Menuju konten utama

Tarif Kargo Pesawat Terbang Naik, Bisnis Kurir Rontok

Ada empat perusahaan yang sampai gulung tikar.

Tarif Kargo Pesawat Terbang Naik, Bisnis Kurir Rontok
Ilustrasi pesawat kargo. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Isu mahalnya jasa angkutan udara sejak awal tahun ini tampaknya kian melebar ke segala bidang usaha. Baru-baru ini, empat perusahaan jasa pengiriman dikabarkan bangkrut lantaran tarif kargo udara yang melonjak.

Kabar itu terlontar dari Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) Budi Paryanto saat menghadiri diskusi “Membangun Infrastruktur yang Tepat Sasaran” di Jakarta.

“Sebetulnya ada 20 anggota kami yang melaporkan bahwa bisnisnya terganggu lantaran tarif surat muatan udara yang terus naik. Nah, empat di antaranya itu ternyata sudah mulai tutup usahanya,” katanya kepada Tirto.

Tutupnya empat perusahaan ekspedisi tersebut memprihatinkan. Bisnis ekspedisi selama ini kerap didengung-dengungkan sebagai salah satu bisnis yang menjanjikan di tengah geliat bisnis e-commerce di Indonesia yang terus tumbuh.

Laporan Google-Temasek mencatat Indonesia bakal menjadi pemimpin pasar perdagangan elektronik atau e-commerce di Asia Tenggara. Pada 2018, nilai pasar e-commerce Indonesia sudah mencapai US$12,2 miliar.

Nilai itu jauh lebih tinggi ketimbang negara tetangg seperti Thailand yang berada di posisi kedua senilai US$3 miliar. Sementara di posisi ketiga, ditempati Vietnam dengan nilai pasar e-commerce sebesar US$2,8 miliar.

Masih dalam laporan itu, nilai pasar e-commerce Indonesia juga bakal menembus US$53 miliar pada 2025. Kondisi ini tentu seharusnya menjadi peluang bagi pengembangan bisnis logistik, terutama bisnis ekspedisi.

Dampak Biaya Surat Muatan Udara

Untuk mengirim barang dari satu tempat ke tempat lainnya, perusahaan ekspedisi umumnya menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan transportasi, baik itu angkutan udara, laut, darat maupun kereta api.

Khusus angkutan udara, perjanjian antara perusahaan ekspedisi dan maskapai penerbangan dimuat dalam sebuah Surat Muatan udara (SMU). Dokumen SMU sendiri bisa dalam bentuk cetak, elektronik dan bentuk lainnya.

Selain sebagai bukti perjanjian pengangkutan udara antara pengirim kargo, pengangkut dan penerima kargo, perjanjian yang ada di SMU atau airway bill itu juga memuat biaya atau tarif pengangkutan kargo. Celakanya, tarif SMU dalam beberapa bulan terakhir ini mengalami kenaikan yang signifikan di sejumlah rute. Menurut Asperindo, kenaikan tarif SMU paling rendah sekitar 120 persen. Paling tinggi bisa mencapai 350 persen.

Vice President Corporate Secretary PT Garuda Indonesia Tbk. Ikhsan Rosan mengakui ada kenaikan yang signifikan dari tarif SMU oleh maskapai. Khusus Garuda, rata-rata tarif SMU naik mencapai 50 persen.

“Ada juga [tarif SMU] yang naik sampai dengan 100 persen. Tergantung rute juga. Tapi rata-rata itu naik 50 persen. Jadi sekarang ini, tarifnya sekitar Rp6.500 per kilometer per jam,” katanya kepada Tirto.

Penyesuaian yang dilakukan Garuda Indonesia bukan tanpa alasan. Menurut maskapai milik negara itu, kenaikan biaya operasional menjadi pertimbangan utama maskapai melakukan penyesuaian tarif SMU.

Meski beban operasional ditanggung seluruhnya oleh penumpang, Garuda menilai kargo juga turut menambah biaya, terutama dari sisi konsumsi bahan bakar. Menurut Garuda, semakin berat bawaan, semakin besar pula konsumsi bahan bakar.

Kenaikan tarif SMU tidak dilakukan oleh Garuda saja. Namun, kenaikan tarif SMU ternyata tidak disosialisasikan secara baik oleh maskapai, sehingga bisnis ekspedisi kelimpungan.

Lalu, mengapa tarif SMU yang naik sampai membuat perusahaan ekspedisi gulung tikar ?

Model bisnis perusahaan ekspedisi bisa bermacam-macam. Ada perusahaan ekspedisi yang konsumennya ritel atau individu. Ada pula perusahaan ekspedisi yang konsumennya korporasi, meski ada juga yang campuran keduanya.

Perusahaan ekspedisi yang konsumen mayoritasnya korporasi paling rentan terkena dampak negatif dari kenaikan tarif SMU. Kenaikan tarif SMU itu membuat harga jual pengiriman ikut meningkat dan konsumen kerap tidak sepakat dengan harga baru.

Contohnya begini. Perusahaan A memiliki tiga klien korporat. Untuk ketiga kliennya itu, perusahaan A memberikan harga untuk jasanya sebesar Rp15.000 per kg dengan margin keuntungan sekitar Rp3.000 per kg. Kenaikan tarif SMU membuat Perusahaan A mesti menaikkan harga jasanya hingga 20 persen menjadi Rp18.000 per kg. Kenaikan harga jual atau jasa ini sekadar untuk menutup biaya tarif SMU, dan margin untung tetap Rp3.000 per kg.

Rata-rata biaya SMU itu menyumbang 30-40 persen dari total biaya yang dikeluarkan perusahaan ekspedisi. Adapun margin untung perusahaan ekspedisi rata-rata sekitar 15-20 persen dari harga jual.

Untuk klien yang memahami kenaikan tarif SMU, kenaikan harga jual tidak menjadi soal bagi konsumen. Namun, tak sedikit konsumen yang tidak sepakat dengan kenaikan harga baru. Ujung-ujungnya, klien lari.

“Ada juga konsumen yang memilih bertahan dengan mitra perusahaan ekspedisi. Namun, produksinya dikurangi. Bisa sampai 30-40 persen. Kalau modal kuat, mungkin bisa bertahan. Yang susah itu perusahaan menengah kecil,” tutur Budi.

Ilustrasi Lalu lintas Kargo Udara

Ilustrasi Lalu lintas Kargo Udara

Sewa Pesawat Kargo?

Tarif SMU yang mahal membuat perusahaan ekspedisi beralih ke moda transportasi lain seperti angkutan darat dan laut. Sekitar 50 persen dari total anggota Asperindo sebanyak 287 anggota mulai beralih.

Sayang, peralihan moda angkutan barang tidak berjalan mulus. Pengiriman barang melalui laut, misalnya. Waktu pelayarannya seharusnya hanya memakan waktu dua hari. Namun, faktanya ternyata bisa memakan waktu hingga 5 hari lantaran waktu bongkar muat membutuhkan waktu hingga 3 hari. Bagi konsumen, selisih waktu hingga 5 hari tidaklah menarik.

Asperindo kemudian mencari solusi lainnya. Wacana yang muncul adalah menyewa pesawat freighter atau kargo. Pengiriman barang melalui pesawat udara idealnya memang melalui pesawat kargo, bukan pesawat penumpang.

“Barangkali sudah saatnya pesawat freighter harus muncul, di mana sebenarnya sudah kami tunggu-tunggu sejak puluhan tahun yang lalu. Selama ini, kita masih bergantung dari pesawat penumpang,” tutur Budi.

Biaya sewa pesawat kargo belum tentu lebih murah ketimbang pesawat penumpang. Pada pesawat penumpang komersial, beban operasi pesawat penumpang ditanggung seluruhnya oleh tiket penumpang.

Jika menyewa pesawat kargo, beban operasi akan dibebankan seluruhnya kepada kargo atau barang yang diangkut, mulai dari biaya bahan bakar, asuransi, gaji awak pesawat, dan lain sebagainya.

Baca juga artikel terkait MASKAPAI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Maulida Sri Handayani