Menuju konten utama

Tarif MRT Jakarta Dinilai Wajar Bila Ditetapkan Maksimal Rp10 Ribu

Pengamat transportasi Djoko Setiwardjono menjelaskan seharusnya PT MRT Jakarta bisa menetapkan tarif psikologis maksimal Rp10 ribu.

Warga memadati gerbong MRT (Mass Rapid Transit) fase I koridor Lebak Bulus - Bundaran HI saat uji coba publik di Stasiun Bundaran HI, Jakarta, Selasa (19/3/2019). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Pengamat transportasi Djoko Setiwardjono menjelaskan seharusnya PT MRT Jakarta bisa menetapkan tarif psikologis maksimal Rp10 ribu. Dengan tarif tersebut, penumpang yang menggunakan MRT Jakarta masih tetap merupakan kelas menengah ke atas.

"Masyarakat kelas menengah ke bawah kemungkinan besar tetap menggunakan bus Transjakarta yang bertarif Rp3.500. Ke depan, Pemprov. DKI Jakarta bisa menerapkan kartu khusus bagi warga kurang mampu supaya mereka bisa naik MRT Jakarta," jelas dia di Jakarta, Senin (1/4/2019).

Ia menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta perlu belajar dengan PT KAI melalui anak perusahaannya, PT KCJ, kala itu melakukan revitalisasi besar-besaran operasional KRL Jabodetabek.

Tidak hanya tarif yang dibuat murah, tapi lingkungan stasiun dibuat tertutup dan bersih, jenis kereta diganti yang lebih nyaman, layanan makin bagus dan sistem yang mendukungnya juga diubah.

Dengan layanan yang bagus, perlahan tarif dinaikkan yang semula jarak terjauh Rp5 ribu. Pemakai KRL tidak merasa keberatan. Tahun 2013 dalam sehari rata-rata mengangkut sekitar 350 ribu penumpang. Sekarang, hampir enam tahun berselang sudah terangkut rata-rata sehari 1,1 juta penumpang.

"Kalau sudah begitu, masih mau dibilang MRT Jakarta disubsidi? Subsidinya itu bukan untuk membayar selisih tarif tapi untuk perpindahan dari angkutan pribadi ke angkutan umum. Bagi yang sudah memakai bus Transjakarta tidak perlu beralih ke MRT Jakarta. Tidak ada gunanya jadinya," jelas dia.

Ia menjelaskan, MRT Jakarta juga perlu memiliki beberapa daya tarik agar masyarakat mau beralih menggunakan moda transportasi ini. Beberapa diantaranya yaitu persiapan integrasi antarmoda, integrasi tarif, dan pembatasan kendaraan pribadi dilakukan.

Integrasi antarmoda, kata Djoko, bisa dimulai dari penyediaan sarana angkutan umum yang nyaman dari semua kawasan perumahan, seperti di Tangerang Selatan dan Depok yang terakses ke Stasiun Lebak Bulus.

Djoko mengatakan masalahnya ketersediaan transportasi umum tidak sampai ke daerah-daerah tempat tinggal warga. Lalu kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi juga sudah terlalu nyaman bagi warga Jakarta. Terlebih operasional penggunaan kendaraan pribadi ditanggung instansi tempatnya bekerja.

MRT Jakarta baru terbangun 17 km, kata Djoko, masih diteruskan fase kedua dengan panjang 8 km. Dilanjut dengan MRT rute Timur-Barat sejauh 40 km. Selain itu, LRT Jakarta juga akan dibangun sepanjang 6 km antara Kelapa Gading-Velodrome Rawamangun yang menghubungkan hingga pusat Kota Jakarta, rencananya lewat Dukuh Atas menuju Kawasan Pasar Tanah Abang.

Dua tahun lagi LRT Jabodebek akan dibangun sepanjang 43,5 km sudah bisa beroperasi dengan tarif Rp12 ribu. Lintas Cibubur-Cawang kemudian 14,5 km sudah tersambung. Masih dikerjakan lintas Bekasi Timur-Cawang sepanjang 18,5 km dan Cawang-Dukuh Atas sepanjang 10,5 km.

Dengan panjang lintasan MRT Jakarta 17 km, belum banyak mengatasi kemacetan secara keseluruhan. Pasalnya, rencana moda jalan rel menjadi tulang punggung transportasi di wilayah Jabodetabek direncanakan sekitar 230 km. Namun, minimal hanya dapat mengurangi kemacetan di jalan-jalan sepanjang lintasan MRT Jakarta.

Baca juga artikel terkait KERETA MRT atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri