Menuju konten utama

"Tak Ingin Membebek Barat": Gairah Seni Rupa Indonesia 1930-an

Pada 1930-an, pelukis-pelukis di Bandung dan Batavia berhimpun untuk menggugat aliran Hindia Molek alias Mooi Indie.

Rapat tahunan Persatuan Ahli-ahli Gambar (Persagi). FOTO/jakarta-tourism.go.id

tirto.id - Umur seni rupa modern Indonesia belum terlalu tua, terhitung sejak masa Raden Saleh berkarya pada 1850-an. Telah umum diterima bahwa Raden Saleh pula yang menjadi perintisnya, meski hal itu sebuah ketidaksengajaan. Pasalnya, ketika Raden Saleh berkarya, Indonesia belum jadi bangsa.

Namun, lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh lazim dianggap sebagai karya dengan semangat proto-nasionalisme. Karya itu adalah rekonstruksi ulang atas lukisan peristiwa yang sama karya J.W. Pieneman. Dalam lukisan tersebut, Raden Saleh mengguratkan keberpihakan dan simpatinya kepada pihak yang kalah, Diponegoro.

Sikap berpihak inilah yang kemudian menjadi tengara umum karya-karya seni lukis yang didaku nasionalis pada mula abad ke-20. Keberpihakan seakan jadi identitas bagi lukisan “Indonesia”.

Setelah wafat, Raden Saleh tak punya murid atau penerus. Sejarak setengah abad sejak ia mangkat barulah muncul generasi baru pelukis bumiputra, seperti Abdullah Surio Subroto, Mas Pirngadi dan Wakidi.

Dunia seni lukis pun kian semarak dengan kedatangan pelukis-pelukis Barat di Hindia Belanda. Sebutlah misalnya pelukis Adolf, Locatelli, Dezentje, Jan Frank, R. Bonnet, Walter Spies, hingga Le Mayeur.

Akan tetapi, seni lukis yang berkembang pada awal abad ke-20 itu bukanlah pelanjutan dari gaya dan pemikiran Raden Saleh. Pelukis-pelukis itu, baik mereka yang dari Barat dan bumiputra, dikenal sebagai penganut mazhab Mooi Indie alias Hindia Jelita.

Tentang mazhab ini, kritikus seni Kusnadi dalam bunga rampai Perjalanan Seni Rupa Indonesia (1990, hlm. 61) menulis, “Nama Hindia Molek atau Mooi Indie diberikan sebagai nama sindiran oleh Sudjojono, untuk menerangi tipe karya dan pengarahan tema seni lukis zaman Hindia Belanda, kurang lebih antara tahun 1925 sampai dengan 1938. Pada masa itu idealisme seni lukis modern Indonesia yang sebenarnya, belum ada.”

Pada masanya, Raden Saleh membawa elan Romantisisme melalui lukisan-lukisannya. Baik lukisan potret, peristiwa, maupun lanskap dilukisnya dengan sangat detail dan disiplin teknik tinggi. Pelukis-pelukis Hindia Jelita umumnya membekukan lanskap alam Hindia Belanda yang indah dan tenang.

Di kanvas mereka, makna Hindia Belanda tak lebih dari sekadar entitas geografis belaka. Karya semacam “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dengan keberpihakannya belum lagi muncul. Antitesis terhadap Mooi Indie dan pemaknaan baru atas tanah air baru diwujudkan oleh pelukis-pelukis segenerasi Sudjojono pada dekade 1930-an. Saat itu, semangat pergerakan nasional tengah menghebat.

Pada tahun-tahun itu, tulis Enin Supriyanto dalam Perjalanan Seni Lukis Indonesia (2004, hlm. 15), “[...] Alur utama sejarah perkembangan seni rupa modern Indonesia diisi dengan kesibukan merumuskan, membongkar, dan menyusun ulang apa dan bagaimana ‘Indonesia’ hadir sebagai identitas penentu dalam karya-karya seni rupa.”

Gerakan Mula dari Bandung dan Bali

Benar bahwa Sudjojono disebut-sebut sebagai perintis seni lukis modern Indonesia. Ia dan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) memang punya saham besar dalam mengkongkretkan wacana keindonesiaan dalam seni lukis. Namun, Persagi bukanlah pemula.

Adalah Affandi dan kawan-kawannya yang membikin sebuah wadah melukis bersama dan mengembangkan wacana. Saat Mooi Indie sedang mekar di Bandung pada awal 1930-an, Affandi ogah membebek, apalagi kalau sekadar untuk menyambung hidup.

“Lukisan-lukisan tersebut kalau dijual laku lebih kurang sepuluh gulden sebuah. Tetapi Affandi tidak ingin menjadi pelukis pemandangan untuk di jual. Ia ingin melukis yang benar-benar melukis. Ingin melukis menurut kata hatinya,” tulis Suhatno dalam Dr. H. Affandi: Karya dan Pengabdiannya (1985, hlm. 16).

Pemikiran Affandi agaknya lahir dari kedekatannya dengan kehidupan yang rudin. Realitas kehidupan rakyat kecil, alih-alih keindahan pemandangan, lebih menggugah motivasinya melukis. Ia ingin menggambarkan realitas kehidupan secara jujur.

Idealisme ini pulalah yang kemudian mendekatkannya dengan pelukis-pelukis muda yang sama-sama menghayati kehidupan kere, seperti Sudarso dan Hendra. Seperti dikisahkan Suhatno, Affandi-lah yang membimbing Soedarso dari awalnya berprofesi sebagai kurir susu. Affandi juga yang mendekatkannya dengan Hendra Gunawan yang dalam banyak hal sepemikiran dengannya (hlm. 44-45).

Kemudian pada 1935, bersama kedua kawannya itu, plus pelukis Barli dan Wahdi, Affandi membentuk Kelompok Lima. Affandi berniat mendirikan kelompok ini sebagai “kelompok belajar” teknik dan wacana. Maklum, mereka semua tak pernah mengenyam pendidikan formal seni rupa.

“Meski perkumpulan ini pada satu sisi hanyalah sarana untuk membina pertemanan dan persaudaraan, masyarakat seni menganggap Kelompok Lima sudah menawarkan peran yang kelihatan penting. Yakni untuk menandai bahwa pada kurun itu sudah ada segelintir pelukis Indonesia yang punya hasrat kuat mewujudkan eksistensi seni Indonesia,” tulis Agus Dermawan T. dalam Surga Kemelut Pelukis Hendra (2018, hlm. 14).

Gerakan seni rupa Pita Maha di Bali yang berdiri pada 1936 juga patut disebut di sini. Jika Kelompok Lima dirintis sebagai antitesis terhadap Mooi Indie, Pita Maha mendobrak tradisi lukis tradisional Bali.

Pita Maha dibentuk atas prakarsa Cokorda Gde Raka, Cokorda Gde Agung Sukawati, Rudolf Bonnet, Walter Spies, dan Gusti Nyoman Lempad. Gerakan ini adalah hasil interaksi antara seni lukis Barat yang dikenalkan Bonnet dan Spies dengan pelukis-pelukis muda Bali masa itu. Interaksi ini disponsori oleh Puri Ubud yang memberikan keleluasaan bagi pelukis-pelukisnya untuk bereksperimen dengan gaya baru.

Menurut Wayan Kun Adnyana dalam Pita Maha: Gerakan Sosial Seni Lukis Bali 1930-an (2018) Pita Maha membawa kesadaran baru bahwa lukisan adalah karya individual si pelukis. Kini mereka tak lagi melukis secara anonim dan karyanya tak lagi diklaim Puri tempat mereka bernaung.

Tema-tema lukisan mereka juga meluas, dari hal-hal yang sifatnya sakral kemudian merambah ke sketsa-sketsa kehidupan sehari-hari. kebaruan lain yang diusung oleh Pita Maha adalah kebebasan tafsir personal pelukis atas tradisi.

“Kesemua pelukis generasi Pita Maha tersebut memilih jalan tafsir personal untuk menerjemahkan narasi yang ada pada cerita rakyat, dongeng, dan epos Ramayana dan Mahabarata. Dalam hal ini, pelukis bukanlah ilustrator plot cerita tersebut. Mereka berdiri sendiri sebagai subjek dengan penalaran dan kecakapan interpretasi personal yang khas,” tulis Wayan Kun Adnyana (hlm. 167).

Infografik Gerakan seni rupa

Persagi

Ide awal pembentukan Persagi berasal dari pelukis Sudjojono. Ia selalu percaya bahwa kualitas pelukis-pelukis bumiputra tak kalah dari pelukis-pelukis Barat yang berkarya di Hindia Belanda. Kepercayaan itu kian besar kala lukisannya "Kinderen met Kat" mendapat apresiasi positif dalam sebuah pameran bersama di Bataviasch Kunstkring pada 1938.

“Kepercayaan saya sebagai bangsa Indonesia secara sadar mulai kukuh, naik dari kedudukan ‘inlander’ rasanya. [...] Orang Barat harus kita taklukkan. Lusa atau besok kamu akan nyembah di depan lukisan kami di museum Indonesia yang akan datang,” ungkap Sudjojono dalam otobiografinya Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya (2017, hlm. 55).

Usai pameran ia mulai mendiskusikan idenya mendirikan organisasi pelukis bumiputra bersama Yudhokusumo, ayah angkatnya, dan karibnya Agus Djaya. Dari pembicaraan tersebut, mereka lantas mengajak serta kawan-kawan pelukis lainnya di Batavia. Tak lama kemudian, di tahun yang sama berdirilah Persagi dengan ketua pertamanya pelukis Agus Djaya, sementara Sudjojono menjadi sekretaris.

Persagi menghimpun pelukis-pelukis seperti Soerono, Rameli, Herbert Hutagalung, Ateng Roesian, Abdulsalam, hingga pelukis perempuan Emiria Soenassa dan Saptarita Latif.

Di Persagi, Sudjojono tampak bagai ideolog. Ia dan Agus Djaya sangat menekankan kepada anggota Persagi agar tak sekadar membebek kepada aliran dan teknik dari Barat. Ia bahkan menganggap pada titik tertentu teknik dan rumus malah hanya menghalangi penemuan kreatif.

“Semboyan ekstremnya ialah: Teknik tidak penting. Yang penting isi jiwa ini tumpahkan saja di atas kanvas. [...] Tujuan perjuangan Persagi: Mengembangkan seni lukis di kalangan bangsa Indonesia dengan mencari corak Indonesia Baru,” tulis Sudarmaji dalam bunga rampai Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah hingga Masa Kini (1990, hlm. 74-75).

Persagi tak hanya diisi pelukis-pelukis cakap saja, tetapi juga mereka yang benar-benar masih awal belajar. Mereka rutin menggelar kegiatan melukis bersama di Sekolah Arjuna di bilangan Petoyo. Selain itu, mereka juga sering mengadakan diskusi. Temanya beragam, dari mulai teori melukis hingga soal-soal politik saat itu.

Gairah organisasi-organisasi ini langsung padam ketika Jepang menduduki Indonesia. Beberapa di antara anggotanya kemudian memilih aktif di lembaga kesenian bikinan Jepang, Keimin Bunka Shidoso.

Baca juga artikel terkait SEJARAH SENI atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Windu Jusuf