Menuju konten utama

Tamasya Akhir Pekan ke MRT Jakarta

Bukan cuma untuk pergi dan pulang kerja, ada masyarakat yang memanfaatkan MRT sebagai tempat liburan.

Penumpang memadati Stasiun MRT Bundaran HI pada hari pertama fase operasi secara komersial (berbaya Jakarta, Senin (1/4/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - "Ibu, mau naik lagi," teriak seorang bocah lelaki sambil menangis.

"Sudah, entar naik lagi," balas ibunya.

"Mau naik lagi," bocah itu bersikeras.

Bocah itu bukan satu-satunya yang menangis Sabtu (6/4/2019) itu. Ada lagi yang melakukan hal serupa, dan nampaknya untuk alasan yang sama. Ada pula yang tertawa, lari-lari, atau bahkan duduk tenang sambil minum dan makan.

"Wooow!" teriak beberapa anak serentak saat kereta datang.

Mereka adalah bocah-bocah yang ikut keluarganya menjajal moda transportasi baru MRT Jakarta dari Stasiun Bundaran HI.

Disebut menjajal karena memang mereka memperlakukan MRT Jakarta bak tempat tamasya. Bocah-bocah itu, bersama keluarganya, berfoto di stasiun, saat di peron, bahkan hingga di dalam kereta--Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menamakan gerbong MRT 'Ratangga'.

Salah satu yang bertamasya ke MRT Jakarta adalah Asyia, 26 tahun. Perempuan yang datang dari Bekasi ini datang bersama suami, ibu, dan anaknya. Rombongan ini menaiki MRT Jakarta ke arah Lebak Bulus dari Bundaran HI. Anak Asyia sudah terlelap di gendongan bapaknya setelah lelah bermain.

"Pertama kali coba MRT ini," akunya kepada saya.

Pun dengan Misel, 35 tahun, yang mencoba MRT Jakarta untuk kali pertama. Misel tinggal di Lebak Bulus. Dia datang bersama dua tetangga. Masing-masing dari mereka membawa satu anak. Jadilah rombongannya ramai.

"Cuma naik doang. Pengin nyobain," kata Misel.

"Ini kami dari Lebak Bulus. Baru sampai [Bundaran HI], mau balik lagi," ujarnya sembari tertawa.

Tak hanya keluarga, sekelompok remaja pun mengunjungi MRT Jakarta dengan membawa kamera DSLR. Mereka saling memotret satu sama lain di dalam gerbong.

Mata Meisya, usia 9 tahun, hampir tak lepas memperhatikan jalan lewat jendela. Sesekali ia bicara ke neneknya.

“Seruan ini daripada naik mobil,” kata Meisya. Saya menguping dari samping. “Seruan dari bis juga daripada mobil,” tambahnya.

Ternyata menurut ibunya Meisya tak cuma pertama kali naik MRT Jakarta. Ia juga pertama kali dibawa serta menjajal Transjakarta karena biasanya ke mana-mana Meisya dibawa pergi pakai mobil pribadi.

Sepanjang perjalanan Meisya tak berhenti berkomentar. Dari wajahnya, saya tahu ia girang betul.

“Itu udah keluar dari bawah tanah,” kata Meisya saat kereta mulai bergerak ke stasiun ASEAN.

“Yah, [pemandangannya] ketutupan kereta lain.”

“Itu ada gedung-gedung.”

“Udah, siap-siap, udah mau sampai. Nanti ditinggal nih,” ujar neneknya.

Meisya pun membalikkan tubuhnya dan berhenti memperhatikan apa yang ada di luar jendela. Ia hanya tersenyum dan mengikuti perkataan neneknya.

MRT untuk Semua

Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies, menilai antusiasme masyarakat menjajal MRT mencerminkan sesuatu yang positif. Lebih positif karena mereka membawa serta anak-anak. Ini bisa jadi pembelajaran berharga bagi mereka agar lebih suka naik angkutan umum ketimbang pribadi.

“Masyarakat antusias dengan hadirnya MRT. Ini buat saya positif untuk masa depan dan kampanye transportasi publik di Jabodetabek,” kata Elisa.

Division Head Corporate Secretary PT MRT Jakarta Muhamad Kamaluddin pun mengatakan bahwa MRT Jakarta terbuka bagi siapa saja.

“MRT terbuka baik itu untuk pergi bekerja, sekolah, belanja maupun yang ingin tamasya ke tempat-tempat sekitar MRT. Juga bagi mereka yang ingin merasakan pengalaman baru kereta bawah tanah,” kata Kamaluddin.

Baca juga artikel terkait MRT JAKARTA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino