Menuju konten utama

Tanggapan atas Protes Penolakan Film Dokumenter "Banda"

Tim film "Banda" menegaskan bahwa mereka tidak pernah memberikan pernyataan bahwa suku Banda asli telah musnah dari muka bumi dalam genosida tahun 1621.

Tanggapan atas Protes Penolakan Film Dokumenter
Cuplikan dalam trailer Film Banda: The Dark Forgotten Trail. FOTO/Trailer

tirto.id - Film dokumenter Banda: The Dark Forgotten Traill arahan sutradara Jay Subyakto menuai protes dari keluarga besar Wandan Banda Eli dan Elat, serta anak cucu Mboyratan. Mereka mempermasalahkan soal pernyataan sutradara yang mengatakan bahwa suku asli Banda telah habis dibantai dan punah dalam perang genosida tahun 1621.

Terkait dengan hal tersebut, tim film Banda yang bernaung di bawah rumah produksi Lifelike Pictures pun menegaskan bahwa sejak awal dan telah disebutkan dalam narasi di film bahwa mereka tidak pernah memberikan pernyataan bahwa suku Banda asli musnah dari muka bumi.

“Penulis dan tim sejak awal mengetahui dan mengakui eksistensi kelompok masyarakat Banda Eli dan Elat sebagai kelompok masyarakat Banda yang bermigrasi ketika terjadi kolonialisasi di Banda tahun baik sebelum tahun 1621 maupun sesudah tahun tersebut,” demikian yang diungkapkan tim film Banda melalui rilis pers yang diterima Tirto, Selasa (1/8/2017)

Tim film Banda melanjutkan, penulis naskah dan tim bahkan melakukan penelusuran sampai ke Kampung Bandan (Jakarta Utara) dengan kesadaran masih adanya orang asli Banda. Tak hanya itu, karya tulis Timo Kaartinen "Song of Travel, Stories of Place" yang secara spesifik meneliti masyarakat Banda Eli dan Elat pun menjadi bahan rujukan tim untuk memproduksi naskah film ini.

Sinema dokumenter arahan Jay Subiakto ini tidak berpusat pada upaya penelusuran orang asli Banda, demikian yang ditegaskan. Film Banda berusaha membicarakan apa yang tidak tersampaikan dalam sejarah mengenai kepulauan Banda sebagai salah satu pusat pencarian rempah dan pala yang mula-mula endemik di sana.

Dengan begitu, tim menjelaskan, fragmen sejarah 1621 yang digarisbawahi dalam film ini adalah bagian peristiwa pembantaian massal pertama. “Dalam film sendiri dijelaskan bahwa ada dua kelompok masyarakat di Banda yakni masyarakat sebelum 1621 dan setelah 1621,” paparnya.

Usman Thalib, sejarawan yang juga narasumber dalam film Banda, pun dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kesalahan sejarah dalam film ini. Ia sekaligus menyayangkan adanya pemboikotan film bermuatan sejarah ini karena dianggap akan berdampak pada pariwisata di Maluku.

"Setelah menonton, sebagai pakar sejarah, saya harus mengatakan tidak ada kesalahan sedikitpun terkait dengan sejarah Banda sejak era sebelum kolonial sampai dengan saat ini. Sungguh sangat aneh, belum menonton filmnya tapi sudah menyatakan ada kesalahan sejarah,” tutur Usman dalam rilis tersebut.

“Ancaman boikot terhadap film Banda: The Dark Forgotten Trail sama halnya dengan ancaman terhadap pembangunan karakter dan nasionalisme anak bangsa di daerah ini. Demikian pula menjadi ancaman terhadap pembangunan kepariwisataan di Maluku," katanya menambahkan.

Baca juga: Unjuk Rasa Menolak Pemutaran Film Dokumenter Banda

Seperti diberitakan sebelumnya, sekelompok orang di Ambon yang mengatasnamakan keluarga besar Wandan Banda Eli dan Elat menggelar protes dan menemui DPRD untuk tidak menayangkan film Banda.

"Kami juga mengutuk keras pernyataan Jay Subyakto melalui salah satu media sosial yang mengatakan kalau orang asli Banda telah habis dibantai dan punah dalam perang genosida tahun 1621," kata ketua Dewan Pengurus Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Wandan, Kamaludin Rery di Ambon, Senin (31/7/2017).

Kamaludin menuturkan, orang asli Banda yang keluar meninggalkan harta bendanya dan berpencar di berbagai penjuru Maluku hingga luar negeri masih tetap ada dan memiliki keturunan yang banyak hingga hari ini.

Mereka berpencar di Pulau Seram seperti wilayah Kabupaten Seram Timur dan Maluku Tengah, Banda Eli dan Banda Elat di Kabupaten Maluku Tenggara, maupun di Pulau Haruku (Kailolo) dan Pulau Ambon seperti di Negeri Amahusu.

"Untuk itu kami minta lembaga sensor film nasional untuk menghentikan pemutaran film dokumenter tersebut karena telah memicu instabilitas keamanan di Maluku dan dianggap membuat alur ceritera yang memutar-balikan sejarah," tandasnya.

Terkait pemboikotan ini, tim film Banda menyayangkan penolakan tersebut terjadi saat pihak yang kontra justru belum menonton filmnya. Untuk itu, mereka pun mengajak semua pihak untuk berkepala dingin dan menonton terlebih dulu film dokumenter ini.

“Kami sangat terbuka jika memang akan mendiskusikan lebih lanjut setelah berbagai pihak yang keberatan menonton filmnya,” katanya menegaskan.

Film Banda:The Dark Forgotten Trail adalah film dokumenter pertama dari Lifelike Pictures, yang sebelumnya membuat film seperti Pintu Terlarang, Modus Anomali, dan Tabula Rasa. Banda, The Dark Forgotten Trail tayang serentak mulai 3 Agustus 2017 di jaringan bioskop nasional.

Film panjang dokumenter itu diproduseri oleh Sheila Timothy dan Abduh Aziz. Naskah ditulis oleh Irfan Ramli (penulis Cahaya Dari Timur, Surat Dari Praha, dan Filosofi Kopi 2) dan disutradarai oleh Jay Subyakto.

Sementara itu, aktor Reza Rahadian juga ikut berpartisipasi dalam film Banda sebagai narator. Peran sebagai narator juga diberikan pada Ario Bayu untuk versi bahasa Inggris.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Film
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari