Menuju konten utama

Tak Usah Kesal Dikritik Bank Dunia, Pak Luhut

Luhut kesal karena dikritik Bank Dunia, padahal mereka memang berkomitmen terhadap pembangunan yang tak mengabaikan lingkungan.

Tak Usah Kesal Dikritik Bank Dunia, Pak Luhut
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan arahan saat pembukaan kegiatan Youth Voice: Coral Reef Restoration ICRG (Indonesia Coral Reef Garden) di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf.

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengaku kesal dengan Bank Dunia karena mengkritik UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dari sudut pandang lingkungan. Luhut tak sungkan menyebut lembaga itu “resek” dalam sebuah diskusi pada 25 November lalu.

Luhut juga menuding Bank Dunia tak adil lantaran menyoroti isu lingkungan di Indonesia tetapi mengabaikan kasus-kasus di negara lain seperti kebakaran hutan di Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia.

Kritik Bank Dunia dilayangkan oleh Country Director untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen pada 17 Juli lalu. Dia bilang UU Cipta Kerja--saat itu masih berstatus RUU--bakal “membahayakan lingkungan hidup Indonesia.”

Luhut merasa komitmen Indonesia dalam melindungi lingkungan tak perlu diragukan lagi. Dalam diskusi itu ia memberi contoh Indonesia saat ini memiliki proyek restorasi hutan bakau seluas 640 hektare dalam empat tahun.

Kritik Bank Dunia sebetulnya wajar sebab mereka memang berkomitmen terhadap keberlanjutan lingkungan hidup. Menurut penelusuran Indonesian Centre for Environmental Law (Icel), Bank Dunia memiliki standar lingkungan hidup atau Environmental and Social Standards (ESS) yang menjadi pegangan dalam memberi pinjaman sekaligus harus dipatuhi debitur. Dengan kata lain, tak hanya berlaku bagi Indonesia tapi semua yang meminjam dana.

Dalam ESS 1, Bank Dunia memberi kewajiban bagi peminjam untuk menilai, mengelola, dan memonitor dampak ekonomi-sosial dari proyek yang mendapat dukungan. Ada juga ESS 10 yang mewajibkan adanya pengurangan partisipasi atau kesempatan pada proyek-proyek yang merusak lingkungan. ESS 5, 6, dan 7 mengatur lebih spesifik lagi. Antara lain kewajiban menghindari maupun mencegah: penggusuran paksa, penyerobotan lahan, pengabaian perlindungan keanekaragaman hayati, sampai dampak buruk bagi masyarakat adat dan lokal.

Oleh karena itu, menurut Direktur Eksekutif Icel Raynaldo Sembiring, Luhut semestinya tak perlu gerah dikritik oleh Bank Dunia. “Kritik itu memang dalam rangka menjalankan regulasi internal. Mereka konsisten. Kalau [Luhut] mau kritik, tunjukkan saja misalnya analisis Bank Dunia tidak tepat,” ucap Raynaldo kepada reporter Tirto, Senin (30/11/2020).

Standar ini juga bukan barang baru. Ia telah dimiliki lembaga keuangan lain seperti Asian Development Bank (ADB) dengan Safeguard Requirement 1 on Environment, Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan Environmental and Social Standard, dan International Finance Corporation (IFC) dengan Performance Standard.

Menurut Raynaldo, komitmen serupa justru semestinya dimiliki Indonesia selaku pemegang utang (loan held) terbanyak kedua setelah India per Oktober 2020. India sebesar nilai 28,49 miliar dolar AS, sementara Indonesia 21,98 miliar dolar AS.

Per 25 November 2020, Bank Dunia mencatat telah menyalurkan utang (disboursed) senilai 3,28 miliar dolar AS dari total yang disetujui (original principal) 6,26 miliar dolar AS. Indonesia baru membayar (repaid) sekitar 311.000 dolar AS.

Meski punya komitmen tinggi, bukan berarti Bank Dunia tanpa cela. Dalam artikel di The Conversation, Alf Gunvald Nilsen, Associate Professor di Development Studies University of Agder, menyebut Bank Dunia gagal mewujudkan visi mengentaskan kemiskinan lantaran luput melihat kesenjangan. Sederhananya, sejumlah besar kekayaan terakumulasi di segelintir orang sehingga sebaik apa pun pertumbuhan ekonomi suatu negara, rakyat miskin tak menikmatinya.

Sementara Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan sebagian bantuan Bank Dunia juga sempat bertanggung jawab memperparah krisis iklim. Kasus ini pernah dilaporkan The Guardian dari suatu dokumen yang dibocorkan tahun 2014 lalu. Akan tetapi, menurutnya kritik tersebut tetap saja didasari atas kesadaran kalau kerusakan lingkungan berdampak besar. Oleh karena itu peringatan itu memang baik didengar, alih-alih disanggah.

Riset Bank Dunia mencatat kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015 diperkirakan mengakibatkan kerugian pada ekonomi senilai 16 miliar dolar AS atau setara 1,8 persen PDB. Riset tahun 2019 memperkirakan kebakaran hutan menyebabkan kerugian ekonomi hingga 5,2 miliar dolar AS atau setara 0,5 persen PDB. Tentu jika seluruh kasus kerusakan lingkungan diperhitungkan, kerugian akan lebih besar.

Tahun 2018 lalu, menurut World Economic Forum, dampak perubahan iklim terhadap ekonomi jumlahnya senilai 165 miliar dolar AS. Di Amerika Serikat, perubahan iklim memberi dampak ekonomi sekitar 10 persen dari total PDB, padahal pertumbuhan ekonomi mereka selama tahun itu hanya 2,92 persen.

Lalu, jika 200 perusahaan besar dunia tidak melakukan apa-apa untuk mengurangi perubahan iklim, mereka justru akan menderita kerugian hingga 1 triliun dolar AS.

Bagi Arie, semua statistik ini semestinya jadi referensi bagi negara-negara agar mereka membuat kebijakan “pembangunan tidak merugikan lingkungan.”

“Sayangnya di UU omnibus law yang ada sebaliknya,” ucap Arie kepada reporter Tirto, Senin (30/11/2020).

Baca juga artikel terkait BANK DUNIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino