Menuju konten utama

Tangkap 539 Demonstran Aksi Damai Papua, Rasisme ala Jokowi?

Pada era Jokowi, Papua menjadi ladang pembungkaman ruang demokrasi, penangkapan, penahanan, pembubaran paksa, penembakan, dan pembunuhan.

Tangkap 539 Demonstran Aksi Damai Papua, Rasisme ala Jokowi?
Ilustrasi: Operasi tambang emas Freeport McMoRan Copper & Gold pada 1973 menandakan eksploitasi ekonomi sesudah integrasi paksa Papua ke Indonesia pada 1960-an. Tirto/Gery Paulandhika

tirto.id - Para mahasiswa dan pemuda asli Papua memperingati hari kemerdekaan dari Belanda pada 1 Desember dengan aksi damai di berbagai daerah. Merata di semua wilayah, mereka menjadi korban persekusi dan ujaran kebencian dari gabungan organisasi masyarakat.

539 demonstran ditangkap kepolisian, baik sebelum, saat, dan usai menggelar aksi damai. Ini berdasarkan data yang dihimpun The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Jumlah mereka yang ditangkap di luar Papua: 18 orang di Kupang, 99 orang di Ternate, 43 orang di Ambon, 27 orang di Manado, 24 orang di Makassar, dan 233 orang di Surabaya.

Sedangkan di Papua, 95 orang ditangkap ketika berencana menggelar aksi di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, dan Kabupaten Asmat.

"[Sebanyak] 41 orang di Sentani sudah di bebaskan jam 17.00 WIT [kemarin], sekarang kami masih menunggu perkembangan 44 orang yang [ditangkap] di Polresta dan KP3 Laut," kata Gustav Kawer, kuasa hukum perkumpulan pengacara HAM untuk Papua saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (1/12/2018).

Rentetan penangkapan itu, kata Gustav, selalu terjadi dari tahun ke tahun dengan dalih yang sama: makar.

"Indonesia masih mewarisi regulasi warisan Belanda yang kolonial, yakni pasal-pasal makar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) seperti Pasal 106 KUHP, 110 ayat (1) KUHP dan pasal makar lainnya," jelasnya.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan, pasal-pasal terkait makar memang kerap digunakan untuk meredam kelompok yang tak sejalan dengan pemerintah.

Penyebabnya adalah simplifikasi kata "aanslag" dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda yang diterjemahkan menjadi "makar" dan dipakai hingga sekarang. Padahal, menurut Anggara, terjemahan "aanslag" yang ada dalam KUHP lebih tepat diartikan sebagai "serangan", ketimbang "makar"

Menurut Anggara, harusnya aksi-aksi damai untuk peringatan 1 Desember tak bisa dikategorikan ke dalam perbuatan makar. "Kan prinsip hukum pidana terikat prinsip yang ketat: lex certa dan lex stricta. Dia harus pasti dan tidak bisa diartikan lain. Makar ya artinya serangan yang sifatnya fisik," tegasnya.

Anggara menjelaskan kalau maksud di KUHP memang demikian karena faktanya upaya Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tak pernah dijerat dengan delik makar oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

"Bung Karno zaman Hindia Belanda kan pernah diadili. Tapi beliau tidak pernah didakwa makar. Masak kita jadi mundur? Ini karena penafsirannya yang loose begini makanya jadi gampang menuduh makar," terangnya.

Juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta mengatakan bahwa delik makar dalam KUHP berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Menurut dia, hal ini pula yang membuat represivitas aparat Indonesia terhadap peringatan 1 Desember tahun ini kian parah.

Di Jakarta, Surya dan puluhan orang yang tergabung dalam FRI-WP, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI), dikepung polisi di halaman Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka dilarang berangkat aksi di tiga lokasi: Kedutaan Besar Belanda, PT Freeport Indonesia, serta Kantor PBB.

"Memang makar ini delik yang paling sering dipakai, apalagi ini mempengaruhi elektoral. Karena sebelumnya pemerintah bubarkan HTI dan anggap makar. Ini Jokowi enggak mau dibilang cuma represif sama HTI. Nanti dia dibilang pro PKI. Kan jadi ke mana-mana isunya," jelas Surya kepada reporter Tirto.

Rasisme dan Fobia Terhadap Papua

Advokat HAM dari Civil Liberty Defenders Veronica Koman menegaskan, rentetan kekerasan dan represivitas aparat Indonesia terjadi karena budaya rasisme pada orang asli Papua belum luntur.

Sikap rasis itu diperlihatkan sejumlah Ormas yang menyerang massa aksi mahasiswa Papua di Surabaya. Akibatnya tiga anggota AMP kepalanya bocor dan 16 anggota lainnya luka-luka.

Tak berhenti di situ, usai aksi damai 1 Desember, menjelang tengah malam tadi, 233 mahasiswa Papua ditangkap di Asrama Mahasiwa Papua di Surabaya. Sebabnya mereka menolak diusir dari Surabaya.

"Ketika orang Papua berbicara, kita orang Indonesia kebiasaan tidak mau mendengar dan terlalu sok mau mengajari. Seakan-akan orang Papua tidak tahu sejarah mereka sendiri. Seolah-olah semua ini konspirasi padahal luka orang Papua disampaikan turun temurun, yang disebut memoria passionis," ujarnya.

Padahal Indonesia sendiri pernah menjadi negara jajahan atau korban rasialisme Belanda. Kemudian Indonesia mencantumkan dalam pembukaan UUD 1945: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

"Kita orang Indonesia sudah pernah mengalami ini ketika di bawah Belanda, ironisnya kita tidak sadar bahwa kita sedang melakukan ini terhadap orang Papua," jelasnya.

Kepala Sekretariat Kantor Koordinasi di Papua dari ULMWP, Markus Haluk, mengatakan hal serupa, bahwa presiden Jokowi terus menerapkan politik rasialis terhadap orang asli Papua. Menurutnya di tangan Jokowi Papua menjadi ladang pembungkaman ruang demokrasi, penangkapan, penahanan, pembubaran paksa, penembakan, dan pembunuhan.

“Pada masa rezim [Jokowi] ini, sejak 2015 telah menangkap dan menahan 7.000 orang lebih. Secara khusus pada peristiwa rakyat Papua memperingati 57 tahun kemerdekaan Papua telah melakukan pembungkaman ruang gerak dan kebebasan rakyat Papua,” ujar Markus kepada reporter Tirto.

Infografik HL Indepth Papua

Padahal untuk perlindungan HAM, Indonesia sudah meratifikasi perjanjian multilateral yang diadopsi oleh Sidang Majelis Umum PBB pada 16 Desember 1966. Hal itu terkait Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights.

“Indonesia juga dipandang sebagai negara demokrasi namun bangsa Papua menilai negara ini belum merdeka dan dewasa. Negara ini masih mempraktikkan politik rasialis bagi bangsa Papua,” tegasnya.

Markus menuturkan, doa pemulihan hari kemerdekaan Papua ke-57 bukan hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga di New Zealand, Australia, Amerika Serikat, hingga Inggris.

“Ini semua memberikan pesan kuat bahwa masalah politik dan HAM di West Papua [Papua] menjadi perhatian mereka. Oleh karena itu, kami mengapresiasi dan menyampaikan ucapan hormat dan terima kasih kepada semua pendukung secara internasional,” tuturnya.

“Kami terus akan perjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi West Papua. Sebagai solusi demokratis dan bermartabat di atas tanah air kami,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait AKSI DAMAI 1 DESEMBER atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana