Menuju konten utama

Tan Malaka dan Romusa di Tambang Batu bara Bayah

Tan Malaka sempat bekerja di Bayah pada masa pendudukan Jepang. Empat tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia dieksekusi di Selopanggung, Kediri.

Tan Malaka dan Romusa di Tambang Batu bara Bayah
Header Mozaik Jejak Tan Malaka di Bayah. tirto.id/Tino

tirto.id - Parino, lelaki asal Purworejo, Jawa Tengah, tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah. Ia adalah salah satu dari 20 ribu pekerja yang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk bekerja di lubang tambang batu bara di Bayah, Banten selatan, pada masa pendudukan Jepang.

“Kalau tidak salah, orangnya sangat pintar,” ujar Parino saat teringat sosok Ilyas Husein yang tiba di Bayah pada Juni 1943 seperti dikutip dari Seri Tempo: Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan (2010).

Ilyas Husein adalah nama samaran Tan Malaka saat bekerja di Bayah. Berdasarkan pengakuannya dalam Madilog (2019), pertualangannya di Banten didorong oleh kesulitan ekonomi. Kesulitan itu membuatnya harus menghentikan penulisan Madilog dan Gabungan Aslia.

Orang Susah Mencari Kerja

Dalam keadaan seperti itu, seperti ditulis pada autobiografinya Dari Penjara ke Penjara (2014), Tan Malaka membaca informasi di surat kabar:

“Orang-orang terkemuka supaya mendaftarkan diri ke kantor penasihat bala tentara Dai Nippon, Pegangsaan Timur 36, dengan data sendiri atau mengirimkan keterangan biografi lengkap, agar nanti mudah ditempatkan pada kedudukan yang layak.”

Awalnya ia tidak menaruh perhatian, terlebih ada keterangan “hanya orang-orang terkemuka”. Namun keputusannya berubah setelah bertemu dengan Dr. Purbocoroko di perpustakaan Gedung Arca.

Mula-mula Dr. Purbocoroko meminta kesediaan para pengunjung perpustakaan untuk menerjemahkan tulisan yang dimilikinya ke dalam bahasa Inggris. Tan Malaka menerima permintaan tersebut.

Setelah itu, Dr. Purbocoroko menganjurkan Tan Malaka untuk mendatangi Kantor Sosial di Tanah Abang Oost untuk mencari pekerjaan. Tempat tersebut ternyata kantor urusan romusa.

Salah satu pegawai kantor mendatanginya dan menanyakan kesediaan untuk bekerja di tambang batu bara di Bayah yang dikelola oleh perusahaan Bayah Kozan Sumitomo Kabushiki Kaisha. Tan Malaka menyanggupi dan harus kembali ke kantor tersebut keesokan harinya.

Menurutnya, saat itu terdapat sekitar 50 pelamar, sedangkan yang dibutuhkan hanya sekitar 30 orang.

Tan Malaka hampir mengurungkan niatnya karena terkendala kelengkapan administrasi, yakni ijazah SMP hingga SMT dan HBS pada masa kolonial Belanda, serta surat keterangan lainnya. Namun, karena ia lulusan MULO kelas 2 dan pernah bekerja di kantor impor Jerman di Singapura, maka ia diluluskan.

Esoknya, ia bersama 29 orang lainnya berangkat ke Bayah dari Stasiun Tanah Abang. Setelah sampai di Malingping, perjalanan dilanjutkan menggunakan truk.

Empati untuk Romusa

Hari pertama di Bayah, dalam kondisi mabuk kendaraan, Tan Malaka menginap di rumah bambu beratapkan rumbia. Esoknya, para pekerja dibawa ke kantor dan menuliskan riwayat masing-masing.

Hal ini menurutnya dilakukan sebagai langkah Jepang untuk mengetahui riwayat orang-orang dan segala perkumpulan yang pernah diikutinya. Tahu bahwa Jepang anti-komunis, Tan Malaka mengisi lembar riwayat yang disediakan dengan nama samaran Ilyas Husein, keluaran dari MULO di kelas 2 dan bekas juru tulis suatu firma di Singapura.

Ia kemudian ditempatkan di bagian gudang. Hari-harinya dihabiskan untuk mengangkat barang dan tidak ada waktu untuk sekadar duduk dan menulis di atas meja. Jika terpaksa harus menulis, ia mesti mencari sendiri kursi dan mejanya yang berasal dari peti.

Setelah enam bulan, ia dipindahkan ke kantor untuk mengurus para romusa yang masuk dan keluar di perusahaan ini. Pada saat itulah Tan Malaka menyaksikan tragisnya nasib romusa.

Untuk memastikan ketersediaan romusa, seorang son-co (asisten wedana) memperdaya rakyatnya. Beberapa romusa yang putus asa dan menyadari dirinya akan dikirim ke Bayah untuk kerja paksa, tak segan melarikan diri dengan cara melompat dari kereta api, baik ketika berhenti di stasiun maupun saat berjalan.

Pada masa inilah ia berhubungan dengan para dan-co romusa. Kepada mereka, Tan Malaka berpesan, “Jagalah supaya upah romusa yang sudah rendah itu semuanya sampai ke tangannya! Janganlah romusa disuruh kerja lebih dari waktunya atau di tempat yang tiada sehat atau berbahaya.”

Saat itu kondisinya memang serba memprihatinkan. Para pekerja banyak yang mengidap penyakit dan mati. Terhitung antara 400 sampai 500 romusa yang meninggal dalam satu bulan.

Sikap empati Tan Malaka terhadap para romusa membuatnya dihormati. Perhatiannya kian luas terhadap masyarakat Bayah saat ia ditunjuk menjadi wakil sementara Ketua Badan Pembantu Prajurit (BPP).

Ia menjalin hubungan dengan para pengurus BPP di seluruh cabang Bayah. Tan Malaka juga berhubungan dengan tentara PETA dan membentuk gerakan gotong royong dengan rakyat dan pemuda di sekitar Bayah, termasuk membantu keluarga-keluarga dari para prajurit PETA hingga HEIHO.

Selanjutnya ia mengadakan dapur umum, kebun sayur, orkestra, hingga mendirikan klub sepak bola dan sandiwara yang bernama Pantai Selatan. Ini dilakukan dalam upaya memperbaiki keadaan para romusa dan masyarakat tani di Bayah.

Kedatangan Sukarno-Hatta

Sekali waktu tersiar kabar bahwa Bayah akan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta. Tan Malaka alias Ilyas Husein bersama beberapa pegawai lainnya terpilih untuk menyambut keduanya.

Bung Karno seperti biasa berpidato. Menurut Tan Malaka dalam Dari Penjara ke Penjara (2014), isi pidatonya tidak berbeda jauh dengan yang sering diucapkannya dalam rapat raksasa, radio, dan surat kabar.

Dalam pidato itu Bung Karno menyampaikan bahwa kewajiban para pekerja di perusahaan Bayah Kozan Sumitomo Kabushiki Kaisha ialah memberi bantuan sepenuhnya untuk meningkatkan hasil batu bara.

Setelah keduanya berpidato, panitia penyambutan mempersilakan hadirin untuk bertanya. Saat Tan Malaka sedang menyiapkan kue dan minuman, terdengar jawaban-jawaban yang diisi dengan candaan kepada para penanya.

Dengan tergesa-gesa ia meletakkan hidangan dan mengajukan pertanyaan:

“Kalau saya tiada salah, bahwa kemenangan terakhir [Jepang] akan menjamin kemerdekaan Indonesia. Apakah tiada lebih tepat, bahwa kemerdekaan Indonesia-lah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir [jepang]?”

Bung Karno menanggapinya dengan mengatakan bahwa jika Jepang memberikan kemerdekaan sekarang juga, maka ia tidak akan bersedia menerima kemerdekaan itu.

Tan Malaka hendak melanjutkan perdebatan, namun tidak terlaksana. Ia tidak diizinkan untuk kembali berbicara.

Infografik Mozaik Jejak Tan Malaka di Bayah

Infografik Mozaik Jejak Tan Malaka di Bayah. tirto.id/Tino

Hari-Hari Menjelang Kemerdekaan

Selain sibuk bekerja di Bayah dan sedapat mungkin membantu memperbaiki nasib romusa, Tan Malaka juga terpilih sebagai perwakilan pemuda dari Bayah untuk berangkat ke Jakarta guna mengikuti perkumpulan pemuda dalam masa gejolak menjelang kemerdekaan.

“Pada 6 Agustus 1945, Tan Malaka pergi ke Jakarta dengan harapan akan bisa ikut berperan di tengah perkembangan, yang haluannya sama sekali belum menentu,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946 (2008).

Sesampainya di Jakarta, ia menemui B. M. Diah: ketua pemuda radikal yang tergabung dalam Angkatan Baroe. Kala itu, Tan Malaka masih menggunakan nama samaran Ilyas Husein sebagai utusan pemuda dari Bayah.

Dalam pertemuan itu ia bermaksud mengetahui jalannya rapat organisasi pada tanggal 6 Juli sebelumnya. Selain itu, Tan Malaka juga menyatakan dukungannya terhadap gerakan pemuda.

Esoknya, ia kembali mengunjungi rumah B. M. Diah. Namun dalam kunjungan yang kedua ia hanya bertemu dengan Herawati, istri B.M. Diah, sebab suaminya telah ditangkap Jepang akibat sikapnya yang menentang Gerakan Rakyat Baroe.

Setelah itu ia kembali ke Banten, tepatnya ke Rangkasbitung. Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia berpidato dalam rapat rahasia perwakilan-perwakilan pemuda Banten. Penuh semangat ia memberikan contoh perjuangan kemerdekaan di negeri-negeri lain. Tujuannya untuk menggugah semangat para pemuda dan meramalkan bahwa dalam waktu dekat Jepang akan mengalami kekalahan.

Pada kesempatan itu pula Tan Malaka menyampaikan bahwa kemerdekaan harus direbut oleh para pemuda dan jangan mengharapkan kemerdekaan sebagai hadiah yang diberikan Jepang. Setelah itu ia kembali ke Jakarta.

Pada 14 Agustus 1945 Tan Malaka menemui Sukarni. Kala itu Tan Malaka yang masih memakai nama Ilyas Husein berpendapat bahwa Proklamasi Kemerdekaan semakin dekat. Hal ini membuat Sukarni tergugah.

Menurut Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946 (2008), Tan Malaka selanjutnya menemui para pemuda lain seperti Chairul Saleh, Subarjo, dan Khalid Rasyidi yang merupakan aktivis pemuda Menteng 31. Ia juga bertemu dengan kakak-beradik Anwar dan Harsono Cokroaminoto.

Beberapa hari kemudian Proklamasi Kemerdekaan pun dibacakan. Dan empat tahun setelah itu, Tan Malaka gugur dieksekusi tentara bangsanya sendiri.

Baca juga artikel terkait TAN MALAKA atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi