekuasaan untuk utak-atik anggaran dan lain sebagainya,” kata Ujang.

Ujang menyebut, meskipun jalan lobi-lobi elite partai masih dapat dilakukan, tapi kesempatan untuk meloloskan RUU ini agaknya sulit. Sebab, hanya kepentingan yang dapat menyatukan para legislator tersebut, sementara saat ini kepentingan partai mereka sudah berbeda-beda.

Baca juga artikel terkait RUU PERAMPASAN atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz