Menuju konten utama
2 Maret 1933

Tangan Dingin Sang Animator Melahirkan "King Kong"

Aksi primata.
Sebuah mahakarya
jagat sinema.

Tangan Dingin Sang Animator Melahirkan
Ilustrasi King Kong. tirto.id/Gery

tirto.id - Ketika dirilis pada 1993, King Kong membuat para penonton berdecak kagum berkat inovasi efek visualnya. Sejak itu ia terus hidup selama 80 tahun lebih dalam bentuk serial animasi televisi, permainan video, film, teman taman bermain, dan lain-lain. King Kong menjadi simbol terbaik budaya populer yang mengundang orang untuk bernostalgia serta mendaur ulang cerita yang sama.

Ishiro Honda, misalnya, membesut film King Kong vs Godzilla (1962) dan King Kong Escapes (1967). Pada 1976, Dino De Laurentiis membuat ulang King Kong dengan judul yang sama dan diganjar Oscar untuk beberapa kategori sekaligus. Jejak Dino De Laurentiis kemudian diikuti Peter Jackson, sutradara Lord of The Rings, yang turut memproduksi King Kong pada 2005.

King Kong rilis pertama kali di New York, Amerika Serikat pada 2 Maret 1933, tepat hari ini 85 tahun lalu. Film besutan sutradara Merian C. Cooper (1893-1973) dan Ernest B. Schoedsack (1893-1979) ini diputar di dua bioskop sekaligus: Radio City Music Hall dan New Roxy. Dua-duanya merupakan bioskop terbesar di Amerika dengan kapasitas penonton 10.000 orang.

Film ini diputar 10 kali dalam sehari di radio City Music Hall. Independent (10/12/2005) melaporkan, pada akhir penayangan di hari pertama, sebanyak 50.000 tiket ludes terjual. King Kong berhasil meraih kesuksesan dengan pendapatan $89,931 dalam empat hari saja. Sebuah keberhasilan yang mendorong Ernest B. Schoedsack membuat sekuelnya, The Son of Kong, pada Desember 1933.

Lahirnya King Kong

Semuanya bermula pada Desember 1931. Cynthia Marie Erb dalam Tracking King Kong: A Hollywood Icon in World Culture (1998) menjelaskan, produksi King Kong membutuhkan waktu lebih dari satu tahun.

Kala itu, Merian C. Cooper memberikan tugas yang berlimpah pada Edgar Wallace, seorang penulis Inggris yang baru saja menginjakkan kaki di Hollywood. Salah satu hal yang mesti ia tuntaskan adalah menulis naskah film Cooper tentang gorila berjudul The Beast. Wallace menyelesaikan naskah tersebut pada awal Januari 1932 tapi revisi-revisi kecil diberikan oleh Cooper sehingga sinopsis cerita itu belum selesai.

Sembari memperbaiki naskah film, Cooper meminta Willis O’Brien untuk memulai persiapan produksi seperti mengurusi miniatur dan lain-lain. Ia berencana melakukan proses syuting yang hasilnya nanti dapat dipakai untuk menyakinkan para petinggi RKO.

Impian Cooper pun menjadi kenyataan. The Beast—cikal bakal King Kong—beserta tiga film lain berjudul Flying Down to Rio dan Litte Women akan diproduksi di bawah payung studio film tersebut.

Pada Februari 1932, Wallace tidak lagi bisa menyelesaikan naskah lantaran sakit dan tak lama kemudian meninggal mendadak. Pekerjaan itu digantikan oleh James A. Creelman. Ia berhasil menyelesaikan sinopsis cerita pada pertengahan Maret hingga Juni, tapi Cooper masih saja belum puas dengan apa yang ia tulis.

Meski naskah bermasalah, Cooper tetap mencari cara untuk melanjutkan proses syuting. Ia bersama O’Brien berbagi peran dalam hal pengambilan gambar. O’Brien bertugas menyelesaikan bagian animasi, sedangkan Cooper mengarahkan adegan live action.

Di bulan Juni 1932, Creelman putus asa menghadapi revisi naskah film yang tidak kunjung selesai dan ia memutuskan keluar. Cooper selanjutnya menyerahkan sinopsis cerita itu kepada Ruth Rose, istri Ernest B. Schoedsack, sutradara King Kong yang lain. Ia seorang cerpenis. Beberapa karyanya dimuat di Ladies Home Journal.

Ruth Rose bukan penulis naskah film, tapi ia berhasil membuat sinopsis pada akhir Juli dan Agustus. Ia berperan dalam banyak hal, salah satunya menghasilkan urutan cerita adegan di New York berikut penghubung yang mengaitkan bagian cerita berlatarkan kota dan hutan.

Syuting King Kong pun berlanjut sampai akhir tahun dan proses editing dilakukan pada 1933. Ujung perjalanan King Kong adalah penayangan secara serempak di Radio City Music Hall dan New Roxy, Amerika Serikat pada 2 Maret 1933.

Animator di Balik Kong

King Kong awalnya hanya sebatas ide. Namun, tangan-tangan terampil para kru di balik layar membuatnya nyata di mata para penikmat sinema. Kenneth Von Gunden dalam Flights of Fancy: The Great Fantasy Films (1989) mengatakan, King Kong bisa hidup bukan karena sang sutradara melainkan gara-gara sang animator, Willis O’Brien.

Ia bahkan mengatakan bahwa O’Brien adalah Kong. Pendapat ini tidak berbeda dengan ulasan Joe Bigelow di Variety. Berkat tangan dingin O’Brien, lanjut Kenneth, King Kong dapat bergerak dan memiliki emosi.

Willis O’Brien lahir pada 2 Maret 1886 di kota Okland, California. Berdasarkan catatan Ray Morton dalam King Kong: The History of a Movie Icon from Fay Wray to Peter Jackson (2005), ia bekerja di sebuah perusahaan jasa dekorasi pada 1913.

Saat senggang, ia iseng membuat model seorang petinju dari tanah liat. Rekan kerjanya yang tertarik kemudian ikut membuat dan kedua model tanah liat tersebut diadu satu sama lain. O’Brien lantas mendapatkan ide untuk membuat animasi tiga dimensi untuk film menggunakan teknik stop motion.

Ide O’Brien termasuk baru sebab stop motion umumnya dipakai pada animasi dua dimensi. Stop motion adalah teknik yang menggunakan foto objek di mana perubahan postur tubuh, gerak, ekspresi, dan lain-lain dipotret secara bertahap dalam satu bingkai. Ketika bingkai itu diproyeksikan dengan kecepatan suara—24 bingkai per detik—maka objek akan terlihat bergerak dengan sendirinya.

Infografik Mozaik King Kong

O’Brien lantas membuat beberapa film seperti The Dinosaur and the Missing Link (1915), The Ghost of Slumber Mountain (1919), dan The Lost World (1925). Merian C. Cooper menaruh perhatian pada stop motion semenjak O’Brien menggunakannya di film Creation produksi studio RKO. Ia menghabiskan waktu berjam-jam berdiskusi dengan O’Brien soal teknik tersebut dan mulai berpikir untuk menggunakannya di The Beast.

Alasan Cooper singkat, padat, dan jelas: ia enggan mengeluarkan banyak biaya perjalanan selagi syuting film tentang gorila itu. Ia menganggap stop motion mampu menghemat anggaran sebab pembuatannya bisa dilakukan di studio.

Setelah O’Brien mengetahui Creation urung diproduksi, ia mencoba melukis sebuah lukisan seorang penjelajah dan perempuan yang diserang gorila. Ia ingin meyakinkan Cooper bahwa cerita gorilanya dapat dibuat di studio menggunakan teknik stop motion.

Di lukisan tersebut, ia melakukan improvisasi dengan memperbesar tinggi gorila menjadi sekitar 10 kaki. Gayung pun bersambut. Cooper menyukai ide O’Brien. Bahkan gara-gara ide animator itu, ia menggarap naskahnya kembali agar fokus pada petualangan gorila dengan tinggi 20 kaki yang ia sebut Giant Terror Gorila.

O’Brien lantas membuat model Giant Terror Gorilla. Miniatur-miniatur yang menjadi bagian berbagai macam adegan film King Kong menjadi saksi kepiawaiannya sebagai seorang animator. Kenneth Van Gunden menjelaskan bahwa Buz Gibson, asisten animasi O’Brien, mengambil adegan Kong mendaki pinggir gedung Empire State dengan cara memposisikan miniatur Kong yang diambil gambarnya bingkai demi bingkai.

Kenneth juga menjelaskan cara pengambilan sudut pandang teknisi kereta yang menyorot Kong saat menghancurkan rel kereta. O’Brien menaruh kamera di boneka yang kemudian diarahkan ke model Kong dalam satu bingkai. Teknologi canggih saat ini bisa menghasilkan efek yang sama, tapi O’Brien adalah orang pertama yang menemukan teknik tersebut.

King Kong pun diuntungkan berkat kemajuan teknologi, tapi pada saat yang sama ia juga mendorong perkembangan di bidang animasi film. Pada 2017, film berjudul Kong: Skull Island yang disutradarai oleh Jordan Vogt-Roberts diproduksi.

Di antara karya sinema lainnya, film ini menampilkan Kong dengan wujud fisik paling besar dan nyata. Dibuat oleh rumah efek visual Industrial Light and Magic, Kong di film ini berdiri dengan ketinggian 100 kaki serta mengenakan lapisan lengkap dengan 19 juta rambut digital.

Jeff White kepada TIME mengatakan, kalau Kong luar biasa bukan karena ukuran tapi cara ia berinteraksi dengan lingkungan. Kekuatannya pun bukan melulu fisik tapi matanya yang bisa menyampaikan emosi.

Meski melakukan perubahan, White mengaku Kong di film tersebut tetap sama dengan yang diproduksi 80 tahun yang lalu. “Ide Jordan adalah membawa Kong kembali ke versi tahun 1933 dan fokus padanya sebagai spesies monster baru dalam film,” katanya.

Baca juga artikel terkait FILM BIOSKOP atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Film
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf