Menuju konten utama

Tanpa Petani, Lupakan Kelezatan Masakan Indonesia

70–80% pangan dunia diproduksi oleh para petani kecil dengan kurang dari dua hektare.

Tanpa Petani, Lupakan Kelezatan Masakan Indonesia
Ilustrasi petani indonesia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dampak buruk pandemi Covid-19 dirasakan oleh banyak orang, tak terkecuali bagi petani Indonesia. Malah, bisa dibilang petani menjadi pihak paling terdampak. Kementerian Pertanian mencatat, 2,7 juta petani Indonesia—terdiri dari petani serabutan, buruh tani, dan petani penggarap—tengah mengalami masa sulit. Setiap hari, di berbagai wilayah, terjadi penurunan harga komoditas pangan hingga level terendah.

Menurut Dian Wahyu Utami, peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2K-LIPI), petani yang selama ini jadi tumpuan harapan bagi penyediaan pangan, justru terancam kerugian yang berakibat ketidakmampuan membeli bibit dan memperbaharui tanaman mereka. Ironisnya, masyarakat tetap membeli dengan harga normal, malah cenderung naik, di berbagai pasar dan swalayan.

“Padahal petani merupakan profesi tunggal penyedia pangan yang seharusnya mampu tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19,” tulis Dian Wahyu Utami, peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2K-LIPI).

Seperti dilansir dari laman resmi kemenperin.go.id, aktivitas perekonomian Industri kecil dan menengah (IKM) sektor makanan terkendala oleh ketersediaan dan harga bahan baku, seperti gula pasir, kedelai, sayuran, buah-buahan, susu segar, jahe merah, cabai, dan bawang putih. “Data yang kami terima, yaitu pasokan bahan baku IKM makanan sulit didapat dan harganya saat ini terbilang meningkat,” terang Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin Gati Wibawaningsih (11/4). Kenaikan harga ini berpengaruh pula terhadap penurunan pendapatan IKM—sebesar 50 sampai dengan 90 persen.

Saat pemerintah DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), permintaan cabai dari ibukota menurun hingga 20–25 ton per hari. Padahal, dalam suasana normal, kebutuhan cabai DKI Jakarta mencapai 80-100 ton per hari. “Penurunan permintaan cabai dikarenakan sebagian besar rumah makan, hotel, dan tempat kuliner lainnya tutup,” ungkap Abdul Hamid, Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), pertengahan April lalu.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania pun mengatakan Covid-19 kian menurunkan nilai tukar petani (NTP). Pada bulan April, NTP petani adalah 100,32. Sedangkan Mei jadi 99,47. Menurut Badan Pusat Statistik, NTP kurang dari 100 berarti petani mengalami defisit dan pendapatan petani menurun. Ironisnya, anjloknya NTP kali ini justru terjadi pada Mei, di mana para petani seharusnya menggelar panen raya.

"Pandemi Covid-19 menyebabkan hasil panen tidak terserap secara maksimal di pasaran. Tidak terserap dengan baiknya komoditas pangan hasil panen ini disebabkan karena berkurangnya pendapatan masyarakat ataupun karena adanya PSBB yang ditetapkan oleh pemerintah," kata Galuh (4/6).

Saat ini, pemerintah memang telah menyerukan kenormalan baru. Aktivitas ekonomi digerakkan, rumah makan dan hotel dan tempat kuliner dibuka kembali—sekalipun diikuti serangkaian protokol kesehatan yang ketat. Namun demikian, dalam konteks menguatkan kesejahteraan petani, hal tersebut tak semudah membalik telapak tangan.

Infografik Advertorial Kecap Bango

Infografik Advertorial Dukung Petani Bangkit Kembali. tirto.id/Mojo

Upaya Mendukung Petani Indonesia

Sekadar informasi, dalam skala global, 70–80% pangan dunia diproduksi oleh para petani kecil dengan kurang dari dua hektare. Di Indonesia, sektor pertanian menyediakan pekerjaan bagi 29% penduduk berusia 15 tahun ke atas. Bayangkan kalau sektor pertanian ini sekarat, atau bahkan mati. Tak ada cabai yang vital bagi dendeng balado. Tak ada kedelai yang jadi bahan baku penting bagi tempe, tahu, dan kecap.

Pemerintah telah mengalokasikan bantuan sebesar Rp600.000 untuk petani: Rp300.000 diberikan secara tunai sedangkan sisanya dalam bentuk bibit, pupuk, dan sarana produksi lainnya. Tentu, upaya-upaya pemerintah ini mesti dibarengi dengan upaya masyarakat. Yang paling mudah dilakukan adalah membeli lebih banyak produk pertanian, baik di warung dan pasar tradisional, supermarket, maupun layanan aplikasi digital (e-commerce).

Agar permintaan terhadap hasil tani meningkat kembali sekaligus memudahkan aksesnya, Bango melalui program “Bango Pangan Lestari” kali ini berkolaborasi dengan Sayurbox dan TaniHub, dua e-commerce yang memasarkan panen petani lokal, meluncurkan inisiatif untuk mendukung petani agar bertahan di masa sulit ini.

Melalui situs Bango Pangan Lestari, perusahaan kecap yang berdiri sejak 1928 ini akan menjadi penghubung bagi masyarakat yang ingin membeli produk langsung dari petani, sebagai dukungan terhadap petani yang selama ini berjasa memasok sumber pangan kita. Kerja sama ini diharapkan lebih memudahkan masyarakat untuk mengakses hasil tani sekaligus meningkatkan permintaan hasil tani.

Yuk, mari jadi bagian generasi yang mendukung petani bangkit kembali bersama Bango Pangan Lestari agar kelezatan asli masakan Indonesia tidak terlupakan hingga anak cucu kita nanti.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis