Menuju konten utama

Tantangan Indonesia di Tengah Perang Dagang AS-Cina yang Kian Panas

Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi memperkirakan ekonomi RI bisa tergerus hingga 1 persen dari posisi saat ini yang berada di kisaran 5 persen bila perang dagang AS-Cina terus berkepanjangan.

Tantangan Indonesia di Tengah Perang Dagang AS-Cina yang Kian Panas
Presiden Joko Widodo memimpin sidang kabinet paripurna yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla dan jajaran menteri Kabinet Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (29/8). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

tirto.id - Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina kian memanas. Kedua negara saling menerapkan tarif bea masuk tinggi terhadap berbagai produk dari negara rivalnya itu. Teranyar, Cina berbalik menerapkan pajak barang AS mulai 1 Juni 2019 usai negeri paman sam itu menaikkan tarif barang Cina sebesar 25 persen.

Presiden AS Donald Trump bahkan mendeklarasikan larangan masuknya produk Huawei, sebuah perusahaan teknologi asal Cina yang berbuah ‘cerainya’ kerja sama bisnis Google dan Huawei dengan alasan ancaman keamanan nasional AS meski belum ada bukti yang menunjukkan ke arah sana.

Tensi perang dagang AS-Cina yang kian memanas ini membuat ekonomi dunia pun ikut terdampak. Interntional Monetary Times (IMF) bahkan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 ke posisi 3,3 persen karena adanya ketegangan seperti perang dagang As-Cina.

Pada Januari 2019, misalnya, IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 akan menyentuh angka 3,5 persen tahun ini. Namun, proyeksi terbaru IMF ini disebut sebagai pertumbuhan ekonomi terlemah sejak 2009.

Gita Gopinath, ekonom IMF seperti dikutip dari AP menyampaikan Cina dan AS, harus menemukan jalan tengah untuk mengatasi perang dagang, karena hal tersebut mempengaruhi perekonomian secara global. Jika ketegangan terus meningkat, Gopinath memperingatkan hal itu akan memicu gangguan besar terhadap jaringan suplai global.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi berpandangan, dampak dari perang dagang ini terutama akan dirasakan oleh negara-negara berkembang alias emerging market. Sebab, kata Fithra, Cina merupakan negara yang jadi hub industri dari banyak negara berkembang.

Menurut dia, terguncangnya ekonomi Cina sudah barang tentu bakal merembet ke negara berkembang, terutama negara-negara yang punya hubungan dagang langsung dengan negara tirai bambu itu.

“Kalau kita lihat dari Cina salah satu hub terpenting di Asia, dan di mana most of emerging market itu sangat bergantung dengan Cina. Saya rasa kontraksi baik dari sisi investasi maupun trade-nya akan cukup signifikan,” kata Fithra saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (7/6/2019).

Dampak ke Indonesia

Perang dagang AS-Cina, baik secara langsung maupun tidak jelas memberi dampak bagi Indonesia. Pelemahan ekonomi global yang mengakibatkan perlambatan ekonomi pada negara-negara mitra dagang RI yang imbasnya pada permintaan produk yang menurun.

Akibatnya, kata dia, kinerja ekspor Indonesia jadi ikut melambat dan mengikis kondisi perekonomian dalam negeri secara keseluruhan. Fithra bahkan memperkirakan ekonomi RI bisa tergerus hingga 1 persen dari posisi saat ini yang berada di kisaran 5 persen bila perang dagang AS-Cina terus berkepanjangan.

“Dalam jangka pendek itu setidaknya ada kontraksi 0,2 persen dari GDP kita dari pertumbuhan ekonomi. Tapi kalau memang ini berlangsung cukup panjang, ini bisa 0,8 sampai 1 persen dari pertumbuhan ekonomi kita terkontraksi,” sebut dia.

Untuk mengatasi risiko tersebut, kata Fithra, salah satu cara yang bisa ditempuh Indonesia adalah mencari negara-negara baru tujuan ekspor. Cara ini bisa membantu RI keluar dari perlambatan ekspor dari negara mitra dagang saat ini atau mitra dagang tradisional.

Hal itu sebenarnya sudah disadari pemerintah Indonesia dengan segala kebijakannya. Salah satu contohnya program misi dagang yang dilakukan Kementerian Perdagangan saat ini.

Namun, kata Fithra, belum ada hasil konkret yang menunjukkan RI serius menggarap negara non-tradisional atau negara tujuan ekspor baru.

“Dalam konteks realisasi kebijakan, ini belum cukup signifikan ya. Salah satunya adalah kalau kita mau mencari yang non-tradisional, ya seharusnya harus lebih cepat dan konkret lagi. Sekarang, kan, belum terlalu kelihatan ya, meskipun ada beberapa progres, tapi tidak terlalu signifikan,” kata Fithra.

Kesiapan RI Hadapi Imbas Perang Dagang

Perang dagang yang terjadi sebenarnya bisa jadi peluang bagi Indonesia. Pelaku bisnis di Cina tentu akan mencari cara agar barangnya tetap bisa masuk ke AS. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan memindahkan basis produksinya ke luar Cina. Indonesia punya peluang ‘menampung’ perpindahan basis produksi itu.

Namun, kata Fithra, dengan kondisi saat ini justru RI tak cukup menarik bagi investor dibandingkan dengan negara ‘sejenis’ di Asia seperti Malaysia hingga Vietnam. Penyebabnya adalah iklim investasi Indonesia yang dinilai masih kurang ramah investor. Paket kebijakan ekonomi yang telah diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun belum banyak berbuah hasil.

Alih-alih memudahkan investor, kata Fithra, paket kebijakan yang ada justru membingungkan karena masih tumpang tindih antar-kebijakan dan cenderung belum bisa menjawab permasalahan yang ada.

“Paket kebijakan yang dibuat ini sudah terlalu banyak dan ada beberapa kebijakan yang tumpang tindih. Jadi misalnya ada OSS sebelumnya ada PTSP. Idenya bagus, kan, menyatukan semua. Tapi, kan, PTSP ini belum selesai, belum jelas di pemda, juga belum ada koordinasinya dengan pemeirntah pusat. Investor lebih banyak butuh ke pemerintah daerah,” kata Fithra.

Hal senada disampaikan peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aryo Dharma Pahla Irhamna. Online Single Submission (OSS) atau perizinan online terpadu yang harusnya jadi senjata RI memudahkan investor menanamkan modalnya, justru tak berjalan seperti yang dibarapkan.

Menurut Aryo, tak berjalannya sistem yang dibuat jadi biang keladi investasi yang masuk ke RI justru terhambat.

“Saya pernah bantu BKPM untuk ketemu beberapa potensial investor. Itu mereka [investor] sampai bikin pelesetan, bukan online single submisson, tapi online single stop. Karena memang belum siap sistemnya,” kata Aryo menggambarkan kesiapan RI menyambut investor asing.

Aryo mengatakan, integrasi regulasi pusat dan daerah yang belum terlaksana sempurna lewat OSS masih jadi isu utama yang jadi sorotan investor. Terlebih, sistem online ini juga dinilai tak ramah investor asing.

Menurut dia, sistem online yang harusnya jadi jendela bagi investor asing melongok potensi investasi yang ada di Indonesia justru tak menyediakan menu tampilan berbahasa inggris.

“Saya lihat itu peralihan OSS lagi yang bikin bingung potensial investor. Bahkan sampai sekarang belum ada bahasa inggrisnya, kan,” kata Aryo menambahkan.

Aryo menambahkan, semestinya Indonesia belajar dari Vietnam soal menangkap peluang perpindahan basis industri imbas perang dagang antara AS-Cina ini. “Dia [Vietnam] cukup memiliki respons yang baik terkait perang dagang ini. Dia mengeluarkan banyak kebijakan investasi,” kata Aryo.

Hal paling mencolok yang membedakan kesiapan RI dan Vietnam dalam menyambut investasi asing adalah ketersediaan kawasan ekonomi khusus.

“Vietnam itu terbanyak, dia memiliki kawasan ekonomi khusus dan yang paling baik, paling siap. Dia ada 100 lebih KEK, kita ada 14. Sementara yang baru siap 7,” kata dia.

Menurut Aryo, kondisi ini harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah. Sebab, masuknya investasi asing terutama yang berorientasi ekspor, akan sangat membantu RI dalam memperbaiki kinerja neraca dagang yang diharapkan berimbas pada kondisi ekonomi nasional.

Selain itu, kata Aryo, bagi masyarakat, keberadaan investasi baru berarti terbukanya lapangan kerja baru dan kesempatan ekonomi baru. Jika Indonesia tak bisa memanfaatkan celah perang dagang ini, maka dikhawatirkan akan berimbas pada ekonomi Indonesia.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG AS-CINA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz