Menuju konten utama

Tak Ada yang Baru dari Janji Swasembada Pangan & Energi ala Prabowo

Konsep swasembada yang ditawarkan Prabowo dinilai tidak ada yang baru, bahkan sudah dipraktikkan di era Jokowi.

Tak Ada yang Baru dari Janji Swasembada Pangan & Energi ala Prabowo
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyapa pendukungnya saat berkunjung ke kawasan wisata religi Makam dan Masjid Sunan Ampel di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/11/2018). ANTARA FOTO/Moch Asim/hp.

tirto.id - Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 02 berusaha memanfaatkan kelemahan petahana, khususnya terkait kebijakan impor yang kerap menjadi sorotan. Saat acara Deklarasi Komando Ulama Pemenangan Prabowo-Sandi (Koppasandi) di Jakarta, Ahad (4/11), Prabowo berjanji bila dirinya terpilih akan menyetop impor pangan dan energi.

Menurut juru bicara tim kampanye Prabowo-Sandi, Faldo Maldini, janji Prabowo soal impor dan kemauan swasembada bukan sebatas jargon. Menurut dia, ini kritik terhadap kebijakan pemerintah Jokowi yang dianggap abai terhadap kemampuan produksi dalam negeri.

Politikus PAN ini menyitir data BPS soal kontribusi sektor pertanian di triwulan III 2017-2018 yang turun 0,42 persen dari 13.95 persen menjadi 13.53 persen.

"Ini realita yang kita hadapi, ini risiko dari kebijakan yang tidak pro terhadap tata kelola produksi," kata Faldo kepada reporter Tirto, Selasa (6/11/2018).

Dalam beberapa hal, konsep swasembada pangan yang ditawarkan Prabowo-Sandi tak berbeda jauh dengan yang dilakukan Jokowi. Salah satunya, membuka lahan sawah dan menekan laju konversi lahan produktif untuk kepentingan non-pertanian.

Namun demikian, kata Faldo, langkah ini bakal didukung berbagai insentif serta peningkatan inovasi teknologi pertanian. Dengan begitu, Faldo yakin pemerintah bisa mendorong para ahli untuk terjun langsung ke sektor pertanian.

"Bagaimana kita mau meminta lebih banyak orang kerja di pertanian, kalau benefit-nya tidak seberapa. Inovasi pertanian ini jadi kuncinya," kata Faldo.

Untuk mencapai itu semua, Faldo menilai penguatan data menjadi persoalan fundamental. Menurut dia, ini lantaran banyak kesalahan dalam pengambilan kebijakan disebabkan data yang tidak memadai.

"Kalau perlu, BPS didorong jadi lembaga setingkat menteri, minimal anggarannya ditambah jauh lebih besar," kata Faldo.

Bekas Ketua BEM UI ini juga mengkritik kebijakan Jokowi yang melibatkan TNI dalam peningkatan produktivitas sawah. Ia menilai, peran TNI sebagai penyuluh sekaligus tambahan tenaga bagi petani kurang efektif. Seharusnya, kata dia, ahli yang dilibatkan untuk melihat karakteristik sawah yang akan digenjot produktivitasnya.

"TNI tentu akan senang hati membantu persoalan masyarakat, tapi penyuluhan pertanian ini bisa menggunakan peran universitas," kata Faldo.

Sementara untuk mendorong swasembada energi, kata Faldo, pasangan Prabowo-Sandi memiliki empat solusi. Pertama, pembaruan infrastruktur pertambangan; kedua, aktivasi blok-blok migas baru; ketiga, meningkatkan mutu research and development (RnD); terakhir, meningkatkan kualitas SDM pertambangan.

Tak Ada yang Baru

Namun demikian, anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Khudori menilai program yang ditawarkan Prabowo-Sandi seperti yang dipaparkan Faldo, sebagian besar sudah dijalankan Jokowi meski tak efektif.

Khudori menyarankan kubu Prabowo-Sandi mampu menjelaskan tawaran program mereka dengan lebih detail dan konkret. Misalnya terkait insentif bidang pertanian. Khudori menyebut hal serupa pernah dilakukan pemerintah Jokowi-JK untuk menahan laju penyusutan lahan sawah.

Tak hanya itu, penulis buku Ironi Negeri Beras ini menilai, Prabowo-Sandi harus mulai mengeksplorasi cara yang belum dijalankan Jokowi dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Salah satunya dengan mengembangkan komoditas pengganti dari bahan pangan yang selama ini didapat dari impor.

Ia mencontohkan tepung terigu yang selama ini diimpor dan dapat diganti dengan tepung mocaf yang berbahan baku ubi kayu. Ini bisa dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor gandum.

Infografik CI Janji Kontroversial Prabowo-Sandiaga

Hal yang sama juga berlaku dalam janji swasembada energi. Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai formula yang digunakan tim pemenangan Prabowo-Sandi sebenarnya sudah dilakukan di era Jokowi.

Fabby mencontohkan aktivasi blok migas baru. Ini sudah lama dilakukan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan belum mampu mendorong pertumbuhan produksi migas lantaran sepinya investor yang berminat mengeksplorasi.

Sepanjang 2018, kata Fabby, pemerintah sudah tiga kali melelang blok migas konvensional. Faktanya, kata Fabby, baru enam blok yang laku meski sudah melalui tiga tahap.

"Itu artinya memang industri ini mengalami flat, atau memang sunset, tidak naik dan tidak turun," kata Fabby. "Kalau kita lihat memang sekarang produksi minyak global itu kan flat, produksi minyak itu kan 92 juta barel per hari rata-rata."

Tiga solusi lain yang disebut Faldo, juga dinilai tak terlalu signifikan. Fabby menyebut, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menambah produksi ujung-ujungnya adalah mengeksplorasi blok-blok baru.

"Yang disampaikan tim Prabowo Sandiaga itu sebenarnya formula anak SD, lah. Karena persoalannya jauh lebih kompleks dan seharusnya mereka punya resep atau formula yang lebih baik," ujarnya saat dihubungi reporter Tirto.

Menurut Fabby, kubu Prabowo-Sandi seharusnya menawarkan alternatif yang lebih visioner daripada memainkan jargon swasembada energi secara serampangan. Misalnya, untuk mendorong penggunaan dan produksi energi terbarukan.

"Harusnya kita mulai keluar dari ketergantungan terhadap migas. Dunia kan bergerak ke arah dekarbonisasi, mengurangi fosil field. Masa bicaranya masih karbonisasi. Agak visioner, dong,” kata Fabby.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih