Menuju konten utama

Tambang Uang dari Pahlawan Super

Film superhero sedang merajai industri perfilman dunia. Meski anggaran untuk membuatnya besar, tetapi hasil yang dipetik dari menampilkan para superhero ini berlipat-lipat. Sejak 2006 hingga 2015 paling tidak ada 40 film layar lebar yang berasal dari jagat Marvel dan DC, dua nama besar dalam industri komik dan film superhero. Kebanyakan film superhero laris manis dan menjanjikan untung yang besar. Karena itu wajar kalau Hollywood tertarik untuk terus menjualnya.

Tambang Uang dari Pahlawan Super
Poster film X-Men Apocalypse. GAMBAR/foxmovies.com

tirto.id - Tak ada yang lebih lihai mencari uang ketimbang orang-orang Hollywood.

Kalau film satu superhero saja bisa mendulang banyak uang, maka cara lebih cepat dapat uang adalah: bikin film berisi banyak superhero. Eureka! Maka dibuatlah film Marvel's The Avengers pada 2012. Dengan bujet 220 juta dolar, mereka membawa Iron Man, Hulk, Captain America, dan Thor bahu membahu melawan musuh dari dunia lain. Hasilnya, pendapatan kotor sebesar 1,5 miliar dolar. Pendapatan film superhero terbanyak sepanjang masa, dan menjadi peringkat lima dalam daftar film terlaris dalam sejarah.

Sejak setidaknya 1 dekade terakhir, Hollywood seakan makin keranjingan bikin film superhero. Dulu mungkin kebanyakan dari kita mengenal superhero sebatas Batman, Superman, Hulk, atau Spiderman. Namun, superhero seperti Ant Man, Deadpool, atau Jessica Jones yang kalah pamor ketimbang senior-seniornya itu, kini turut masuk layar.

Menurut Hikmat Darmawan, pengamat film dan komik dari Koalisi Seni Indonesia, tren film superhero ini bisa dirunut sejak mogoknya para pekerja penulis skrip film pada 2007 hingga 2008.

"Di saat krisis penulis seperti itu, akhirnya studio-studio itu kepikiran untuk membuat film dari cerita yang sudah ada. Ya dari kisah superhero itu," kata Hikmat.

Kisah film superhero banyak yang berasal dari komik. Sebagian besar komik itu punya jagat sendiri, yang bisa dibilang tak terbatas dan bisa dikembangkan sejauh apapun. Dengan cerita yang sudah ada itu, para rumah produksi tentu tinggal mengembangkannya saja.

Kebanyakan film superhero laris manis dan menjanjikan untung yang besar. Karena itu wajar kalau Hollywood tertarik untuk terus menjualnya. Sejak 2006 hingga 2015 paling tidak ada 40 film layar lebar yang berasal dari jagat Marvel dan DC, dua nama besar dalam industri komik dan film superhero. Tahun ini, setelah muncul Deadpool, Batman v Superman, dan Captain America: Civil War, masih akan muncul X-Men Apocalypse, Suicide Squad, juga Dr. Strange.

Rata-rata memang menguntungkan. Deadpool, misalkan. Dirilis pada Februari 2016, dengan bujet 58 juta dolar, film ini menghasilkan pendapatan sebesar 762 juta dolar. Sekondannya yang masuk dalam kategori "kurang terkenal" seperti Ant Man pun juga berhasil. Dengan bujet 130 juta dolar, film yang dibintangi aktor Paul Rudd ini berhasil meraih 519 juta dolar. Begitu pula Captain America: Civil War. Dirilis pada April 2016, dengan bujet 250 juta dolar, film yang menampilkan gerombolan superhero ini sudah menghasilkan 780 juta dolar.

Memang tak semuanya berhasil secara kualitas. Seperti Fantastic Four buatan Josh Trank. Dirilis pada Agustus 2015, film ini dikritik pedas oleh kritikus dan para penggemar karakter ini. Namun, meski film ini dianggap berkualitas buruk, dengan modal 120 juta dolar mereka masih berhasil mengumpulkan pendapatan 168 juta dolar. Begitu pula Green Lantern yang tak ketinggalan dihajar para kritikus, tapi masih bisa mendapatkan 220 juta dolar dengan modal 200 juta dolar. Ini artinya, bahkan film superhero yang busuk secara kualitas pun masih bisa menghasilkan untung.

Tak hanya di layar lebar. Penampilan superhero juga diboyong ke layar kaca. Marvel bahkan merasa perlu membuat Marvel Television, yang khusus membuat serial televisi para manusia super buatan mereka. Proyek pertamanya adalah Marvel's Agents of S.H.I.E.L.D. Karena proyek superhero ala layar kaca ini sukses, banyak yang mengekor. Netflix kemudian memroduksi Daredevil dan Jessica Jones, kemudian akan menyusul Iron Fist, Luke Cage, dan The Punisher.

"Dan tren superhero ini mungkin masih akan ada hingga beberapa tahun ke depan. Marvel aja sudah nyiapin hingga beberapa film," kata Hikmat. Jika merujuk rencana Marvel, setidaknya film superhero masih akan dibuat hingga 2019.

Faktor Penglaris

"Kenapa film-film superhero laris? Dalam beberapa faktor, genre ini jadi genre yang bisa digarap dengan baik karena teknologi yang semakin maju," kata Stephen McFeely, penulis skrip Captain America: The Winter Soldier.

Majunya teknologi memang sangat membantu industri film. Adegan-adegan seperti terbang atau menghajar monster yang menghancurkan kota, bisa ditampilkan dengan senyata mungkin.

"Teknologi untuk film sudah mencapai titik di mana mereka bisa menampilkan adegan yang ada di komik," ujar Jeffrey Brown, pengajar di Department of Popular Culture, Universitas Bowling Green, Ohio.

Sebelum ini, adegan macam itu tentu sukar ditampilkan secara realistis. Karena itu film superhero di era 70, bahkan hingga 90-an, dianggap punya halangan besar bernama efek spesial. Tapi kini, ketika computer-generated imagery (CGI) sudah sangat maju, adegan apapun bisa dibuat dan terlihat nyata. Dari adegan Tony Stark memakai kostum Iron Man menjelang jatuh dari gedung pencakar langit, hingga Flint Marko yang menjadi timbunan pasir.

"Efek spesial akhirnya tak lagi jadi kekurangan, dan mulai jadi daya tarik," kata Jeffrey lagi.

Selain faktor CGI yang maju, tentu tema cerita masih tetap menjadi kekuatan utama sebuah film. Tentang tema ini, banyak orang yang membandingkan antara film superhero dengan film koboi yang merajai layar lebar di era 50 hingga 70-an.

"Di era 50 dan 60, kamu pergi ke bioskop ya banyak film koboi. Kalau sekarang, eranya film superhero," kata McFeely.

Secara tema dan cerita, memang ada banyak kesamaan antara film kobi dan superhero. Dua-duanya fokus pada aksi heroik. Sama-sama menampilkan aksi pertarungan antara baik dan jahat. Para pahlawan di dua genre itu juga sama-sama membela orang lemah. Itu formula yang disukai banyak orang. Secara jumlah penonton, film superhero bisa dibilang sudah punya jaminan. Para penggemar mereka di komik sebagian besar akan menonton jagoannya ketika tampil di layar lebar.

Tentu dari semua faktor itu, unsur bujet menjadi yang paling menentukan. Studio film yang memproduksi film superhero selalu berani mengeluarkan bujet produksi besar-besaran. Semisal ketika Marvel Studio mengeluarkan bujet yang diperkirakan sekitar 293 juta dolar untuk film Spider-Man 3, sekaligus menjadi salah satu film termahal sepanjang sejarah.

Namun, tentu saja semua tren akan bermuara pada kejumudan. Film koboi pernah mengalami fase ketika pistol John Wayne dan Clint Eastwood kehabisan peluru. Film superhero juga diprediksi akan mengalami penurunan tren, diprediksi sekitar 10 tahun ke depan.

“Aku cuma bilang kalau tren ini berputar. Sebuah tren di budaya popular punya waktu yang terbatas. Akan datang waktu di mana cerita superhero akan tergantikan oleh genre lain,” kata sutradara kondang Steven Spielberg.

Superhero Lokal Dalam Layar Kaca

Tema superhero bukan hanya dominasi Amerika Serikat saja. Indonesia juga punya, dan sempat berjaya pula. Karakter superhero yang dianggap muncul pertama kali adalah Aquanus, yang diciptakan Wid NS pada 1968. Aquanus adalah anggota klan Zyba yang bisa hidup di darat dan air. Namun karakter superhero lokal yang paling terkenal, bahkan hingga sekarang, adalah Gundala Putra Petir, yang diciptakan Hasmi pada 1969.

Di balik topeng Gundala adalah peneliti jenius bernama Sancaka. Suatu hari saat berjalan di bawah hujan, dia tersambar petir. Dari sana, dia diangkat ke planet lain dan diangkat anak oleh penguasa Kerajaan Petir yang bernama Kaisar Kronz. Sancaka pun diberi kekuatan super. Gabungan antara kemampuan memancarkan petir dari tangan, dan juga belari secepat angin.

Hasmi dikenal sebagai komikus produktif. Selain Gundala, dia juga menggambar karakter Kalong, Sembrani, Jin Kurtubi, juga Pangeran Mlaar. Namun memang tak ada menandingi popularitas Gundala.

Sayang, tak seperti di Amerika, superhero lokal nasibnya kurang baik jika beralih wahana ke layar kaca maupun layar lebar. Karakter superhero memang sempat muncul di layar lebar Indonesia. Seperti di Gundala Putra Petir (1981) atau Gadis Bionik (1982), juga Saras 008 atau Panji Manusia Milenium yang sempat wara-wiri di layar kaca penonton Indonesia era 90-an.

"Namun semuanya tak meyakinkan. Dan ya, kurang berhasil," kata Hikmat. "Mungkin karena penulis komik kita memang tak dekat dengan science, jadi kurang bisa mengemas dengan meyakinkan."

Menurut Hikmat, pendekatan superhero lokal justru lebih pas jika menggunakan pendekatan humor. Dia mencontohkan Gundala dan Kalong yang tampil dengan humoris dan ngocol.

Kabar baiknya, kini ada beberapa orang yang tertarik membangkitkan kembali superhero lokal ke layar lebar. Skylar Picture, rumah produksi asal Jakarta, baru saja menyelesaikan film Valentine, yang dibuat dari komik berjudul sama buatan Sarjono Sutrisno dan Aswin Mc Siregar. Karakter Valentine yang berkostum warna ungu ini diperankan oleh Estelle Linden. Film yang trailer-nya sempat diputar di ajang Comic Con 2015 ini direncanakan akan dirilis resmi pada Juli 2016.

Selain itu, Gundala juga akan direncanakan bangkit dari tidur panjang. Film ini akan disutradari oleh Hanung Bramantyo dan diproduseri oleh Erick Thohir.

"Saya dan teman-teman ingin membangkitkan lagi kisah superhero indonesia, kita jangan hanya lihat Hollywood terus," kata Erick, yang merupakan pebisnis dan pemilik klub bola asal Italia, Inter Milan.

Film ini juga ditargetkan rilis pada 2016, walau belum dipastikan kapan. Tapi banyak orang optimistis dengan film ini. Meski tak pernah dibocorkan bujet pembuatannya, kehadiran Erick dianggap bisa menyuntikkan dana besar untuk film ini. Sama seperti film superhero ala Hollywood, pasti diperlukan dana yang besar untuk membuat Gundala. Apakah film ini akan berhasil? Tentu perlu ditunggu.

"Film ini bisa sukses, karena Hanung sebagai sutradara kan tahu bagaimana membuat film yang disukai penonton Indonesia," kata Hikmat.

Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Film
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti