Menuju konten utama
16 September 1982

Tangan Ariel Sharon dalam Pembantaian Sabra dan Shatila

Darah menghitam.
Bau kematian yang
tak terkuburkan.

Tangan Ariel Sharon dalam Pembantaian Sabra dan Shatila
Ilustrasi korban pembantaian di Sabra dan Shatila. tirto.id/Sabit

tirto.id - Amal al-Qirmi baru berusia 15 saat ia dan keluarganya melarikan diri dari rumah di salah satu distrik yang tak jauh dari kamp pengungsi Palestina di Lebanon selatan. Mereka mengungsi karena ada pasukan dari milisi Saad Haddad.

Haddad adalah bekas tentara nasional Lebanon yang saat itu memimpin sekitar 400 pasukan militer di Lebanon selatan dan menamai kelompoknya sebagai Tentara Lebanon Selatan. Mereka berkongsi dengan Israel karena tujuan yang sama: menentang kehadiran orang-orang Palestina di wilayah Lebanon selatan.

Sikap dan pandangan kelompok Haddad juga diamini beberapa partai di Lebanon lainnya, sebut saja Partai Phalang, sebuah partai Kristen sayap kanan di Lebanon dengan anggota mayoritas para Kristen Maronit.

“Mereka menipu kita”, kenang al-Qirmi dalam sedihnya. “Mereka memberi tahu kami melalui pengeras suara bahwa siapa pun yang pergi meninggalkan kamp, akan diizinkan kembali pulang kampung ke Palestina.

“Warga di kamp percaya akan perintah penuh kebohongan itu yang diceritakan oleh orang Israel dan agen Lebanon mereka,” ingatnya lagi. “Ketika penduduk menuruti perintah, mereka malah diserang dan disembelih dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya.”

Pengakuan tersebut meluncur dari mulut Amal al-Qirmi, seorang warga Palestina penyintas tragedi berdarah dan paling membekas di ingatan dan kehidupannya.

Mohamed al-Hasanein, warga Palestina penyintas lainnya menceritakan kenangannya dalam peristiwa berdarah itu. Ketika itu ia berusia 10 saat melihat seorang tentara Israel dan dua pria Lebanon tengah memotong janin dari seorang wanita hamil sebelum menggantungnya di dinding rumah.

“Adalah keajaiban bahwa beberapa dari kita lolos dan dapat meneruskan kehidupan kita” kata al-Hasanein lagi. “Setelah para pembunuh dan Zionis pergi, bau kematian meresap ke kamp selama berbulan-bulan.”

Menurut al-Hasanein, ia menyaksikan bagaimana para milisi muda tersebut menenggak obat-obatan sebelum melakukan serangan dan aksi sadis lainnya. Kejadian yang diceritakan al-Hasanein dan al-Qirmi ini tidak lain adalah peristiwa pembantaian di kamp Sabra dan Shatila yang dimulai pada 16 September 1982, tepat hari ini 36 tahun silam.

Ada banyak kisah yang dimiliki para penyintas lainnya dalam peristiwa pembantaian mengerikan itu. Namun, kejelasan hukum untuk menuntut para dalang pembantaian tak kunjung menemui titik terang sampai sekarang.

Bermula dari Perang Lebanon

Peristiwa pembantaian Sabra dan Shatila tidak lepas dari berkobarnya Perang Lebanon 1982. Pada 6 Juni 1982, operasi militer IDF ke Lebanon selatan resmi diluncurkan. Pemantiknya adalah saat sekelompok orang bersenjata dari organisasi Abu Nidal dituduh melakukan percobaan pembunuhan kepada Duta Besar Israel untuk Inggris Shlomo Argov.

Sebelumnya, rentetan letupan saling serang antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan Angkatan Bersenjata Israel (IDF) memang sudah terjadi di wilayah Lebanon selatan yang berbatasan langsung dengan Israel.

Restu serangan Israel ke Lebanon itu sejatinya terbit dengan terbatas. Perdana Menteri Menachem Begin menegaskan bahwa pasukan IDF boleh maju tidak lebih dari 40 kilometer dari perbatasan Lebanon. Namun, Ariel Sharon yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel memiliki ambisi lebih.

Bahkan jet-jet Suriah di Lebanon turut dihancurkan meski Amerika Serikat lewat Presiden Ronald Reagan mengutus diplomatnya Philip Habib untuk mencegah Israel bentrok dengan Suriah. Namun, atas perintah sepihak dari Ariel Sharon, serangan kejutan ini mengakibatkan 100 pesawat Suriah rusak.

Datangnya pasukan IDF hingga ke Beirut, ibu kota Lebanon, jelas sudah melampaui batas 40 kilometer seperti yang diamanatkan kabinet Israel. Sementara itu, di Lebanon sendiri terdapat milisi sayap kanan dari Partai Phalangis yang berisikan orang-orang Kristen Maronit.

Umumnya, orang-orang dari Partai Phalangis masih percaya bahwa pemimpin mereka, Bachir Gemayel, yang memenangi pemilu presiden, dibunuh orang-orang Palestina meski hal ini diperdebatkan. Ada kemungkinan pelakunya adalah seorang Lebanon agen Suriah. Dendam bak api dalam sekam ini terus dipelihara dan mengakibatkan mereka bersitegang dengan PLO dan organisasi pro-Palestina lainnya.

Sharon tahu betul situasi ketegangan lokal ini. Dengan masuknya pasukan IDF ke Beirut, Partai Phalangis dirangkul dan dipinjam tangannya untuk menghabisi orang Palestina di Beirut. Lokasi yang dipilih adalah sebuah kamp pengungsian warga Palestina di Sabra dan Shatila.

Infografik Mozaik Pembantaian Sabra dan Shatila

Sang Dalang Tak Tersentuh

Pada 15 September 1982, tentara Israel mengepung dua kamp pengungsi Palestina tersebut. Baru keesokan harinya pada 16 September, tentara Israel mulai mengizinkan sekitar 150 milisi Phalangis menyambangi Sabra dan Shatila. Selama satu setengah hari berikutnya, milisi Phalangis melakukan kekejaman dan sadisme brutal.

Mereka memerkosa, memutilasi dan membunuh sebanyak 3.500 warga sipil Palestina dan Lebanon, termasuk warga Iran, Suriah, Pakistan, dan Aljazair. Kebanyakan dari mereka adalah para wanita, anak-anak, dan orang tua.

Tentara Israel di Sabra dan Shatila sadar bahwa banyak warga sipil yang dibunuh. Namun, mereka tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Pasukan Israel malah melepaskan tembakan ke langit malam untuk menerangi kegelapan dan memungkinkan milisi Phalangis melancarkan kebrutalan mereka. Keesokan harinya, buldoser digunakan untuk membuang banyak mayat korban sipil.

Milisi Phalangis akhirnya meninggalkan dua kamp tersebut pada 18 September 1982 sekitar pukul delapan pagi. Mereka membawa banyak pria yang masih hidup untuk diinterogasi di sebuah stadion sepakbola oleh agen intelijen Israel. Setelah diinterogasi, banyak tawanan ini dikembalikan ke Phalangis. Beberapa dari mereka pun dieksekusi mati. Peristiwa keji ini didengar dunia setelah kepergian milisi Phalangis. Para jurnalis membuat laporan tentang apa yang terjadi di sana dalam beberapa hari terakhir.

Kemarahan internasional atas pembantaian tersebut menyeruak dan terjadi demonstrasi-demonstrasi terbesar dalam sejarah Israel. Ini mendorong pemerintah untuk mendirikan sebuah komisi penyelidikan. Pada 9 Februari 1983, komisi penyelidikan Israel menyimpulkan bahwa negara Israel dan beberapa individu Israel, termasuk Ariel Sharon, secara tidak langsung bertanggungjawab atas pembantaian tersebut.

Laporan Komisi yang dikenal sebagai Laporan Kahan ini dipublikasikan di seluruh dunia dan merekomendasikan agar Ariel Sharon dicopot dari jabatannya. Perdana Menteri Begin kemudian mencopot jabatan Menteri Pertahanan Ariel Sharon meski ia tetap duduk di kursi kabinet. Namun, kenyataannya, hampir 20 tahun kemudian ia malah terpilih sebagai Perdana Menteri Israel.

Secara spesifik, laporan Kahan menjelaskan peran pribadi Ariel Sharon dalam pembantaian ini. Dua hari sebelum pembantaian, Sharon telah berdiskusi dengan keluarga Gemayel tentang kebutuhan apa saja yang diminta milisi Phalangis untuk membalas dendam atas pembunuhan pemimpin mereka Bachir Gemayel.

Pada Juni 2001, pengacara untuk 23 orang yang selamat dari pembantaian tersebut memulai proses hukum melawan Sharon di pengadilan Belgia.

Namun, Pemimpin Phalangis Elie Hobeika yang memiliki koneksi ke Israel selama Perang Lebanon 1982 dibunuh oleh sebuah bom mobil di Beirut. Hobeika memang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut karena memimpin milisi menyerbu dua kamp pengungsi.

Padahal, ia telah menyatakan siap bersaksi di pengadilan kejahatan perang melawan Ariel Sharon yang kala itu malah naik jabatan sebagai Perdana Menteri Israel. Pembunuh Hobeika sendiri tidak pernah ditemukan.

Harapan besar para penyintas menuntut keadilan atas pembantaian tersebut di Belgia berujung kekecewaan setelah panel hakim Belgia menolak tuduhan kejahatan perang yang dialamatkan kepada Ariel Sharon karena dia tidak pernah hadir di Belgia.

Sampai ajal datang menjemput, Ariel Sharon tak tersentuh hukum untuk mempertanggungjawabkan kejahatan perang yang ia lakukan di Lebanon.

Setelah 36 tahun peristiwa tersebut berlalu dan banyak tokoh-tokoh kunci perang mangkat ke liang lahat, Departemen Sejarah IDF bakal menerbitkan laporan sejarah Perang Lebanon berjudul Sheleg in Lebanon yang ditulis Shimon Golan. Buku itu mengungkap kebenaran dan meluruskan sejarah tentang peristiwa di Lebanon, termasuk pembantaian Sabra dan Shatila.

==========

Artikel ini pertama kali diterbitkan pada 27 September 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan