Menuju konten utama

Tak Mudah Merestorasi Lahan Gambut Secara Masif

Pemerintah tengah mengupayakan restorasi lahan gambut di seluruh Indonesia. Meski telah menunjukkan kemajuan, namun bukan berarti tak ada masalah.

Tak Mudah Merestorasi Lahan Gambut Secara Masif
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead memadamkan api yang membakar lahan gambut di kelurahan Mundam kota Dumai, Dumai, Riau, Kamis (19/7/2018). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid

tirto.id - Ragam tanaman palawija menghampar di kebun seluas satu hektare. Sepintas pandang tak terlihat bahwa gundukan tanah berhias daun-daun kehijauan itu adalah lahan gambut. Lahan di Dusun II, Desa Bumi Agung, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) ini pernah terbakar hebat pada 2015 lalu.

Selain Musi Banyuasin, dua wilayah lain yang juga pernah terbakar pada tahun yang sama adalah Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir.

Selama belasan tahun, kebakaran besar di Indonesia selalu terjadi di provinsi ini, juga di Kalimantan Tengah dan Riau. Kebakaran besar terakhir terjadi menjelang perhelatan Asian Games 2018 kemarin.

Penyebab kebakaran adalah El Nino. Fenomena ini menyebabkan kenaikan suhu global, kekeringan, dan membuat lahan terbakar. Fenomena yang sama akan terjadi pada Maret tahun depan. Begitu perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Sumsel pun berbenah. Lahan gambut di Musi Banyuasin adalah contoh keberhasilan program restorasi dan diharapkan terjadi juga di wilayah-wilayah lain.

Restorasi dimulai dengan memetakan lokasi, tipe, dan kedalaman gambut baru. Setelah itu baru menentukan jenis restorasi. Ada gambut yang perlu dibasahi (rewetting) dulu, namun ada yang bisa langsung bisa ditanami (revegetasi).

Gambut perlu dibasahi untuk meningkatkan kelembaban agar tak mudah terbakar.

“Ibarat lari maraton, gambut harus terhidrasi dengan baik agar tidak mudah teroksidasi,” kata Kepala Sub Kelompok Kerja Informasi dan Kehumasan Kedeputian Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Anderi Satya kepada reporter Tirto, Selasa (27/11/2018) kemarin.

BRG dibentuk tahun 2016 oleh Joko Widodo. Tujuan besar lembaga ini adalah untuk memperbaiki ekosistem gambut di tujuh provinsi prioritas.

Teknik pembasahan dilakukan dengan cara membuat sekat kanal (canal blocking), penimbunan saluran (back filling), sumur bor, dan/atau penahan air yang berfungsi menyimpan air di sungai atau kanal.

Selain itu, lahan-lahan gambut juga dipasangi detektor titik muka air. Begitu ukurannya turun melewati 40 sentimeter, maka tim BRG--yang berstatus lembaga pemerintah nonstruktural--akan langsung mengupayakan pembasahan.

Setelah kembali lembap, lahan gambut bisa diolah menjadi lahan perkebunan bernilai ekonomis yang tidak mengganggu siklus air. Caranya dengan membuka lahan tanpa bakar.

Tersandung Perda dan Lahan Konsesi

Pembukaan lahan tanpa bakar membikin sifat basa pada lahan bertahan lama dan tidak terkikis saat datang air hujan. Dan cara ini jelas lebih menguntungkan dibanding membuka lahan dengan membakarnya.

Namun justru pembukaan lahan dengan pembakaran lebih disuka. Alasannya tentu karena dinilai lebih mudah dan cepat.

Padahal ketika lahan sering dibakar, maka gambut akan teroksidasi, kering, dan mengeluarkan pirit--mineral yang mengandung besi dan belerang. Jika cairan ini muncul, maka tak ada lagi tanaman yang bisa tumbuh, kecuali ilalang dan pakis.

Setiap hektare gambut yang dikeringkan untuk keperluan perkebunan dapat mengeluarkan 55 metrik ton CO2 setiap tahun. Jumlah tersebut setara dengan membakar lebih dari 6 ribu galon berisi bensin.

Akhirnya, pasca kebakaran besar di tahun 2015, Pemerintah Sumsel mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. Pasal 17 menyebut pembakaran lahan dapat dikenakan sanksi penjara enam bulan dan denda maksimal Rp50 juta.

Perda ini sebetulnya bermaksud menekan aktivitas pembakaran liar, namun sayangnya tak segampang itu.

“Dulu pakai sekam, ditunggu beramai-ramai. Tapi sejak Perda keluar, orang jadi bakar sembarangan terus ditinggal karena takut ketahuan,” ungkap Dd shineba dari Kedeputian 3 BRG kepada reporter Tirto, Selasa (27/11/2018).

Satu lagi masalah menghadapi potensi kebakaran pada Maret nanti adalah pengelolaan lahan konsesi. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menyebut perlindungan dan pengelolaan hanya dapat dilakukan di lahan budidaya dan lindung.

Total lahan gambut yang bakal direstorasi mencapai 2,4 juta hektare, 1,4 juta di antaranya di lahan konsesi. Restorasi di kawasan ini baru bisa dilakukan setelah ada aturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sanksi Perusahaan Nakal

Tadi disebutkan bahwa salah satu penyebab kebakaran adalah faktor cuaca. Namun itu bukan satu-satunya. Faktor lain adalah perusahaan yang memang sengaja membakar lahan.

KLHK sebetulnya telah menerbitkan surat perintah pemulihan terhadap 225 perusahaan perkebunan dan 100 perusahaan hutan tanaman industri yang berdiri di ekosistem gambut. Sejauh ini surat baru ditindaklanjuti oleh167 perusahaan.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan bahwa perlu langkah khusus untuk mengatasi ini.

“Kita butuh komisi khusus penegak hukum lingkungan dan pengadilan lingkungan. Institusi penegak hukum sekarang terbukti tidak efektif mencegah dan mengadili aktor aktor utama kerusakan lingkungan termasuk pembakaran hutan dan lahan,” kata Zenzi kepada reporter Tirto, Selasa (29/11/2018).

Baca juga artikel terkait LAHAN GAMBUT atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Rio Apinino