Menuju konten utama

Tanggapan MA Soal Kritik ICW atas Banyaknya Pengajuan PK Koruptor

Mahkamah Agung merespons kritikan Indonesian Corruption Watch (ICW) agar tidak menerima peninjauan kembali (PK) koruptor di Indonesia.

Tanggapan MA Soal Kritik ICW atas Banyaknya Pengajuan PK Koruptor
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (kedua kanan) berbincang dengan para Hakim Agung di sela-sela Sidang Pleno MA di Jakarta, Rabu (27/2/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Mahkamah Agung (MA) merespons terkait kritikan Indonesian Corruption Watch (ICW) agar instansinya tidak menerima peninjauan kembali (PK) koruptor di Indonesia.

MA mengapresiasi kritik yang disampaikan ICW. Akan tetapi, mereka mengingatkan penegakan hukum tetap harus mengedepankan prinsip hukum. MA tidak bisa serta merta menolak pengajuan PK koruptor karena pengadilan wajib menyidangkan perkara.

"Kalau ada upaya PK itu diterima diregister, diproses, disidangkan. Masalah nanti alasan PK itu dapat dikabulkan maupun ditolak itu kewenangan mutlak ada di hakim," kata Karo Hukum dan Humas Abdullah kepada Tirto, Kamis (14/3/2019).

Abdullah menerangkan, hakim MA tidak bisa disamakan dengan hakim lain. Hal itu mengacu pada kritik sikap Suhadi yang membebaskan koruptor sementara mantan Hakim MA Artidjo sering menghukum berat koruptor. Akan tetapi, setiap hakim memiliki panduan yang sama dalam menyidangkan perkara.

"Kalau memang aturannya sama, maka pasti akan diproses dengan cara yang sama. Jadi kita harus percaya betul dengan lembaga peradilan kita," kata Abdullah.

Abdullah mengingatkan publik agar memahami kekuasaan hakim dalam menangani suatu perkara. Hakim tidak bisa diintervensi dalam bentuk apapun, termasuk desakan untuk menolak PK napikor bila novum tidak ada yang baru.

Ia berharap publik bisa menerima dan menghormati masalah kekuasaan kehakiman. Abdullah justru meminta publik menanyakan langsung kepada legislatif agar diselesaikan lewat hukum.

"Kalau memang punya kewenangan, silakan disampaikan nanti lewat DPR supaya upaya semacam itu bisa diatur menurut undang-undang. Tidak perlu disampaikan di media seperti ini. Semua harus diselesaikan menurut hukum acara," kata Abdullah.

ICW memperingatkan MA agar tidak membebaskan narapidana koruptor apabila tanpa pertimbangan hukum yang jelas. Hal ini merespons tingginya jumlah peninjauan kembali setelah hakim agung sekaligus mantan Ketua Kamar Pidana Artidjo Alkostar mundur dari MA.

Berdasarkan data ICW, jumlah permohonan peninjauan kembali para koruptor mencapai ratusan sejak 2007-2018. Setidaknya hanya ada 101 narapidana diputus bebas setelah mengajukan PK sesuai pasal 263 ayat 2 KUHAP, 5 putusan lepas, dan 14 dihukum lebih ringan daripada putusan tingkat pengadilan.

Di sisi lain, jumlah upaya peninjauan kembali mencapai 26 perkara selama 2018. Dari 26 perkara, 21 diajukan setelah Artidjo resmi pensiun. Mereka khawatir upaya peninjauan kembali digunakan koruptor sebagai upaya untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan tingginya jumlah putusan bebas.

Selain itu, keraguan diperkuat dengan penempatan Suhadi sebagai pengganti Artidjo. Selama menjadi Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo selalu memberatkan hukuman para koruptor.

Menurut catatan ICW, sekitar 842 pelaku korupsi dengan Putusan berat baik dalam kasasi maupun peninjauan kembali. Sementara itu, Suhadi pernah membebaskan terdakwa korupsi. Dalam catatan, Suhadi yang pernah menjadi ketua majelis peninjauan kembali membebaskan terdakwa BLBI Sudjiono Timan.

"Jangan sampai kalau ada terpidana korupsi justru dibebaskan tanpa peninjauan hukum yang jelas maka itu membuat citra Mahkamah Agung semakin memperburuk citra pengadilan, dan menurunkan kepercayaan di mata publik terhadap Mahkamah Agung," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana di kantor ICW, Jakarta, Rabu (13/3/2019).

Baca juga artikel terkait MAHKAMAH AGUNG atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri