Menuju konten utama

Tanpa Pembatasan Sosial, Pakai Masker Saja Tak Cukup Melawan Corona

Memakai masker memang penting, tapi tanpa dibarengi dengan pembatasan sosial, angka penularan Corona bakal tetap tinggi.

Tanpa Pembatasan Sosial, Pakai Masker Saja Tak Cukup Melawan Corona
Sejumlah penumpang beraktivitas di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Kamis (11/6/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/aww.

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah lebih memilih menggalakkan masyarakat memakai masker daripada menerapkan kembali kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengendalikan COVID-19. Menurut para ahli kesehatan masyarakat, cara ini tak cukup membendung laju pandemi.

Presiden awalnya merespons pernyataan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam rapat bersama dengan pejabat se-Jawa Barat, di Kota Bandung, Selasa (11/8/2020). Emil mengatakan berdasarkan kajian Goldman Sachs, “lockdown dengan pakai masker itu sama-sama menurunkan tingkat penularan, tapi kalau lockdown ada korban ekonomi sosial, kalau pakai masker tidak.”

Jokowi sepakat. “Seperti tadi disampaikan, pilih lockdown atau pilih masker, pilih PSBB atau pilih masker, kita pilih pakai masker,” kata Jokowi.

Ia lantas mengizinkan jajaran pemerintah Jawa Barat baik level provinsi hingga kabupaten/kota meminta masker ke pusat, jika kurang.

Ketua Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Dedi Supratman mengatakan menghentikan penularan COVID-19 tidak bisa hanya dengan menggalakkan penggunaan masker dan pada saat yang sama melonggarkan mobilitas warga. Pemerintah pusat memutuskan melonggarkan PSBB menuju era the new normal.

DKI menyambutnya dengan membikin PSBB Transisi, masa transisi menuju era baru; sementara Jawa Barat menerapkan PSBB Proporsional.

Menurutnya dengan pernyataan tersebut pemerintah cenderung menyerahkan semua kepada masyarakat.

“Kami kalangan kesehatan sangat tidak setuju jika hanya menyerahkan kepada masyarakat untuk disiplin. Faktanya masyarakat belum siap, bukan hanya faktor menggunakan masker saja,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (13/8/2020)

PSBB, kata dia, sebetulnya cukup efektif untuk menekan angka penularan. Jika berkaca pada awal-awal pemberlakuan PSBB di DKI Jakarta, peningkatan kasus relatif sedikit. Namun, setelah mulai dilakukan sejumlah pelonggaran lewat PSBB Transisi, kasusnya semakin banyak.

Ketika aspek-aspek protokol kesehatan lainnya tak terpenuhi, seperti jaga jarak dan mobilitas terlalu tinggi, maka yang terjadi ada peningkatan kasus. Ia mencontohkan ketika kantor-kantor di ibu kota mulai buka, maka kemudian muncul puluhan klaster penularan di perkantoran.

“Itu menunjukkan kebijakan PSBB masih diperlukan. Bahkan negara lain, Malaysia, lockdown lagi setelah sebelumnya pelonggaran,” kata Dedi.

Ia menegaskan organisasinya tidak anti dengan upaya pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Justru menurutnya ini adalah upaya yang benar untuk meningkatkan ekonomi--sesuatu yang sangat diinginkan pemerintah. Sebab, jika PSBB dicabut dan memungkinkan muncul klaster-klaster baru, “ekonomi juga tidak akan tumbuh, malah akan semakin mempersulit penanganannya.”

Riset Goldman

Peneliti dan sosiolog bencana dari Nanyang Technological University Singapore, Sulfikar Amir, mengatakan kajian Goldman Sachs, yang jadi rujukan pernyataan Emil dan disepakati oleh Jokowi, harusnya tak ditelan mentah-mentah. Pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi riil di Indonesia.

Goldman Sachs, sebuah perusahan multinasional berbasis di Amerika Serikat yang bergerak di bidang investasi itu, dalam kajiannya menyoroti soal kebijakan pemakaian masker di Amerika yang masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara di Asia serta hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Kajian itu memang menunjukkan tingginya penggunaan masker mampu menekan angka penularan COVID-19.

“Tapi hanya kalau tingkat penularannya masih rendah. Jadi cuma bisa menjaga, tapi enggak menekan (suppression) laju penularan secara efektif,” kata Sulfikar kepada reporter Tirto, Rabu (12/8/2020).

Dengan situasi Indonesia saat ini, menurutnya tidak cukup hanya menggalakkan masyarakat memakai masker tanpa ada intervensi kebijakan lain yang tegas. Berdasarkan kajian yang pernah ia lakukan, masyarakat Surabaya dan Jakarta yang menjadi kota episentrum COVID-19 masih memiliki persepsi resiko yang rendah terhadap bahaya virus yang belum ditemukan obatnya ini.

Selain itu, yang juga perlu dicermati dari kajian Goldman Sachs adalah mereka tidak menyebutkan kebijakan lockdown atau pembatasan sosial dapat digantikan sepenuhnya dengan mandat penggunaan masker. Disebutkan dalam kajian tersebut mandat penggunaan masker berlaku “partially substitute.”

“Artinya masih ada unsur-unsur lockdown atau PSBB yang tetap dilakukan,” kata Sulfikar.

Baca juga artikel terkait PENULARAN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino