Menuju konten utama

Tambang Pulau Wawonii, Jatam: Melanggar UU dan RTRW Sultra

Tambang di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara menabrak berbagai aturan, sehingga seharusnya ditutup tak ada izin usaha pertambangan yang diterbitkan.

Tambang Pulau Wawonii, Jatam: Melanggar UU dan RTRW Sultra
Logo Jatam. FOTO/www.jatam.org

tirto.id - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyoroti persoalan tambang di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara yang tak seharusnya menjadi lokasi penambangan. Oleh karena itu, Jatam menilai tidak sesuai dengan peraturan pemerintah.

Koordinator Nasional Jatam, Merah Johansyah, dalam UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, mengatur suatu daerah dengan luas wilayah kepulauan di bawah 2.000 kilometer persegi dilarang dijadikan lokasi penambangan.

"Kepulauan Wawonii dengan luas 867 km persegi, sehingga bukanlah daerah atau wilayah yang diprioritaskan untuk pertambangan," ujarnya pada Tirto, Selasa (12/3/2019).

Jatam telah mencatat sejak 2013 telah terdapat 15 izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Wanonii.

Menurut dia, tambang di sana menabrak Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tenggara nomor 2/2014 yang menegaskan, Pulau Wawonii masuk Kabupaten Konawe kepulauan bukan diperuntukkan kawasan pertambangan.

"Keberadaan 15 ijin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tentu menjadi pintu masuk bagi pengrusakan alam dan kelestarian lingkungan di pulau tersebut," ujar dia.

Ia juga menjelaskan, keberasaan tambang di wilayah kepulauan yang kecil bisa berdampak pada rusaknya ekologi di daerah tersebut.

Sebab, kata dia, pulau kecil tidak memiliki infrastuktur ekologi yang cukup. Semakin kecil luasnya, semakin terbatas sumber infrastuktur alamnya.

"Kalau Pulau Kecil itu ditambang dampak rusaknya sumber-sumber air. Sisanya itu kan air laut dan tidak bisa diminum," jelas dia.

Berkenaan dengan hal tersebut, Jatam menilai telah terjadi rekayasa pada proses perizinan tambang di pulau-pulau kecil termasuk Pulau Wawonii. Oleh karena itu, ia mempertanyakan sikap pemerintah dalam hal ini.

"KPP mesti bergerak, ESDM bergerak, dan KLHK juga bergerak karena pasti ada amdalnya. Tapi kok kenapa KLHK memberikan izin amdal, sudah tahu izin di pulau kecil bermasalah," tutur dia.

Ia juga menyesali sikap represif pemerintah dan aparat penegak hukum dalam merespon protes masyarakar dan mahasiswa, Rabu (6/3/2019) lalu. Harusnya pemerintah memfasilitasi masyarakat untuk berdialog.

Menurut dia, gelombang protes yang terjadi ketika itu, adalah imbas dari suara-suara masyarakat yang tak pernah didengar.

"Jangan salahkan masyarakat ketika protes. Hal ini sudah sejak lama kok, masyarakat bersuara tapi tidak didengar. Tapi pemerintah pusat ini lamban," kata dia.

Baca juga artikel terkait JATAM atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali