Menuju konten utama

Taksi Otonom, Potensi Penghancur Bisnis Taksi Online

Perusahaan transportasi melirik bisnis taksi otonom karena berkeyakinan bisa mendatangkan untung lebih besar.

Taksi Otonom, Potensi Penghancur Bisnis Taksi Online
Ilustrasi taksi Uber tanpa supir. AP/Jared Wickerham

tirto.id - Tanggal 19 Maret 2018 jadi hari paling nahas bagi Elaine Herzberg. Wanita paruh baya itu meregang nyawa akibat ditabrak sebuah mobil otonom di Kota Tempe, Arizona, Amerika Serikat.

Mobil yang menabrak Elaine merupakan unit taksi otonom milik perusahaan transportasi Uber yang tengah melakoni uji jalan. Kejadian berdarah tersebut, seperti dicuplik dari Independent, merupakan insiden mematikan yang melibatkan mobil otonom.

Mobil Volvo XC90 yang digunakan untuk taksi otonom Uber itu menabrak Elaine yang sedang menyeberang jalan sambil menuntun sepeda. Seperti terlihat dalam rekaman video yang ditangkap kamera dashboard, mobil tidak melambat ketika Elaine sudah menyeberang. Seorang pria yang duduk di balik kemudi sebagai backup driver pun tidak bereaksi ketika jarak mobil dan korban sudah semakin dekat. Diduga pria tersebut terlalu mengandalkan sistem kemudi otonom pada mobil, sehingga lalai membaca situasi.

Pasca-kejadian tragis itu, muncul spekulasi soal lemahnya respons mobil otonom terhadap perubahan situasi lalu lintas. Diduga kamera dan radar di taksi otonom Uber tidak bisa melihat gerakan Elaine karena pencahayaan minim ketika tabrakan pada pukul 10 malam itu terjadi, sehingga mobil tidak melakukan pengereman secara otomatis.

“Dari apa yang saya lihat dalam video, itu jelas terlihat mobil yang salah, bukan pejalan kaki,” ujar Sam Abuelsmaid, analis dari Navigant Research yang menaruh perhatian pada perkembangan kendaraan otonom dikutip dari Independent.

Untuk mengidentifikasi objek di sekeliling, mobil otonom mengandalkan kinerja kamera dan sensor radar. Kedua komponen tersebut akan mengenali pejalan kaki, pengguna sepeda, serta mobil lain di depan, kemudian mengirim informasi kepada sistem elektronik mobil agar menyesuaikan kecepatan atau berhenti. Dilansir dari The New York Times, kamera di mobil otonom juga bisa mengenali lampu lalu lintas, rambu jalan, dan petunjuk jalan agar mobil bisa menyesuaikan arah dan kecepatan.

Infografik taksi tanpa supir

Kelemahan Mobil Otonom

Membuat perintah dalam program mobil otonom merupakan hal yang tidak mudah. Untuk beberapa kebutuhan, teknisi akan memasukkan perintah yang spesifik. Mobil otonom Waymo misalnya, diprogram untuk berhenti ketika mendeteksi lampu merah menyala. Namun, perintah yang bisa dikelola program mobil otonom tidak mencakup berbagai kemungkinan situasi di jalan raya.

Sampai saat ini, mobil tanpa sopir masih memiliki sejumlah cela. Salah satunya, yaitu tidak adanya kemampuan beradaptasi dengan kondisi jalanan.

Saat tabrakan taksi otonom Uber misalnya, mobil disinyalir tidak bisa mendeteksi gerakan Elaine yang hendak menyeberang. Berbeda dengan manusia yang mampu memperkirakan situasi, program mobil otonom hanya menjalankan perintah secara kaku. Ketiadaan insting berpikir, membuat mobil tanpa sopir tidak mampu melakukan tindakan yang sebenarnya mudah dilakukan oleh manusia.

“Penting untuk memahami betapa sulitnya masalah ini (membuat mobil otonom beradaptasi),” kata Ken Goldberg, profesor spesialis robot University of California pada The New York Times.

Mobil tanpa sopir tetap berpotensi tinggi mengalami kecelakaan lalu lintas. Penyebabnya, seperti dicuplik dari Vesttech, infrastruktur jalanan di banyak kota dunia saat ini tidak didesain khusus untuk mobil otonom. Saat hujan atau terjadi salju, garis marka jalan atau rambu lalu lintas menjadi sulit untuk dibaca oleh kamera dan sensor mobil otonom, sehingga berpotensi menimbulkan risiko kecelakaan.

Dalam tulisan yang sama, dikatakan mobil otonom memiliki kemampuan respons sangat lambat, sekitar 17 detik ketika terjadi perubahan kondisi lalu lintas. Berbeda halnya manusia yang mampu menanggapi perubahan keadaan dalam waktu di bawah satu detik, misalnya ketika ada mobil mengerem mendadak atau ada pejalan kaki menyeberang.

Perangkat kamera dan sensor pada mobil otonom masih diragukan bisa bekerja optimal dalam kondisi minim cahaya di malam hari atau saat melewati terowongan. Selain itu, kemacetan lalu lintas juga dapat membuat sistem kerja mobil otonom kepayahan karena harus mengidentifikasi perubahan kondisi dalam waktu singkat.

Taksi Otonom antara Berkah dan Musibah

Kemunculan mobil otonom tidak hanya berpotensi mengganggu harmoni lalu lintas. Keberlangsungan hidup para sopir taksi konvensional juga terancam goyah. Peran sopir sudah bisa digantikan oleh robot yang berpotensi menghemat biaya operasional perusahaan transportasi taksi.

Polemik mengenai kehadiran taksi otonom tidak berbeda seperti halnya saat sopir taksi konvensional menjerit karena penghasilannya tergerus akibat bersaing dengan pengemudi mitra perusahaan ride sharing atau taksi online. Para pemilik kendaraan dengan mudah bergabung dengan perusahaan ride sharing seperti Uber, GrabCar, Go-Car dan mengambil penumpang yang sebelumnya merupakan jatah taksi konvensional.

Kini, bisnis taksi otonom mulai digaungkan oleh perusahaan transportasi. Jika usaha tersebut berkembang, maka taksi konvensional dan pengemudi mitra perusahaan ride sharing juga bakal kelabakan.

Dikutip dari CNBC, saat CEO Uber masih didapuk oleh Travis Kalanik, ia pernah mengatakan tarif taksi otonom bisa lebih murah dibandingkan layanan ride sharing. Alasannya, tarif layanan ride sharing dibuat berdasarkan perhitungan biaya sewa mobil dan sopir. Jika mobil bisa beroperasi tanpa supir, maka biaya sewa menjadi lebih murah.

“Alasan (tarif) Uber mahal adalah karena Anda tidak hanya harus membayar sewa mobil tapi juga orang yang mengemudikannya. Ketika tidak ada orang yang mengemudikan mobil, biaya bepergian dengan Uber ke mana saja akan lebih murah dibandingkan bepergian menggunakan kendaraan pribadi,” kata Travis pada 2016 lalu.

Bisnis taksi otonom diyakini akan memberikan keuntungan lebih besar buat perusahaan transportasi. Mereka bisa mendapatkan keseluruhan dari tarif yang dibayarkan penumpang. Berbeda halnya dengan sistem ride sharing, di mana uang yang didapatkan dari bayaran penumpang harus dibagi dengan mitra pengemudi.

Peluang ini sudah dilihat oleh perusahaan transportasi, contohnya Uber di Amerika dan DiDi di China. Mereka sudah menguji coba layanan taksi otonom di 2018 ini. Anak perusahaan Google, Waymo juga mengaku sudah siap menjalankan bisnis kendaraan otonom.

Waymo bekerja sama dengan perusahaan manufaktur Fiat Chrysler Automobile (FCA) akan membuat 62 ribu armada taksi otonom menggunakan mobil Chrysler Pacifica mulai tahun ini. Perusahaan otomotif Nissan turut bersiap menyongsong era kendaraan tanpa sopir. Nissan berpartner dengan pengembang aplikasi digital DeNa untuk membuat layanan taksi otonom yang dinamai “Easy Ride” di Jepang.

Tentunya bukan hal mudah untuk merevolusi sistem transportasi menuju era taksi otonom. Mulanya, harus ada penyesuaian infrastruktur jalan raya buat mengakomodir aktivitas mobil yang dikendalikan robot. Selanjutnya, belum ada lisensi untuk kendaraan otonom melintas di jalan umum. Belum teruji apakah kendaraan otonom mampu melintas dengan aman di berbagai situasi lalu lintas. Melegalkan kendaraan otonom berkeliaran sama saja memberi hak berkendara kepada robot.

Taksi otonom bukanlah solusi efektif untuk membenahi sistem transportasi apalagi di Indonesia. Apalagi, sengkarut bisnis ride sharing saja masih jadi persoalan. Namun di manapun, pada waktunya akan tiba konsep ride sharing atau taksi online yang masih memakai tenaga sopir harus bersiap menghadapi robot yang lalu lalang di jalan raya bernama taksi otonom.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Otomotif
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra