Menuju konten utama

Tak Wajib Puasa: Tradisi Ramadan Bani Islam Cham di Vietnam

Salah satu komunitas "muslim" di Vietnam menjalankan ritual keagamaan dengan mencampuradukkan dengan adat dan tradisi.

Tak Wajib Puasa: Tradisi Ramadan Bani Islam Cham di Vietnam
Header Mozaik Agama Cham Bani. tirto.id/Tino

tirto.id - "[Champa] dikenal dengan jaringan perdagangannya yang luas, menjadi salah satu pusat utama di Asia Tenggara untuk menggabungkan pelbagai tempat di kawasan ini dengan China, India, dan Timur Tengah, juga sebaliknya," tulis Kenneth R. Hall dalam Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (1985).

Kerajaan yang eksis pada abad kedua hingga 16 Masehi ini terletak di delta Sungai Mekong. Meski memiliki lokasi strategis, faktor geografis ini bukanlah alasan utama mengapa Champa terkenal dengan jaringan perdagangannya.

Mereka terkenal karena "kepasrahan" terhadap Funan, kerajaan besar yang berada di sisi baratnya. Karena taat membayar upeti, Champa berhasil mengamankan titik-titik perdagangan di China di bawah kekuasaan Dinasti Chin lewat tangan Funan.

Artinya, Champa merupakan alternatif utama bagi pelbagai kekuataan di Asia Tenggara untuk berhubungan dengan China tanpa melalui Funan. Juga pilihan bagi para pedagang India dan Timur Tengah saat ingin bertransaksi dengan kolega mereka di Asia Tenggara--lagi-lagi tanpa mengikutsertakan Funan.

Awalnya, karena hubungan yang erat dengan Funan dan pelbagai titik di China, Budha menjadi agama paling dominan di Champa, menemani Hindu sebagai agama populer pertama di negeri ini serta ragam kepercayaan lokal. Terlebih, China kemudian mengirimkan salah satu tokoh sucinya bernama Fo-che ke negeri ini pada abad ke-8.

Namun, karena terpilih sebagai alternatif utama, kerajaan yang ibu kotanya di kawasan bernama Da Nang ini, tutur S. Setudheh-Nejad dalam "The Cham Muslims of Southeast Asia" (Journal of Muslim Minority Affairs, Vol. 22 2002), rutin kedatangan pedagang dari Jazirah Arab.

Karena orang-orang Arab umumnya muslim, maka Islam pun akhirnya muncul di Champa, lalu berkembang lewat asimilasi. Paling tidak, Islam telah masuk ke Champa pada abad ke-9.

Ini merujuk pada penuturan Ed Huber, antropologi asal Prancis, yang menyebut bahwa dalam buku sejarah Champa berjudul Sung tertulis "ada (di Champa) banyak kerbau di pergunungan tetapi orang tidak menggunakannya untuk membajak. Mereka mempersembahkannya kepada 'dewa'. Ketika mereka menyembelih seekor kerbau sebagai kurban, mereka berdoa 'Alla Akhar' (Allahu Akbar)."

Seabad kemudian, Islam kian diterima masyarakat Champa, Kecuali di kalangan para pemimpinnya yang masih masih terbagi antara Buddha dan Hindu. Baru pada abad ke-11, Islam akhirnya diterima sebagian kalangan tinggi Champa, dengan adanya catatan yang menyebut bahwa delegasi Champa yang dikirim ke China pada abad tersebut dipimpin seseorang bernama Abu Hassan alias P'u Ho San.

Berbarengan dengan kian meningkatnya populasi penduduk Champa yang beragama Islam, Champa berkonflik dengan tetangga mereka, yakni Kerajaan Di Viet atau Dai Viet. Kerajaan yang trletak di sebelah utara Champa yang tengah gencar-gencarnya berekspansi ke sisi selatan.

"Dimulai oleh ketidakbecusan pemimpin Champa mengorganisasi kekuatan," tutur Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (1985), sekitar tahun 1470-an Champa akhirnya ditaklukkan Di Viet. Lalu sejak abad ke-19 seluruh bekas wilayah kekuasaan Champa resmi dimasukkan sebagai wilayah integral Di Viet--untuk kemudian berevolusi menjadi negara modern bernama Vietnam.

Kiwari, keberadaan penganut Islam di Vietnam merupakan warisan Kerajaan Champa. Suatu warisan yang menurut Ba Trung Phu dalam "Bani Islam Cham in Vietnam" (Islam at the Margin, 2008), sangat unik.

Pasalnya, keturunan Cham yang beragama Islam terbagi dua. Pertama, Cham Islam Ortodoks yang berpedoman pada Al-Qur'an dan Hadis. Kedua, Bani Islam Cham yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan adat dan tradisi.

Dakwah yang Tak Tuntas?

Menurut Ba Trung, Bani Islam Cham tidak bergantung pada hukum Islam, mereka memiliki hukum dan ritus agama sendiri yang sangat berbeda dari ritus Cham Islam Ortodoks. Ini termasuk hal-hal seperti Karoh (tidak disebutkan arti kata ini), pernikahan (Pakhaùh), dan pemakaman (Pathih).

Dalam konsep Bani Islam Cham, orang biasa dapat mendelegasikan tugas melakukan ritual dan praktik keagamaan kepada ulama atau sesepuh mereka dan dibebaskan dari kewajiban agama masing-masing.

Seperti bagi muslim pada umumnya, Ramadan juga merupakan bulan suci bagi Bani Islam Cham. Namun, bagi komunitas yang kini tinggal di wilayah Vietnam bernama Phan Rang dan Phang Ri ini, Ramadan atau "Ramuwan" tak diartikan sebagai kewajiban untuk berpuasa sebulan lamanya.

Bagi Bani Islam Cham, Ramadan adalah bulan yang ditujukan bagi para-pemimpin spiritual baru mereka untuk menimba ilmu, juga untuk upacara kelulusan pemimpin-pemimpin baru tersebut.

Selain itu, mereka percaya bahwa Ramadan merupakan bulan saat arwah leluhur kembali ke dunia mendatangi keturunannya. Ramadan ala Bani Islam Cham dimulai tiga hari sebelum bulan Ramadan tiba, yang dimanfaatkan pemimpin-pemimpin baru untuk tinggal, menyepi dalam masjid tanpa berbicara, makan, dan minum.

Selama tiga hari ini masjid dilarang dikunjungi non-pemimpin. Baru ketika Ramadan benar-benar tiba, para pemimpin baru yang telah mengurung diri selama tiga hari tersebut diizinkan keluar. Bukan untuk pulang ke rumah masing-masing, tetapi berkhotbah pada masyarakat Bani Islam Cham.

Pada bulan Ramadan, meskipun tidak diwajibkan puasa, masyarakat Bani Islam Cham dilarang memakan daging, juga dilarang mengadakan upacara penguburan. Bukan selama 30 hari, tetapi hanya 15 hari.

Hal ini terjadi karena dalam kalender Bani Islam Cham Ramadan (juga bulan-bulan lain) terbagi dalam dua fase yang masing-masing berdurasi selama 15 hari, buah dari pengetahuan tradisional mereka yang percaya bahwa tak ada angka yang lebih tinggi dibandingkan 15.

Infografik Mozaik Agama Cham Bani

Infografik Mozaik Agama Cham Bani. tirto.id/Tino

Mereka membagi Ramadan dan bulan-bulan lainnya dalam "bingun" (fase pertama) serta "klam" (fase kedua). Jika fase pertama adalah pelarangan memakan daging dan penguburan, maka fase kedua tertuju pada penyelenggaraan upacara keagamaan yang diadakan di masjid.

Selain Ramadan, perbedaan Bani Islam Cham dengan muslim pada umumnya adalah menjadikan Rabu sebagai hari utama, alih-alih Jumat.

Keberadaan Bani Islam Cham di Vietnam yang melakukan praktik keagamaan berbeda dengan muslim pada umumnya, kemungkinan muncul karena proses dakwah yang belum tuntas, terutama saat Kerajaan Champa masih berdiri.

Kala pasukan Di Viet muncul untuk merebut kekuasaan Champa, penganut Islam Cham yang belum selesai memahami Islam terpecah ke dalam wilayah-wilayah yang berlainan.

Di satu sisi, muncul penganut Islam Cham yang akhirnya menerima dakwah hingga tuntas. Di sisi lainnya, terutama yang tinggal di wilayah Phan Rang dan Phang Ri, prosesnya terhenti begitu saja yang kemudian melahirkan Bani Islam Cham.

Kiwari muslim di Vietnam berjumlah sekitar 30.000 jiwa dengan 46 masjid dan 20 musala, termasuk di dalamnya Bani Islam Cham yang mestinya jadi pengecualian karena tak memenuhi salah satu Rukun Islam.

Baca juga artikel terkait VIETNAM atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi