Menuju konten utama

Tak Terima Rasisme, Dewan Adat Papua Desak Negara Minta Maaf

Mananwir tidak bisa memastikan kapan massa aksi segera membubarkan diri dan kembali ke rumahnya masing-masing.

Tak Terima Rasisme, Dewan Adat Papua Desak Negara Minta Maaf
Massa melakukan aksi di Jayapura, Senin (19/8/2019). ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/ama.

tirto.id - Ketua Dewan Adat Wilayah III Doberay Papua Barat, Mananwir Paul Finsen Mayor mengatakan kondisi Manokwari hingga pukul 15.30 masih mencekam. Menurut perkiraannya, ada ribuan massa memadati setiap ruas jalan. Sehingga menyebabkan aktivitas perkantoran dan sekolah menjadi lumpuh.

Pemantiknya, kata dia, adalah ujaran rasial yang diduga dilontarkan oleh organisasi masyarakat dan aparat keamanan saat insiden penangkapan mahasiswa di Surabaya pada Sabtu (17/8/2019) kemarin.

Atas dasar itu, ia mendesak negara segera membuat pernyataan maaf dan sekaligus membayar denda. "Mereka yang dicaci dan dihina ini kan anak-anak adat. Orang Papua sangat berpegang tegus pada adat istiadatnya. Jadi harus minta maaf secara adat Papua dan bayar denda sesuai adat juga," ujarnya kepada Tirto, Senin (19/8/2019).

Ia bahkan mendesak Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa agar meminta maaf secara adat Papua. "Suruh Gubernur Khofifah, wali kota, dan aparat untuk segera minta maaf secara adat Papua dan bayar denda adat."

Selain menuntut permintaan maaf dan pembayaran denda sesuai adat Papua. Ia juga meminta agar proses hukum diberlakukan bagi Ormas dan aparatur keamanan.

Sebab, kata dia, ujaran rasial yang dilakukan ormas telah membuat ribuan masyarakat dari berbagai elemen turun ke jalan, sehingga membuat lalu lintas di daerah Manokwari padat dan membuat aktivitas lumpuh.

Selain itu, massa yang kecewa mengekspresikannya dengan membakar gedung DPRD Provinsi Papua Barat, Kantor Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat, dan beberapa kantor dinas. Serta merusak kantor KPUD dan Bawaslu.

"Orang Papua sudah sejak sejarah masuknya Papua ke NKRI itu kan sudah politis. Jadi kalau situasinya begini sudah langsung sensitif dan memantik untuk ribut," ujarnya.

Ia tidak bisa memastikan kapan massa aksi segera membubarkan diri dan kembali ke rumahnya masing-masing. Sebab, menurutnya gelombang protes terus terjadi dan meluas. Kendati memang relatif kondusif ketimbang yang terjadi di Sorong.

"Bentrokan tidak terjadi sampai sekarang, kecuali di Sorong. Manokwari tidak," ujarnya.

Sebelumnya, warga dan mahasiswa memblokir sejumlah ruas jalan di Manokwari, Ibu Kota Provinsi Papua Barat, Senin (19/8/2019) pagi sekitar pukul 08.00 WIT. Salah satunya Jalan Yos Sudarso, jalan utama kota tersebut.

Mereka juga menebang pohon, membakar ban, spanduk, dan semua yang bisa dibakar. Lalu lintas pun lumpuh; api berkobar di tengah-tengah jalan; asap hitam membumbung.

Dilaporkan Antara, seorang warga bernama Simon mengatakan aksi ini adalah bentuk kekecewaan masyarakat Papua terhadap pengepungan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya, Jumat (16/8/2019) lalu.

Para mahasiswa itu dikepung karena dituduh merusak bendera merah putih yang dipasang di depan asrama--meski bukti-buktinya tak jelas. Selain itu, Mapolresta Surabaya tak menersangkakan satu pun mahasiswa atas isu yang dituduhkan.

Saat dikepung itu, para pengepung--termasuk TNI--bertindak rasis. Salah satu dari mereka mengatakan "anjing! babi! monyet! keluar lu kalau berani! hadapi kami di depan!" Polisi bahkan memaksa masuk asrama dengan kekuatan penuh. Gas air mata dilontarkan. Empat mahasiswa terluka karenanya.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Alexander Haryanto