Menuju konten utama

Tak Ada yang Lestari: Reformasi Besar ala KAI

“Biasanya kereta terlambat. Dua jam mungkin biasa.”

Tak Ada yang Lestari: Reformasi Besar ala KAI
Ilustrasi Bakti Pelayanan Kereta Api. FOTO/PT Kereta Api Indonesia

tirto.id - Adalah nasib kereta api Indonesia untuk diabadikan lewat olokan, baik lewat lagu maupun tulisan. Salah satu yang paling masyhur, bahkan meski sudah lewat berpuluh tahun, yakni nyanyian Iwan Fals “Kereta Tiba Pukul Berapa”.

Sang narator, anggap saja Iwan sendiri, menggebu-gebu mau menjemput sahabat karibnya di stasiun kereta, pukul satu siang. Saking semangatnya, dan karena telat, dia menerobos lampu lalu lintas. Sial, ada Polantas! Meski tak ada tilang siang itu, beberapa rupiah toh akhirnya pindah kantong juga.

Iwan tiba di stasiun kereta pukul setengah dua. Telat setengah jam dari jadwal. Meski demikian, stasiun masih sepi. Tak ada tanda-tanda kereta datang. Iwan duduk, pergi ke loket dan bertanya pada penjaga.

“Kereta tiba pukul berapa?”

“Biasanya kereta terlambat. Dua jam mungkin biasa,” balas si penjaga.

Ada lagi sindiran halus yang ditulis kolumnis legendaris Mahbub Djunaidi. Lewat esai “Kecuali” yang dimuat di Kompas, 30 November 1986, Mahbub mengisahkan seorang perempuan bernama Sri Lestari. Namun, tulis Mahbub, nama itu tidak mencerminkan kebiasaannya. Pacar Sri tidak lestari alias ganti-ganti, begitu pula kesukaannya terhadap binatang peliharan. Bulan ini dia suka kucing, bulan lain suka burung kutilang, lain bulan dia malah gemar ikan.

“Akibat nama Sri Lestari yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan sifat lestari itu, saya pun mulai bimbang. Apa betul ada sesuatu yang bisa lestari di atas dunia ini?” tanya Mahbub kemudian.

Seorang teman lantas menjawabnya.

“Ada juga yang punya sifat lestari itu.”

“Misalnya?”

“Misalnya makanan di dalam restoran kereta api.”

Mahbub kemudian menunjukkan kelasnya sebagai kolumnis kelas wahid, yang lihai memindah haluan, dari topik tulisan tentang seorang gadis manis menjadi kritik halus buat pemerintah, dalam hal ini: pengelola kereta api. Menurut Mahbub, karena hanya ada satu jawatan kereta api, suka tidak suka penduduk menurut saja.

“Bersih atau kotor, kita mesti telan dengan pasrah. Bahkan terlambat atau tak kebagian tempat duduk pun, kita mesti tersenyum saja,” tulis Mahbub.

Lalu kembali Mahbub menanyakan perkara makanan di restoran kereta api yang, kata kawannya, punya rasa lestari alias tak berubah-ubah. Si kawan bilang: jenis maupun rasa masakan di restorasi kereta api itu tidak pernah berubah.

“Lihat saja nasi gorengnya. Apa yang dimakan nenekmu dulu persis sama dengan rasa nasi goreng yang kamu makan sekarang ini. Tidak meleset barang sedikit pun. Ada gundukan nasi, ada sepotong kerupuk dibungkus plastik, ada acar ketimun, dan ada sebutir cabe rawit, ada telur mata sapi, dan ada sesendok kecil saus tomat,” kata temannya.

Dan rasanya, tanya Mahbub lagi. Netral, jawab si kawan. Alias tidak ada rasanya. Mahbub sebenarnya setuju dengan penjelasan si kawan. Namun sebetulnya dia ingin mendebat. Mungkin bagi Mahbub, nasi goreng di restorasi ada rasanya, walau ya begitu-begitu saja.

“Agar persahabatan saya tidak rusak, saya akur saja,” pungkas Mahbub di akhir tulisannya.

Pada 1986, tentu saja Mahbub tidak mengira bahwa sifat-sifat buruk kereta api —terlambat, tak kebagian tempat duduk, kotor, juga rasa nasi gorengnya yang netral— ternyata tidak juga bersifat lestari. Kelak, sejak 2009, empat belas tahun usai Mahbub meninggal pada 1995, PT Kereta Api Indonesia (Persero) mengawali reformasi besar-besaran, dan tentu saja mengubah banyak hal.

Perubahan Mencengangkan

KAI mengawali reformasinya dengan banyak penolakan. Para pedagang berdemo karena dilarang berjualan di dalam kereta. Para perokok pusing karena tak bisa mengisap dan mengembuskan asap di dalam gerbong. Sementara penumpang yang biasa naik kereta tanpa beli tiket, gelagapan karena mereka tak lagi kuasa melakukan kebiasaan itu.

Kunci reformasi KAI bisa dibilang ada pada teknologi informasi. Mereka memanfaatkan betul kecanggihan teknologi. Tiket bisa dibeli jauh-jauh hari via situs maupun aplikasi. KAI pun memaksimalkan KAI Access. Selama dua tahun, sejak Juli 2017 hingga Agustus 2019, sudah ada lebih dari 3 juta pengguna yang terdaftar di KAI Access.

KAI Access juga berhasil mempermudah cara orang membeli tiket kereta. Terbukti, market share pembelian via KAI Access mencapai 17,59 persen, berada sedikit di bawah pembelian via stasiun. Peringkat pertama masih dipegang oleh perusahaan yang menjadi partner penjualan resmi. Dengan pertumbuhan pengguna yang makin pesat, dan teknologi yang kian merata, bukan tidak mungkin pembelian tiket kereta via KAI Access akan melampaui pembelian via stasiun.

Yang juga terlihat jelas bukan hanya pembenahan di sektor pembelian tiket, melainkan juga penambahan dan perbaikan sarana. Kereta-kereta baru terus didatangkan, menggantikan para senior yang harus gantung mesin. Pada 2018 saja, sudah ada 438 kereta baru produksi PT Industri Kereta Api (INKA). Selain penambahan kereta baru, KAI juga menghadirkan seri kereta mewah yang menghadirkan kenyamanan lebih. Salah satunya: Argo Bromo Anggrek Luxury yang menempuh jurusan Gambir-Surabaya Pasar Turi PP.

“Rata-rata okupansi kereta ini mencapai 108 persen. Melihat okupansi tinggi itu, KAI akan kembali mengadakan kereta luxury untuk melayani lebih banyak penumpang,” tutur Direktur Utama KAI, Edi Sukmoro.

Infografik Advertorial KAI 3

Infografik Advertorial Mengapa Kereta Api Kian Digemari. tirto.id/Mojo

Melampaui Reformasi Sarana dan Prasarana

Sejatinya, apa yang tengah dilakukan KAI kini sudah melampaui reformasi di bidang sarana dan prasarana. Yang tengah mereka lakukan kini adalah upaya untuk menjadikan kereta api lebih dari sekadar kereta penumpang, dan lebih dari sekadar bisnis.

Salah satunya adalah upaya untuk mengubah pola pikir banyak orang Indonesia yang sudah terlalu nyaman dengan kendaraan pribadi. KAI pelan-pelan membangun konektivitas antarmoda transportasi. Tujuannya, tak lain tak bukan, untuk mewujudkan kemudahan dan kenyamanan dalam menggunakan transportasi publik dan pelan-pelan meninggalkan kendaraan pribadi.

Salah satu contohnya adalah, LRT Sumatera Selatan yang terintegrasi dengan Trans Musi dan Damri, atau Stasiun Batu Ceper yang terkoneksi dengan KRL dan KA Bandara Soetta. Yang terbaru: ada KA Bandara Internasional Yogyakarta, dan stasiun Manggarai yang per 5 Oktober 2019 sudah menjadi stasiun keberangkatan bagi kereta bandara.

Selain itu, salah satu pengaruh paling penting yang pelan-pelan dijelajahi KAI adalah perkara angkutan barang. Untuk pengangkutan barang, mode kereta api memang punya banyak keunggulan. Mereka tidak terpengaruh oleh kemacetan, misalnya. Selain itu, kereta juga lebih cepat. Dan yang tak bisa diabaikan: kereta bisa lebih sangkil dan mangkus dalam membawa barang dalam jumlah banyak.

Di sektor angkutan barang, pada 2018 KAI sudah mengakut 45,2 juta ton barang. Ini meningkat sekitar 13 persen dari tahun sebelumnya. Untuk tahun ini, pada semester I, KAI sudah mengangkut 22,4 juta ton. Dan tentu saja jumlah ini akan terus bertambah hingga akhir 2019 nanti.

Selain itu, KAI juga menyadari bahwa akses transportasi umum yang mudah dijangkau akan memberi dampak besar bagi pariwisata sebuah daerah. Ini kenapa KAI sekarang sedang melakukan reaktivasi jalur-jalur kereta api di Jawa Barat. Jika banyak orang memakai kereta api untuk berwisata ke Jawa Barat, sudah pasti hal ini kan memecah titik-titik kemacetan. Salah satu rute yang jadi fokus reaktivasi adalah jalur Cibatu-Garut sepanjang 47,5 kilometer.

“Untuk tahap pertama, jalur Cibatu-Garut ini ditargetkan selesai pada 2019,” ujar Direktur Utama KAI, Edi Sukmoro.

Selain itu, KAI juga banyak melakukan perbaikan akses kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar rel kereta api atau stasiun. Dengan Kereta Kesehatan, atau Rail Clinic, KAI sudah empat tahun memberikan layanan kesehatan tingkat pertama yang bisa diakses gratis. Sepanjang 2018, Rail Clinic sudah melayani 21.196 pasien. Dan dari Januari hingga Agustus 2019, Rail Clinic sudah melayani 15.443 pasien.

Tak hanya bagi warga kurang mampu yang tinggal di sekitar stasiun dan rel, KAI juga terus meningkatkan akses kesehatan bagi para pegawainya. KAI punya Klinik Mediska, dan kini sedang mengadakan studi kelayakan serta persiapan dasar untuk mendirikan rumah sakit. Untuk saat ini, per 31 Agustus 2019, sudah ada 54 Klinik Mediska yang melayani pegawai KAI dan masyarakat umum.

Maka sebetulnya, apa yang dikatakan oleh Mahbub benar belaka. Yang selamanya lestari hanyalah perubahan, lain tidak. Kereta api adalah contoh terbesarnya. Semua keburukan di masa lalu itu tak lagi abadi, sudah jadi artefak masa lalu yang baru akan digali dan dikenang ketika kita ingin mengingat sekaligus merayakan betapa jauh dan besar perubahan yang sudah ditempuh kereta api di Indonesia.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis