Menuju konten utama

Tak Cuma Senyum, Soeharto Juga Bisa Marah

Di balik pembawaannya yang tenang, kalem, dan murah senyum, Soeharto ternyata bisa juga meledak saat kemarahannya memuncak. Satu hal yang pasti membuat Soeharto marah: jika bisnis keluarganya diusik.

Tak Cuma Senyum, Soeharto Juga Bisa Marah
Soeharto. FOTO/LIFE

tirto.id - Tanggal 13 Juni 1967, Soeharto menemui sejumlah aktivis mahasiswa, salah satunya Adnan Buyung Nasution. Kala itu, ia belum menjadi presiden, melainkan Ketua Presidium Kabinet Ampera, posisi pembuka menuju kursi kepresidenan yang masih diduduki Sukarno.

Kepada Soeharto yang dikawal lima petinggi militer, Buyung menyodorkan dokumen tertulis dan memintanya agar menindak tegas para anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang telah terbukti melakukan pelanggaran, termasuk korupsi.

Buyung juga berharap supaya tentara fokus kepada tugas utamanya saja, yakni di sektor militer, bukan malah melahap sektor-sektor lainnya, termasuk di ranah sipil. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ABRI sudah terlalu rakus.

Perkataan pedas itu membuat wajah Soeharto merah padam. Pria yang dikenal kalem ini sebenarnya sudah berusaha menahan diri, tetapi tak kuasa, lalu berucap dengan suara gemetar, “Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempeleng!”

Calon Penguasa Unjuk Wibawa

“Soeharto marah betul kepada saya,” kenang Adnan Buyung dalam buku Pergulatan Tiada Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto (2004: 191).

Adnan Buyung menjadi bagian dari gerakan mahasiswa yang menumbangkan Orde Lama, dan secara tidak langsung mengantarkan Soeharto ke pucuk kekuasaan. Namun, ia tetap kritis dalam mengawal suksesi rezim, dari era Sukarno ke Orde Baru, termasuk masukannya yang membuat Soeharto berang tersebut.

Setelah kejadian itu, Buyung dan kawan-kawannya memang tidak langsung diciduk. Namun, nasib buruk terus membayanginya, apalagi setelah Soeharto berkuasa. Usai peristiwa Malari 15 Januari 1974, misalnya, Buyung termasuk orang yang ditangkap aparat. Bahkan, pada 1987, Buyung sempat terusir dari tanah airnya karena ancaman Orde Baru.

Pamor Soeharto sendiri melejit setelah terjadinya tragedi Gerakan 30 September 1965. Ia tampil sebagai tokoh yang seolah-olah menjalankan peran paling krusial dalam upaya “penyelamatan negara”. Maka itu, Soeharto beberapa kali bertindak tegas atau keras untuk menunjukkan wibawanya, semisal kata-kata “tempeleng” terhadap Adnan Buyung Nasution pada 1967 itu.

Sebelumnya, Soeharto bahkan pernah memperlihatkan sikap penentangan terhadap Presiden Sukarno. Usai terjadinya G30S 1965 yang memakan korban jiwa sejumlah petinggi militer, Bung Karno memilih Mayjen Pranoto Reksosamodra sebagai pelaksana harian pimpinan TNI-AD. Keputusan ini tidak bisa diterima Soeharto.

Soeharto sudah terlanjur mengklaim dirinya mengambilalih pimpinan TNI-AD setelah Jenderal Ahmad Yani tiada. Lagipula, selama ini Soeharto memang mengemban tugas itu setiap kali Ahmad Yani selaku Menteri/Panglima AD berhalangan.

Namun, Sukarno punya pilihan lain dengan menunjuk Pranoto sebagai pengganti Ahmad Yani untuk sementara. Di Istana Bogor tanggal 2 Oktober 1965, Soeharto memprotes keputusan Sukarno dengan suara keras, bukan seperti Soeharto yang biasanya bertutur kata halus.

Melihat Soeharto mulai tersulut emosi, Bung Karno justru melunak lantaran tidak ingin memperkeruh suasana dan peran Soeharto tentunya masih dibutuhkan dalam situasi yang pelik itu. "[…] bukan maksud saya begitu. Harto tetap bertanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban," ucap Sukarno seperti dikutip dalam Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 131).

“Kalau memang demikian tugas saya, maka agar jangan menimbulkan dualisme pimpinan dalam Angkatan Darat harus ada penegasan langsung dari Bapak Presiden,” balas Soeharto.

“Bagaimana maksud kamu?” tanya Sukarno.

Dengan kepala sedikit mendongak, yang ditanya menjawab tegas. Satu-satunya cara, kata Soeharto, adalah Presiden Sukarno mengumumkan kepada rakyat bahwa mandat untuk memulihkan keamanan dan ketertiban setelah G30S diberikan kepadanya.

P. Bambang Siswoyo melalui buku Menelusuri Peran Bung Karno dalam G30S-PKI (1989) menggambarkan tegangnya suasana di Istana Bogor saat itu. “[…] semua ruangan seperti terisi oleh dinding-dinding. Udara membeku, tajam dan kaku. Angin terasa padat,” tulisnya (hlm. 66).

Apa yang kemudian terjadi? Sukarno ternyata menuruti permintaan Soeharto. Dan, pada 16 Februari 1966, Soeharto memerintahkan penangkapan terhadap Mayjen Pranoto dengan tudingan terlibat G30S.

Dampak Murka Sang Jenderal

Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006) menulis, Soeharto pada awal masa kekuasaannya pernah berkali-kali menunjukkan kegusaran, yang memperlihatkan betapa dirinya, sebagai orang yang makin berkuasa, perlahan-lahan mulai berubah (hlm. 287).

Sikap menentang yang ditunjukkan terhadap Sukarno, kata-kata penuh amarah yang dialamatkan kepada Adnan Buyung Nasution, serta sejumlah tindak represif lainnya, memang beberapa kali diperlihatkan Soeharto menjelang dan pada awal-awal kepresidenannya.

Lambat-laun, setelah pemerintahannya berjalan cukup stabil, ia kembali ke sifat aslinya: kalem, tenang, penuh perhitungan. Setiap kali ada persoalan, Soeharto jarang bereaksi langsung. Perintah dalam senyap sudah cukup untuk menghabisi lawan-lawan politiknya atau siapapun yang berpotensi mengancam kekuasaannya.

Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani pernah merasakan kemarahan Soeharto yang terlihat sunyi tapi berdampak ngeri. Suatu ketika, pada pertengahan dekade 1980-an, Benny dan Soeharto sedang main biliar berdua. Benny, yang kala itu menjabat sebagai Panglima ABRI, menyinggung bisnis anak-anak Soeharto, tentunya dengan ucapan santai.

Namun, Soeharto rupanya tak berkenan. “Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya tersebut, Pak Harto langsung berhenti main, segera masuk kamar tidur, meninggalkan saya di ruang biliar,” kenang Benny seperti dikutip Julius Pour dalam Benny, Tragedi Seorang Loyalis (2007: 343).

Benny lantas menceritakan kejadian tersebut kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo. “Wah, bapake kethoke nesu banget (bapak kelihatannya marah sekali). Jadi, (karier) saya pasti sudah selesai, hanya sampai di sini,” kata Benny, dikutip dari buku Sintong dan Prabowo karya A. Pambudi (2009: 79).

Prediksi Benny ternyata menjadi kenyataan. Ia dicopot dari jabatannya pada 27 Februari 1988. Soeharto kemudian menempatkannya di kabinet sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, barangkali agar mudah diawasi karena Soeharto memperoleh informasi bahwa Benny juga berambisi menjadi presiden.

Infografik soeharto juga bisa marah

Jangan Usik Keluarga Cendana

Soeharto adalah tipikal suami sekaligus ayah yang barangkali mendekati ideal. Ia nyaris tidak pernah berbuat macam-macam dan teramat sayang dengan istri serta anak-anaknya. Maka, jangan sekali-kali mengusik Keluarga Cendana jika tidak ingin membuat senyum ramah Pak Harto menjadi seringai penuh makna. Ya, Benny Moerdani sempat merasakannya.

Sebelum persoalan Benny yang menyinggung proyek anak-anaknya, emosi Soeharto juga pernah terpantik pada era 1970-an. Tepatnya di penghujung 1971, Siti Hartinah alias Ibu Tien, istri Soeharto, di forum pertemuan dengan para gubernur dari seluruh Indonesia meminta mereka untuk berpartisipasi dalam proyek besar: pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Tien memproyeksikan TMII sebagai replika dari seluruh provinsi yang ada di tanah air. Oleh karena itu, seluruh pemerintah daerah, juga segenap masyarakat, hendaknya turut membantu, termasuk dalam pembiayaannya. Ibu negara memperkirakan proyek TMII membutuhkan dana sekitar 10,5 miliar rupiah, dan meminta para gubernur untuk ikut mengumpulkan uang yang dibutuhkan.

Sontak, perkara ini menuai protes dari berbagai pihak, terutama kaum mahasiswa, dan disorot media ketika itu. Terlebih lagi, Soeharto berulang kali menyerukan kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. Proyek TMII tentunya kontraproduktif dengan imbauan sang presiden.

Soeharto semula bergeming dalam hening di tengah suara-suara sumbang terhadap istrinya itu. Namun, akhirnya ia tak tahan lagi. Pada 6 Januari 1972, saat menyampaikan pidato dalam acara peresmian Rumah Sakit Pertamina di Kebayoran Baru, kekesalannya terluapkan.

“Perbedaan pendapat memang merupakan bumbu demokrasi,” ucap Soeharto dengan nada vokalnya yang khas, kalem namun dalam, seperti dikutip dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter yang disusun Rum Aly dan ‎Hatta Albanik (2004: 175).

“Tetapi harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan, khususnya, dalam menghadapi proyek miniatur Indonesia (TMII),” lanjutnya.

Dalam bukunya itu, Rumy Aly dan Hatta Albanik menuliskan bahwa Soeharto tampak berkeringat saat mengucapkan kata-kata tersebut. Barangkali menahan amarah agar tidak sepenuhnya meledak.

Jauh berpuluh tahun kemudian, murka Soeharto kembali tersulut karena keluarganya diusik. Kali ini pelakunya adalah Amien Rais, tokoh Muhammadiyah yang memang senang membuat Soeharto panas.

Greg Barton dalam buku Biografi Gus Dur (2003) mengungkapkan, pada awal 1997, Amien Rais mengatakan bahwa 90 persen keuntungan pertambangan Freeport di Irian Jaya (Papua) dibawa ke luar negeri, sedangkan sebagian besar dari 10 persen sisanya jatuh kepada satu keluarga saja (hlm. 297).

Amien memang tidak menyebut Keluarga Cendana, namun Soeharto paham betul bahwa dirinya sedang diserang. Ia pun murka, kemudian memarahi B.J. Habibie, Menteri Negara Riset dan Teknologi sekaligus Ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Amien adalah anggota ICMI.

Kepada Habibie, Suharto berkata dengan nada geram, “Amien membuat pernyataan subversif dan ia lebih berbahaya daripada Gus Dur!”

Nyali Amien, seperti yang ditulis Barton dalam bukunya, ternyata ciut setelah mendengar kata-kata Soeharto yang disampaikan Habibie. Amien pun keluar dari ICMI.

Beruntung, Soeharto tidak sempat menggasak Amien karena situasi pelik saat itu. Kekuasaannya sebagai presiden sedang di ujung tanduk dan akhirnya tumbang pada Mei 1998. Soeharto menyatakan lengser keprabon, turun dari kursi kepresidenan yang telah diduduki sekian lama. The Smiling General berparas ramah ini rupanya sudah terlalu lelah untuk marah.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan