Menuju konten utama

Tak Bisa Makan Enak Tanpa Vetsin

Bagi sebagian orang, makanan tanpa vetsin rasanya hambar. Bagi sebagian lagi, vetsin bisa membuat pusing dan mual. Bagaimana sebenarnya vetsin? Benarkah vetsin berbahaya?

Tak Bisa Makan Enak Tanpa Vetsin
Vetsin [foto/shutterstock]

tirto.id - Warung makan “Di Warteg” yang berlokasi di bilangan Kemang Timur ini bisa dibilang warteg gaya baru. Ruangannya berpendingin, harganya juga relatif lebih mahal. Meski tak mewah, ruangannya didesain dengan perencanaan. Ada artwork pada dindingnya. Tak lupa, tertera keterangan pula di sana: “Semua Makanan di Sini Non-MSG.”

Menurut Kokom, penjaga “Di Warteg”, bosnya sengaja membuat kantin yang lebih baik dari standar warteg pada umumnya: adem, bersih, dan tak pakai vetsin. Mengapa tak mau pakai vetsin?

“Biar sehat dong. Lagian ini aslinya kantin kantor, dan pegawainya kebanyakan nggak mau makanan yang ada vetsinnya,” jelas Kokom sambil menunjuk gedung kantor di sebelah warung.

Benarkah makanan tak bervetsin sehat, dan sebaliknya, yang bervetsin tak sehat? Kenyataannya tak sesederhana itu.

Vetsin sebagai Inti Kelezatan

Vetsin selama ini sudah dianggap keumuman dalam produksi makanan di Indonesia. Tak salah jika Kokom bilang wartegnya ingin menampik citra makanan warung selalu bervetsin. Kenyataannya memang banyak pebisnis makanan memakai vetsin. Warung tegal, nasi goreng kakilima, pecel lele, sampai restoran mahal. Sambal saja diberi tambahan vetsin.

“Kalau nggak pakai micin nggak enak, Mbak!” kata Muhdi, penjual pecel lele di daerah Rawasari.

Enak, itulah kuncinya. Saat tercipta pertama kali pada 1908, ahli kimia Ikeda Kikunae memang sedang mencari bentuk massal dan pabrikan dari kombu dashi, penyedap makanan Jepang yang dibuat dari kelp, rumput laut berukuran lebar. Terciptalah kristal yang molekulnya bernama monosodium glutamate (MSG) alias mononatrium glutamat.

Menurut penelitian Jordan Sand, tahun berikutnya MSG diproduksi dengan nama Ajinomoto. Artinya: inti kelezatan. Ini cocok dengan rasa umami yang melekat pada kombu dashi yang artinya rasa lezat. Di Indonesia, umami kira-kira dapat diartikan “gurih”. Rasa umami ini kini dianggap sebagai rasa kelima, setelah manis, asam, asin, dan pahit.

Di Jepang, MSG populer di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Mereka memasak dengan tambahan kristal ajaib ini. Makanan pun menjadi enak dengan praktis dan murah.

Tak perlu menunggu lama, MSG pun tiba di Taiwan dan Cina. Tapi di daerah-daerah ini, MSG justru populer bukan di rumah-rumah. Ia lebih banyak digunakan di warung-warung dan restoran-restoran. Lalu, MSG menyebar mengikuti diaspora Cina, misalnya Hong Kong, Singapura, juga Pantai Barat Amerika Serikat.

Akhirnya, pada 1947, diproduksilah vetsin yang mirip Ajinomoto itu di Amerika Serikat. Pada 1950an, snack sampai makanan bayi di AS sudah banyak yang mengandung si kristal ajaib. Restoran Cina juga tambah populer. Dari sinilah bermula sebutan “Chinese Restaurant Syndrome” (CRS), yakni gejala-gejala yang muncul setelah makan makanan Cina: pusing, mual, berkeringat, dst.

Vetsin jadi tertuduhnya. Restoran-restoran Cina disebut memasukkan vetsin dalam jumlah yang terlalu banyak sehingga gejala-gejala itu muncul.

Tapi, istilah CRS juga tak mencuat begitu saja. Pada 1960-an, kepercayaan masyarakat pada industri makanan berkurang. Di Amerika Serikat orang-orang sedang mewaspadai zat kimia buatan pada makanan. Apalagi waktu itu juga ada penelitian yang menunjukkan pemanis buatan sakarin punya efek karsinogenik, yang bisa menyebabkan kanker. Maka, pada 1969, muncul juga anjuran agar makanan bayi terbebas dari MSG.

Tapi benarkah MSG berbahaya?

Berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan mengejutkan: tak ada hubungan antara gejala-gejala Chinese Restaurant Syndrome dengan MSG. Artinya, vetsin alias micin yang sering Anda telan dari makanan rumahan maupun kakilima itu aman-aman saja dikonsumsi. Badan makanan dan obat di Amerika, FDA, juga mengkategorikannya sebagai “generally recognized as safe” (GRAS) alias: secara umum diakui sebagai zat yang aman.

Efek Nocebo

Lalu apa masalahnya? Mengapa orang bisa pusing-pusing jika kebanyakan makan vetsin? Salah satu penjelasannya, menurut Anna Maria Barry-Jester dari fivethirtyeight.com adalah “efek nocebo.”

Efek nocebo: Jika Anda mempercayai sesuatu dapat menimbulkan hal buruk, maka hal buruk itu benar-benar terjadi.

Brendan Nyhan, seorang profesor dari Dartmouth yang meneliti bagaimana memengaruhi perilaku atas vaksin, memberi tahu Barry-Jester soal perilaku dalam urusan kesehatan ini umum terjadi. Katanya, sulit membuat orang mengubah cara fikirnya tentang masalah kesehatan pribadi, sebab itu berlawanan dengan yang mereka alami di masa lalu.

“Orang yang merasa tak enak setelah makan makanan Cina di masa lalunya kemungkinan menyalahkan MSG ... lalu menampik informasi yang mereka temui kemudian tentang hal yang sebenarnya,” demikian penuturan Nyhan seperti dikutip fivethirtyeight.com.

Di Indonesia, gelombang antipati terhadap vetsin memang sedang marak-maraknya. Tapi masyarakat juga mendua. Kita bisa makan secara “bersih” di rumah, tapi amat menikmati makan makanan kakilima yang rata-rata menjadikan MSG sebagai salah satu bahannya.

Contohnya Dina. Penggemar nasi goreng kakilima di jalanan Sabang, Jakarta, ini misalnya pernah bilang: “Bikin nasgor sendiri mana bisa enak begini!”

Tentu saja. Mungkin kamu lupa membubuhkan vetsin, Din.

Baca juga artikel terkait VETSIN atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti