Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Tantangan Vaksinasi COVID-19 saat Ketidakpercayaan Publik Tinggi

Vaksinasi COVID terus digalakkan saat PPKM Darurat. Namun, tantangannya berat di tengah tingginya warga yang tidak mau divaksin.

Tantangan Vaksinasi COVID-19 saat Ketidakpercayaan Publik Tinggi
Pelaksanaan Vaksinasi Keliling di Kelurahan Cipedak, Jakarta, Rabu (14/07/2021). tirto.id Andrey Gromico

tirto.id - Pemerintah terus menggenjot pelaksanaan program vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Terbaru, pemerintah mengeluarkan kebijakan vaksinasi gratis tanpa harus syarat domisili, cukup menunjukkan KTP saja. Hal ini merespons keluhan publik soal penerima vaksin harus sesuai domisili di KTP.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menegaskan tidak boleh ada diskriminasi dalam pelaksanaan vaksinasi bagi masyarakat. Siapapun, kata Muhadjir, selama merupakan Warga Negara Indonesia yang memiliki KTP berhak mendapatkan vaksinasi.

“Sudah ada SE Menkes bahwa sekarang ini vaksinasi tidak lagi berbasis domisili KTP. Yang penting punya KTP, ada outlet vaksinasi, entah itu yang dilaksanakan oleh Kemenkes atau TNI/Polri, silakan datang bawa KTP saja cukup, tidak harus dipersoalkan domisilinya mana saja,” kata Muhadjir, Jumat (16/7/2021).

Muhadjir menambahkan, apabila ada petugas yang menolak vaksinasi dengan alasan KTP tidak memenuhi syarat dapat dilaporkan kepada pihak yang bertanggung jawab di wilayah setempat.

“Karena sudah diinstruksikan oleh presiden langsung, jadi bisa dilaporkan kepada yang bertanggung jawab yaitu TNI-Polri. Jadi bisa ke Kapolsek setempat. Intinya tidak ada pembatasan vaksin atas dasar domisili. Pokoknya punya KTP, cukup langsung bisa divaksin” tegas Muhadjir.

Namun demikian, aksi pemerintah dalam menggalakkan program vaksinasi COVID-19 ini bukan berarti tanpa tantangan. Berdasarkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dengan margin error 3,07 persen, angka masyarakat yang menolak vaksin cukup tinggi.

Dinukil dari Antara, Warga DKI yang tidak mau divaksin sebanyak 33%. Jakarta sebagai ibu kota berada di urutan pertama yang kemudian disusul Jawa Timur 32% dan Banten 31%. Sementara itu, persentase terendah penolakan divaksin ada di Jawa Tengah. Angka penolakan pun masih tinggi yakni 20%.

Selain itu, SMRC juga mendapati data bahwa sekitar 31 persen responden umat Islam dari total 1.220 responden tidak bersedia divaksin. Angka ini lebih tinggi dari non-muslim 19 persen. Kemudian, bila dilihat etnisitas, persentase terbesar etnik warga yang tidak mau divaksin adalah Madura (58%) dan Minang (43%). Sedangkan yang paling tinggi persentase bersedia divaksin adalah Batak (57%) dan Jawa (56%).

Sementara rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 18 Juli 2021 mencatat dari 1.200 responden yang dimintai tanggapan lewat telepon 20-15 Juni 2021 mencatat ada 82,6 persen orang belum divaksin. Dari total responden, hanya 63,6 persen bersedia divaksin, sementara 36,4 persen enggan divaksin.

Alasan penolakan atas vaksin pun beragam. Angka tertinggi adalah merasa vaksin tidak aman (55,5 persen). Kemudian disusul vaksin dinilai tidak efektif (25,4 persen), merasa tidak membutuhkan atau merasa sehat (19 persen), tidak mau membayar untuk vaksin (8,7 persen), sudah banyak orang divaksin sehingga tidak perlu (4,1 persen), vaksin hanya akal-akalan cari untung (3,8 persen) dan jawaban lain (9,3 persen) serta tidak menjawab (1,8 persen).

Padahal, hasil riset LSI mendapati data pengetahuan publik terhadap COVID berada di angka 66,5 persen dengan status mengetahui bahaya untuk kesehatan warga (92 persen) dan mengganggu ekonomi nasional (95,8 persen).

Peneliti kebijakan publik Perkumpulan PRAKARSA Eka Afrina Djamhari tidak kaget menemukan hasil survei orang menolak vaksin. Ia menilai, vaksinasi yang masih mengalami penolakan bukan karena komunikasi yang gagal, tetapi minim akses informasi.

“Bukan gagal, tapi tidak efektif. Belum optimal mulai dari kampanye itu belum optimal dan belum sampai ke bawah. Banyak orang yang nggak dapat informasi," kata Eka kepada reporter Tirto, Jumat (16/7/2021).

Ia melihat ada sejumlah alasan masyarakat menolak untuk divaksin. Pertama, vaksinasi mendapat penolakan karena maraknya informasi soal vaksin sebelum vaksinasi dilaksanakan. Masyarakat yang menerima informasi simpang siur soal efek vaksin, keampuhan vaksin dan soal seseorang bisa tetap terkena COVID meski telah divaksin membuat warga menolak untuk divaksinasi.

"Jadi menurut kami informasinya dari pemerintah pusat itu terkait vaksin itu masih belum masif dan belum diterima oleh masyarakat dengan informasi yang betul-betul benar," kata Eka.

Kedua, Eka menduga penolakan vaksin itu terjadi karena ada kelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama menolak vaksin. Ketika vaksin masuk, kelompok ini menentang vaksin. Mereka akan bersikap menolak meski sudah ada status halal dari otoritas lembaga keagamaan, apalagi vaksin sempat diisukan haram. Hal tersebut terekam dalam survei SMRC.

Kemudian penolakan ketiga terjadi, kata Eka, diduga karena memang ada masyarakat yang tidak layak mendapat vaksin. Masyarakat tersebut mengalami ketakutan ketika mereka hendak divaksin.

Dalam riset awal Prakarsa, kata dia, mendapati beberapa lansia menolak divaksin karena takut vaksin tersebut berdampak kepada kondisi kesehatan mereka. Oleh karena itu, mereka lebih mengedepankan untuk tetap di rumah.

Kemudian, kata dia, Prakarsa juga menemukan kesulitan akses vaksin oleh masyarakat. Hal ini membuat warga malas, termasuk ketika mereka harus mengantre untuk divaksin. Lalu, kata Eka, ada faktor lain yakni ada orang tidak percaya COVID.

“Orang juga banyak yang gak percaya COVID. Masih ada loh," Kata Eka.

Eka lantas mengelompokkan membagi menjadi beberapa bagian, yaitu orang yang sukarela divaksin, divaksin karena masalah administrasi, dan kontra terhadap kehadiran COVID. “Jadi kepercayaan terhadap COVID-nya itu sendiri, pemahaman dia terhadap COVID itu juga berpengaruh," kata Eka.

Eka mengatakan, temuan awal Prakarsa menyarankan agar pemerintah memperbaiki komunikasi. Saat ini, komunikasi pemerintah dalam program vaksinasi masih belum menyentuh ke bawah.

Temuan awal Prakarsa, kata Eka, melihat warga percaya dengan informasi pemerintah, bahkan informasi itu disebar lewat grup WhatsApp RT. Namun warga masih mengalami keengganan akibat misinformasi, terutama setelah menerima informasi dari akun media sosial. Ia mencontohkan pedagang beda domisili ingin divaksin, tetapi khawatir tidak mendapat vaksin akibat beda KTP.

“Akses informasi itu mereka nggak dapat. Jadi mereka ketakutan ketika masa sih langsung datang, ah enggak ah, takut nih saya," kata Eka.

Opsi lain yang jadi solusi adalah menjemput bola, kata Eka. Ia mencontohkan kehadiran mobil keliling vaksinasi di DKI Jakarta yang efektif untuk menjaring warga untuk divaksin.

“Tapi tergantung daerahnya masing-masing dan komitmen kepala daerah. Itu kan dukungan kepala daerah. Harusnya alasan keterbatasan anggaran dan sebagainya itu gak boleh jadi alasan," kata Eka.

Hal senada diungkapkan ahli komunikasi massa Universitas Airlangga Suko Widodo. Ia melihat ada sejumlah faktor yang membuat warga enggan divaksin COVID. Pertama, informasi terhadap vaksin mempengaruhi keputusan masyarakat untuk divaksin atau tidak.

Ia mencontohkan bagaimana Kementerian Kesehatan pernah melakukan survei dan mendapati masyarakat menolak divaksin hingga 30 persen pada 2020. Informasi yang beredar di publik soal vaksin, termasuk di media sosial membuat masyarakat enggan divaksin.

“Jadi kan begitu banyaknya sumber informasi tentang vaksin yang ada di Indonesia membuat kegamangan masyarakat misalnya anggap saja Sinovac atau apa belum standar WHO misalnya belum diakui dan seterusnya. Itu salah satu pemicu," kata Suko kepada reporter Tirto.

Kedua, kata Suko, publik mengalami kendala dalam pemahaman vaksin. Mereka menolak vaksin karena sosialisasi vaksin dan edukasi vaksin sebagai pelindung kesehatan tidak cukup berhasil memberikan pemahaman kepada publik.

“Cara edukasi secara masif terhadap vaksin tidak cukup, jadi misal hanya saya siap divaksin. Itu kan hanya simbol pemerintah foto dan pejabat. Itu teori identifikasi tapi ada proses edukasinya yang tidak cukup memadai dalam tempo yang rumit sekarang ini," kata Suko.

Dua kendala utama, yakni soal banyak informasi dan disinformasi soal vaksin termasuk di sosial media secara masif serta minim edukasi mengarah pada gaya komunikasi pemerintah yang kurang optimal tentang vaksin. Hal itu membuat gaya komunikasi soal vaksin di Indonesia tidak efektif, kata Suko.

“Kan semua orang mengatakan komunikasi publik tentang COVID tidak cukup efektif nyatanya di samping memang overload komunikasi yang memberikan, ruang media sosial itu liar sekali," tutur Suko.

Suko menambahkan, “Di beberapa negara misalnya mestinya ada satu penertiban medsos sehingga sumber informasi yang menegasikan vaksin itu harusnya ditutup atau diminimalisirlah, itu tidak. Lepas begitu saja orang bicara dengan bebasnya di tempat kita," kata Suko.

Ketiga adalah masalah infrastruktur. Saat ini, kata Suko, tidak sedikit masyarakat kesal dan membatalkan vaksinasi akibat harus menunggu untuk divaksin. Keterbatasan sentra vaksin hingga persyaratan yang sulit juga membuat masyarakat enggan untuk ikut program vaksinasi meski ingin divaksin sebelumnya.

“Jadi infrastruktur kesehatan terhadap vaksin itu kurang cepat, kurang tersedia dengan cepat. Itu yang membuat mereka kemudian agak frustasi," kata Suko.

Karena itu, Suko menyarankan pemerintah perlu memperbanyak sentra vaksin seperti pembuatan di mal dan tempat umum lain. Sentra vaksin semakin banyak akan mendorong rakyat untuk mau divaksin. Kemudian pemerintah perlu mengontrol informasi tentang vaksin.

Ia pun menyarankan agar para kepala daerah konsisten menerapkan PPKM darurat secara tegas, tapi humanis dalam mendorong vaksinasi. Ia mendorong agar partisipasi masyarakat dalam satgas juga perlu diperkuat lewat RT/RW atau LKMK, guru, sekolah dan ormas yang bisa dioptimalkan dalam mendorong inisiatif masyarakat untuk divaksin.

Penerapan PPKM harus bersifat partisipatif sehingga komunikasi sampai ke publik dan angka penolak vaksinasi menurun, kata Suko. “Jangan hanya pemerintah pejabat pemda saja, tapi unsur-unsur organisasi di luar pemerintah saya kira harus dimaksimalkan peranannya karena jumlah SDM-nya lebih besar," kata Suko.

Respons Satgas Penanganan COVID-19

Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito menyayangkan masyarakat masih menolak vaksinasi. Ia mengatakan pemerintah sudah berupaya keras untuk mengajak masyarakat untuk divaksin sekaligus mengedukasi publik tentang urgensi vaksin.

"Pemerintah tentunya sangat menyayangkan masih adanya masyarakat di provinsi-provinsi tersebut yang masih memiliki penolakan terhadap vaksin Covid-19. Pada prinsipnya dalam berbagai kesempatan, pemerintah selalu mengedukasi masyarakat akan pentingnya vaksinasi Covid-19. Pemerintah juga telah bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mensosialisasikan hal ini," kata Wiku kepada reporter Tirto, Minggu (18/7/2021).

Wiku pun secara pribadi mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut vaksinasi. Ia menegaskan, vaksin yang digunakan aman, halal, efektif, dan minim efek samping. Ia juga mengingatkan bahwa mengikuti program vaksinasi sama dengan melindungi orang lain selain melindungi diri sendiri.

"Selain itu, partisipasi masyarakat dalam program vaksinasi juga berperan penting dalam mengakselerasi tercapainya kekebalan komunal (herd immunity)," Kata Wiku.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz