Menuju konten utama
KRISIS PANGAN (TULISAN 1)

Tak Hanya Resesi, Krisis Pangan Ikut Menghantui di 2023

Kesiagaan tersebut sangat diperlukan karena Rusia dan Ukraina yang saat ini berperang bisa dibilang memegang kunci gudang pangan.

Tak Hanya Resesi, Krisis Pangan Ikut Menghantui di 2023
Sejumlah pegiat lingkungan yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) berunjuk rasa menyongsong Hari Krisis Pangan Sedunia (World Hunger Day) dan Perubahan Iklim di Serang, Banten, Rabu (16/10/2019). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc.

tirto.id - Sejumlah menteri gesit melontarkan pernyataan terkait risiko krisis yang dikhawatirkan melanda tahun depan. Memakai beragam istilah untuk menggambarkan situasi tersebut, belum ada resep definitif yang diusung untuk mengantisipasinya.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menyebut ancaman resesi bukan kaleng-kaleng.’ Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan memilih diksi ‘perfect storm(badai yang sempurna) sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutnya ‘krisis 5C.'

Pernyataan publik para pembantu Presiden Joko Widodo itu memicu respons beragam dari berbagai kalangan. Eks Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Sri Mulyani agar "jangan takut-takuti orang tahun depan akan kiamat."

Terlepas dari ragam pilihan kata dan respons yang beragam terhadap kekhawatiran para pejabat publik tersebut, faktanya resesi tidak hanya dibahas di dalam negeri. Bank Dunia (World Bank) bahkan mengupasnya dalam laporan khusus September lalu.

Kalimat horor itu bergentayangan sejak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menyerang tiga tahun silam. Tahun ini ketika pandemi mulai terkendali, muncul ketegangan geopolitik Eropa mengundang hantu resesi kembali gentayangan.

Operasi militer khusus yang dilancarkan Rusia terhadap Donbass—kawasan Ukraina yang dihuni warga keturunan Rusia dan dipersekusi secara militer sejak tahun 2014—seketika mengguncang stabilitas ekonomi dan energi di daratan Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Kubu Barat merespons dengan mengembargo produk Rusia dan memperketat kebijakan moneter. Hal ini memicu lonjakan inflasi di negara mereka. Uni Eropa melaporkan inflasi sebesar 10,4% per Oktober, sementara AS mencetak inflasi sebesar 7,7%.

Inflasi yang tinggi tersebut coba mereka atasi dengan resep kebijakan moneter ketat. Artinya, suku bunga didongkrak, yang turut mengerek bunga pinjaman dan bunga kredit, sehingga men-discourage orang untuk berbelanja dan berinvestasi.

Situasi ini kian memperburuk pertumbuhan ekonomi, karena pada umumnya aktivitas konsumsi menyumbang sekitar 54% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara maju. Jika aktivitas ini tertekan, maka mesin ekonomi mereka kehilangan separuh tenaganya.

Imbasnya, investasi di negara maju kian mengkeret sementara pengangguran dan kemiskinan memburuk. Di negara lain, termasuk Indonesia, dampaknya adalah aktivitas ekspor ke negara-negara maju tersebut terganggu. Ekspor terganggu, pendapatan devisa pun turun.

Berdasar data BPS, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,72% secara year on year (yoy). Menurut lapangan usaha, Transportasi dan Pergudangan mencatat pertumbuhan tertinggi, yakni 25,81% (yoy). Dari sisi pengeluaran, Ekspor Barang dan Jasa tumbuh tertinggi (21,6%).

Mengacu pada data World Economic Outlook yang dirilis Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) edisi Oktober 2022, PDB Indonesia sudah mencapai US$4,02 triliun, melampaui Brasil, Inggris dan Prancis.

Namun, bukan berarti kita aman. Survei Bloomberg pada Juli 2022 memasukkan Indonesia dalam daftar 15 negara terancam resesi.

Krisis Ekonomi Plus Krisis Pangan?

Lima puluh hari jelang pergantian tahun, resesi ekonomi dan krisis pangan menjadi topik hangat pembahasan di tingkat internasional. Jokowi, sapaan populer Presiden RI Joko Widodo, juga tak ketinggalan.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Plus Three (APT) di Phnom Penh, Kamboja, Sabtu (12/11/2022), Jokowi bicara soal antisipasi penanganan krisis pangan, resesi ekonomi, serta stabilitas keamanan dan perdamaian kawasan ASEAN.

Untuk mencegah resesi, Jokowi menyerukan sinergi perangkat finansial anggota APT khususnya melalui Chiang Mai Initiative Multilateralisation. Dari dalam negeri, infrastruktur keuangan dan dukungan likuiditas akan diperkuat.

Misalnya melalui koordinasi erat antar bank sentral, peningkatan mobilisasi sumber daya domestik, dan kecermatan menjaga inflasi. Jokowi optimistis APT bisa menjadi benteng pertahanan negara-negara ASEAN untuk melalui krisis layaknya tahun 1997 silam.

Faktor inflasi di Indonesia tak bisa dipisahkan dari pangan, yang jika harganya menggila bisa mendongkrak angka kemiskinan. Sepanjang tahun ini, harga pangan cenderung merangkak naik, sebesar 6,76%, per Oktober menurut Tradingeconomics.

Grafik Kenaikan Harga Pangan

Grafik kenaikan harga pangan. (FOTO/tradingeconomics.com)

Untuk mencegah krisis pangan, Jokowi menyerukan peningkatan cadangan beras darurat APT, penguatan teknologi produksi beras, dan integrasi kapasitas melalui sistem logistik anggota APT guna mengamankan rantai pasokan dan stabilitas harga beras.

"Sekarang kita kembali diuji dengan krisis global yang lebih dahsyat. Saya sangat percaya dengan spirit yang sama, kita mampu menghadapi krisis saat ini," demikian petikan pernyataan resmi Jokowi.

Kesiagaan tersebut sangat diperlukan karena Rusia dan Ukraina yang saat ini berperang bisa dibilang memegang kunci gudang pangan. Rusia adalah produsen gandum terbesar ketiga dunia diikuti Ukraina di posisi delapan. Ia juga menjadi eksportir terbesar keempat pupuk dunia.

Seperti diketahui, pupuk memegang peran vital terhadap sektor pertanian demi menopang produktivitas bahan pangan. Oleh karena itu, kontribusi negara-negara eksportir pupuk seperti Rusia sangat penting bagi negara-negara agraris seperti Indonesia.

Infografik Siap-siap Krisis ekonomi dan pangan 2023

Infografik Siap-siap Krisis ekonomi dan pangan 2023. tirto.id/Fuad

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pasokan pupuk impor dari Rusia mencapai 818 ribu ton pada 2019. Jumlahnya kemudian menurun jadi 743 ribu ton pada 2020 dan membaik menjadi 974 ribu ton pada 2021. Sejauh ini, masih aman.

Menghadapi 2023, Presiden Jokowi menggelar rapat internal membahas program Food Estate di Istana Negara Jakarta pada Selasa (4/10/2022). Program ini diproyeksikan menjadi senjata untuk menghadapi krisis pangan yang diperkirakan menghantui tahun depan.

"Progres Food Estate di Kalimantan Tengah yang sedang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian sekitar 60 ribu hektare, di mana tahun 2020 sebanyak 30 ribu hektare, di tahun 2021 sebanyak 14 ribu hektare, dan ekstensifikasi sebanyak 16 ribu hektare," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Selain di Kalimantan Tengah seluas 60 hektare, Food Estate juga dikembangkan pemerintah di sejumlah titik lainnya: di Sumatera Utara ditargetkan seluas 22 ribu hektare, di Nusa Tenggara Timur seluas 11,5 ribu hektare di Papua mencapai 1,2 juta hektare.

Ditolak LSM, Solusinya Apa?

Namun, inisiatif untuk menangkal krisis pangan tersebut justru menuai kritik dan penolakan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (non-government organization/NGO). Mereka membentangkan spanduk raksasa di lokasi Food Estate Kalimantan Tengah.

Spanduk itu bertuliskan Food Estate Feeding Climate Crisis dan dibentang bersamaan dengan konferensi perubahan iklim (Conference of the Parties 27/COP-27) di Sharm el-Sheikh, Mesir. Mereka menolak Food Estate dengan alasan memicu hilangnya 3 juta hektare lahan hutan.

"Berikan hak atas tanah dan kembalikan urusan pangan kepada petani," demikian petikan pernyataan tertulis Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Bayu Herinata dalam pernyataan resminya.

Realita ini memicu masalah klasik nasional, yang juga membuat upaya penguatan pangan jalan di tempat. Di masa lalu, Presiden Soeharto berniat menyulap lahan gambut menjadi lumbung pangan melalui Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare.

Sayangnya, program tersebut gagal dengan produktivitas minim sementara efek buruknya bermunculan; jutaan hektare lahan gambut rusak. Di era reformasi, program Food Estate atau lumbung pangan yang menjadi jurus andalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga dinilai gagal.

PRESIDEN TINJAU LAHAN FOOD ESTATE

Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz)

Di luar persoalan kelangkaan pupuk dan penolakan LSM, upaya pemerintah mendorong ketahanan pangan tahun depan dibayang-bayangi oleh faktor cuaca ekstrem, yang berpotensi memangkas pasokan produk pertanian pada 2023 mendatang.

Risiko ini sempat disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (31/8/2022) lalu. Indonesia, menurut dia, berpeluang besar terdampak fenomena illim El Nino yang memicu kekeringan ekstrim di beberapa wilayah.

Menurut Sri Mulyani, produktivitas sektor pertanian berpotensi anjlok akibat El Nino sehingga produksi pertanian diproyeksikan hanya tumbuh 3,7% pada 2023. Oleh karena itu, dia menilai investasi ketahanan pangan sangat perlu demi mengantisipasi kondisi tersebut.

Dengan kata lain, produktivitasnya di bawah proyeksi 4-4,2% yang dicanangkan di dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF). Dampak fenomena El Nino tersebut, menurut Sri Mulyani, sudah memukul Brasil dan Kanada.

“Ini mereka sudah mulai terkena siklus seperti itu pada akhir 2021 dan pertengahan 2022. Pertanyaannya apakah Indonesia akan terkena pada 2023?" ujar Sri Mulyani.

Sejauh ini, berdasarkan Climate Outlook 2023 yang dipaparkan pada Senin (17/10/2022) lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai aktivitas El Nino Southern Oscillation (ENSO) akan berada pada fase netral sepanjang tahun 2023.

Namun, National Oceanic & Atmospheric Adminisration (NOAA) memperkirakan ada peluang la Nina dan El Nino terjadi berbarengan di penghujung tahun ini dan tahun depan. Artinya, cuaca akan sangat ekstrim.

Di tengah situasi demikian, masyarakat dan kaum medioker bisa melakukan beberapa langkah taktis untuk mengantisipasi risiko krisis pangan tersebut.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono