Menuju konten utama

Tamara Jenkins Mengangkut Kepedihan Hidup Jadi Kisah-Kisah Memikat

Tamara Jenkins acap kali menjadikan pengalaman dan renungan hidupnya sebagai fondasi filmnya. Konsisten mengetengahkan isu-isu perempuan.

Tamara Jenkins Mengangkut Kepedihan Hidup Jadi Kisah-Kisah Memikat
Tamara Jenkins tiba di Governors Awards pada Minggu, 18 November 2018, di Dolby Theatre di Los Angeles. Jordan Strauss/Invision/AP

tirto.id - Periode panjang antara film-filmnya memberikan semacam "aura mitos" bagi seorang sutradara, tulis Washington Post. Pada saat yang sama, penantian panjang itu bisa juga menyiratkan banyak hal. Salah satunya soal keengganan industri untuk mempercayai para filmmaker perempuan.

Tamara Jenkins adalah salah satu sutradara perempuan yang mengalaminya. Sutradara asal Philadelphia, AS, itu sebenarnya tak begitu merisaukan peluang yang lebih sempit bagi para sineas perempuan. Kendati demikian, dia merasa bahwa hal itu juga "sistemik".

Label semacam "sutradara mitos" atau “pembuat film underrated” bisa dengan enteng disematkan pada sutradara yang dianggap kurang produktif atau berdasar seberapa luas jangkauan karyanya.

Walaupun untuk urusan jangkauan, Jenkins sebetulnya punya eksposur yang luas. Sekadar mengingatkan, dia sempat dinominasikan untuk Best Original Screenplay di 80th Academy Awards dan menjadi langganan nominasi pada ajang Film Independent Spirit Awards.

Dan lagi, banyak pihak beranggapan bahwa karya sang sutradara semestinya mendapat lebih banyak pengakuan.

Jenkins tercatat menukangi film-film pendek, seperti Fugitive Love (1991), Family Remains (1993), dan Choices: The Good, the Bad, the Ugly (2004). Dia juga bertugas sebagai penulis naskah untuk film-film seperti Family Remains (1993) dan Juliet, Naked (2018).

Namun dalam rentang tiga dekade sejak debutnya, Jenkins hanya merilis tiga feature film. Seperti apa film-film yang ditulis sekaligus disutradarai Jenkins itu?

Slums of Beverly Hills (1998)

Film ini diawali dengan kalimat pembuka yang juga muncul dalam novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy.

"Keluarga bahagia semuanya sama; setiap keluarga tak bahagia menjadi tidak bahagia dengan caranya sendiri."

Masalah segera ditampilkan setelah itu dan seperti itulah seluruh film dalam katalog Jenkins. Film semi-autobiografi ini menjadi debut sang sutradara, di mana dia banyak mengambil suasana Beverly Hills pada 1976 kala dia remaja.

Murray Abromowitz (Alan Arkin) telah bercerai, harus menanggung tiga anaknya seorang diri, dan di usia 65, dia bukan pekerja yang sukses. Keluarga Abromowitz menjadi potret keluarga miskin Amerika yang hidup nomaden lantaran selalu diusir dari apartemen. Tanpa malu-malu, Murray harus menggantungkan hidup pada sanak famili yang sudah mapan.

Di tengah hidup yang tak karuan, putri Murray Vivian Abromowitz (Natasha Lyonne) baru akan memilih bra pertamanya. Vivian juga tak puas akan ukuran payudaranya dan seperti kebanyakan anak seusianya, penasaran akan seks.

Isu perempuan, baik yang intim maupun secara umum, juga ditampilkan dengan kedatangan sepupu mereka, Rita Abromowitz (Marissa Tomei). Kehadirannya pun turut memperkaya cerita.

Kejadian-kejadian kacau dalam gaya hidup berpindah dan situasi keluarga besar yang berantakan menjadi suguhan. Hal itu diracik dengan percakapan atau ucapan-ucapan lucu (seperti, "kita miskin, bukan miskin biasa"), komedi gelap dan respons deadpan karakternya.

Itu semua menjadikannya kisah yang layak dinikmati. Slums of Beverly Hills mungkin tak terlalu spesial, tapi kini ia disebut-sebut menyandang status sebagai film cult classic, serta memberi gambaran akan apa saja yang mampu dihadirkan Jenkins di masa depan.

The Savages (2007)

Wendy Savage (Laura Linney) dan Jon Savage (Philip Seymour Hoffman) adalah dua saudara paruh baya yang terpisah secara emosional. Kondisi sang ayah yang kini lansia lagi demensia lantas memaksa mereka bersatu kembali demi merawatnya.

Jenkins menghadirkan gaya berbeda dalam film keduanya, sebuah tragicomedy yang berangkat dari episode lain dari hidup sang sutradara sendiri yang pernah harus mengirimkan beberapa anggota keluarganya ke panti jompo. Problema yang diangkat Jenkins barangkali lebih universal dan dilema serupa juga dihadapi banyak anak ketika menghadapi orang tua yang berusia lanjut.

Sementara itu, kehidupan sang anak sendiri bukannya tanpa aral. Karier kedua bersaudara Savage tak hebat-hebat amat, baik sebagai dramawan dan profesor teater. Begitu juga dengan pilihan hidup melajang yang dipilih Wendy dan Jon.

Ketika sang adik berhubungan dengan lelaki beristri alih-alih mencari komitmen nyata, sang abang justru menyingkirkan pasangan yang peduli terhadapnya.

Ini adalah film paling kalem dari katalog Jenkins. Meski begitu, ia sarat problema muram dan drama yang kuat. Suasana yang lengang dan bebunyian yang lebih minim ditingkahi humor-humor kering serta ditopang dialog dan akting menawan kedua aktor utamanya.

Kisah sederhana dalam lingkup kecil yang dituturkan dengan menawan. Maka mudah saja mendapati film ini sebagai film tersukses dalam karier Jenkins sejauh ini.

Private Life (2018)

Perjuangan lain dalam hidup Jenkins kembali mendasari kisah memikat lainnya. Kali ini, Jenkins menyuguhkan peliknya upaya memperoleh "hadiah kehidupan" atau seorang anak. Itu dituturkan melalui kisah "fantasi fertilitas" pasutri Rachel Biegler (Kathryn Hahn) dan Richard Grimes (Paul Giamatti).

Pasangan paruh baya itu telah mencoba berbagai upaya demi menghasilkan seorang anak, mulai dari metode inseminasi artifisial hingga fertilisasi in vitro. Manakala segala cara tak membuahkan hasil, keduanya diberkahi kehadiran ponakan tiri dalam hidup mereka, Sadie Barrett (Kayli Carter), yang tak segan mengiyakan untuk mendonorkan sel telurnya kepada pasutri itu.

Masuknya sang keponakan ke dalam cerita menjadi poin yang mengesankan. Private Life menampilkan bagaimana di satu sisi, ada pasutri yang tak henti berupaya untuk mendapatkan anak, sedangkan di sisi lain ada orang tua yang kewalahan menghadapi anaknya yang mulai dewasa.

Isu perempuan juga mendapat banyak sorotan di film ini. Misalnya, soal bagaimana seorang ibu mesti melemparkan kariernya tatkala anaknya lahir, menghadapi masa-masa sulit yang dipicu hormon, atau mengangkat diskusi soal otoritas tubuh.

Film terkini Jenkins juga merupakan film dengan durasi terpanjang dalam katalognya. Ia menghadirkan emosi yang lebih beragam, satu kisah perjalanan getir yang masih belum terlalu umum digarap. Ia pantas mendapat pengakuan lebih luas.

Infografik Misbar Karier Penceritaan Tamara Jenkins

Infografik Misbar Karier Penceritaan Tamara Jenkins. tirto.id/Tino

Kepedihan yang Personal dan Dekat

Dari deretan filmnya itu, kau bisa menyadari jarak waktu perilisannya yang panjang. Jarak yang panjang itu memungkinkan Jenkins menulis berbagai kisah yang berangkat dari setiap episode hidupnya sendiri.

Jarak yang renggang itu tak menghentikannya untuk konsisten. Film-filmnya selalu berpegang pada berderet karakteristik serupa—katakanlah, misalnya, kisah keluarga yang “dekat” bagi banyak penonton, masalah bertingkat (tanpa mentrivialkan problem utama), serta kepedihan hidup yang senantiasa dituturkan dengan menarik serta dialog yang canggung pula jenaka.

Karya-karya Jenkins juga tak pernah luput mengetengahkan isu-isu perempuan, entah itu personal maupun secara umum, dengan pandangan terhadap seks yang praktis.

Karakter-karakternya penuh cela sebagaimana manusia di dunia nyata. Entah itu figur orang tua dari generasi lampau yang acap kali rasis atau para anak dengan daddy issues. Satu karakter unik kerap dihadirkan demi memperkuat dan memperluas plot.

Dan belakangan, film-filmnya lazim diisi karakter paruh baya (yang biasanya penulis dari berbagai disiplin) yang tak begitu sukses baik dalam karier dan kehidupan.

Kisah-kisahnya juga terasa tak pernah tergesa-gesa untuk berpindah. Jenkins lihai menampilkan apa saja yang bisa dijejalkan dalam pergeseran dari titik A menuju titik B. Dalam pengambilan gambarnya, alih-alih segera menampilkan reaksi karakter-karakternya dalam percakapan, ia seringkali bertahan lebih lama hanya untuk menampilkan ekspresi karakter yang baru mengucapkan line-nya.

Pendekatan humanis dengan drama mendalam bertahan pada setiap filmnya, dengan sorotan yang terus berkembang pada setiap filmnya. Tumpuan pada dialog dan perubahan situasi kerap diiringi scoring yang ceria, alih-alih muram, untuk menjaga tone ringan atau komedi pada setiap filmnya.

Kita mungkin tak mendapati aktor kelas A untuk proyek-proyeknya, tapi di sana selalu ada nama-nama bertalenta yang cocok untuk penceritaannya, seperti Natasha Lyonne, Laura Linney, dan Kathryn Hahn. Begitu juga nama-nama bertalenta yang cocok untuk penceritaannya, seperti Alan Arkin, Philip Seymour Hofmann, dan Paul Giamatti.

Jenkins menyadari bahwa ketertarikannya pada sesuatu yang "bukan Hollywood" tak memungkinkannya menghasilkan banyak karya.

"Jika aku hanya bisa membuat satu film dalam satu dekade, rencanaku adalah membuat film-film yang aku ingin melihatnya," ujarnya suatu waktu.

Film-film yang ingin dia lihat itu adalah film yang sama yang saya dan mungkin banyak orang lainnya ingin saksikan juga. Jika drama komedi manis-getir pada cakupan intim, dengan porsi besar kesedihan yang sesekali riang adalah pilihanmu, film-film Tamara Jenkins adalah pilihan tontonan yang tepat.

Baca juga artikel terkait SUTRADARA FILM atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi