Menuju konten utama

Tak ada Sukacita Ramadan di Somalia

Kemarau panjang, peperangan regional, dan terorisme melahirkan salah satu krisis pangan terparah abad 21 bagi rakyat Somalia.

Tak ada Sukacita Ramadan di Somalia
Seorang wanita yang mengungsi dari kekeringan di wilayahnya mengangkat tangan setelah mengeluhkan kekurangan bahan makanan di penampungan sementara di Dollow, Somalia, Selasa (4/4). ANTARA FOTO/REUTERS/ Zohra Bensemra/djo/17

tirto.id - Sekelompok muda-mudi jadi perbincangan di antara warga Mogadishu sejak awal Ramadan 2017. Tak banyak yang mengenali nama-nama mereka termasuk nama dan latar belakang organisasinya. Namun, mereka dikenal berkat aktivitas membagi-bagikan air mineral, kurma, dan Samosa (pastel goreng isi kentang rebus) di jalanan ibukota Somalia kepada orang-orang yang lewat menjelang waktu berbuka.

“Pertama kalinya aku melihat pemandangan seperti ini di Mogadishu. Benar-benar menunjukkan semangat asli dari Ramadan. Semoga Allah memberkati mereka semua,” ungkap Ali Roble, warga Mogadishu, kepada Radio Dalsan.

Sebagian besar penduduk Somalia memperlakukan puasa Ramadan beberapa tahun belakangan sebagai sesuatu yang tidak lagi istimewa. Kemarau panjang sejak empat tahun terakhir berdampak pada krisis pangan. Ini salah satu bencana kelaparan terparah. Atau, dalam catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO), merupakan peristiwa ketiga dalam 25 tahun terakhir.

Dalam catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terbaru, sekitar 615.000 warga Somalia meninggalkan rumahnya hanya untuk mencari wilayah bermukim yang dekat sumber makanan. Pada awal Februari 2017, seorang pejabat senior bantuan PBB menyatakan ada 6,2 juta orang di Somalia, atau separuh populasi negara itu, tengah menghadapi kondisi rawan pangan yang akut.

Baca:

Menurut Jaringan Sistem Peringatan Dini Kelaparan (FEWSNET) dan Unit Analisis Gizi dan Keamanan Pangan (FSNAU), yang dikelola Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO), jumlah warga Somalia yang memerlukan bantuan telah naik menjadi lima juta sejak September 2016 hingga awal tahun ini. Statunya bukan lagi “krisis”, demikian menurut laporan tersebut, melainkan tahap “darurat”.

Dampak terbesarnya adalah malanutrisi bagi anak-anak. Jumlahnya hingga 363.000 anak. Dan ada sekitar 71.000 anak menderita gizi buruk parah yang harus segera ditolong demi menyelamatkan nyawa mereka.

Laporan UNICEF pada awal Mei lalu bahkan menyebutkan bahwa 1,4 juta anak di Somalia diperkirakan menderita gizi buruk akut tahun ini atau naik 50 persen dibanding tahun lalu. Jumlah ini mencakup lebih dari 275.000 anak yang telah atau akan menderita malagizi akut yang dapat mengancam jiwa.

Sejak bencana kekeringan dan kelaparan besar tahun 2011, PBB telah menetapkan Somalia sebagai negara yang terancam risiko kelaparan ekstrem bersama Nigeria, Sudan Selatan, dan Yaman.

PBB memiliki istilah untuk menyebut kelaparan ekstrem sebagai famine, sebagaimana terjadi di Somalia, yang menjelaskan 20 persen rumah tangga gagal mengatasi kekurangan pangan, 30 persen mengalami malanutrisi akut, dan jumlah korban tewas melebihi dua orang per hari per 10.000 penduduk.

Tetap Puasa Meski Tak Ada Menu Berbuka

Sementara sebagian warga muslim di seluruh dunia merayakan puasa Ramadan dengan sukacita, seperti Indonesia, warga muslim di negara-negara yang dilanda perang dan kelaparan harus menjalani puasa dengan kondisi hidup yang sangat terbatas.

Bagaimanapun, aksi bagi-bagi takjil di Mogadishu, kota terbesar di Somalia, melahirkan secercah optimisme: meski krisis pangan, setidaknya Ramadan kali ini diramaikan gerakan positif atas dasar kebersamaan dan kemanusiaan.

Itu pemandangan berbeda dari tahun 2011, misalnya, ketika rakyat Somalia juga menghadapi kekeringan terparah sepanjang abad 21.

Mohamed Dubow Saman, 25 tahun, adalah salah satu warga yang terpaksa meninggalkan kampung demi mencari sesuap nasi. Ia kini tinggal di perbatasan antara Somalia dan Kenya, di sebuah perkemahan darurat bernama Dadaab. Sembari menenangkan anaknya, enam tahun silam, ia bercerita tentang keputusannya untuk tetap berpuasa Ramadan sebab, bagaimanapun, ia sudah terbiasa menahan lapar.

“Sebab kami sedang dilanda kelaparan, toh kami juga telah melewati beberapa hari belakangan tanpa makanan. Itu kami anggap puasa tanpa pahala. Setidaknya puasa kali ini terinspirasi dan kami tujukan untuk Tuhan,” katanya kepada Reuters.

Organisasi internasional mendirikan permukiman pengungsi darurat di Somalia maupun di negara-negara tetangga. Mereka menyediakan suplai pangan. Untuk Ramadan tahun ini, bantuan pangan itu masih mengalir. Salah satunya berupa 15 ribu ton bahan makanan dari Bulan Sabit Merah Turki yang dikirim lewat 1.000 truk dan sejumlah kapal. Dalam laporan Anadolu Agency, 25 Mei lalu, bantuan melalui 11 kapal plus dua tambahan kapal lain dari pemerintah Yaman telah terkirim ke Somalia.

Meski bantuan dari negara dan lembaga internasional rutin mengalir, jumlahnya tetap belum mencukupi.

Abdurrahman Malim Abdi adalah pengungsi Somalia yang tinggal di Dadaab. Ia berkata ransum makanan sebagai jatah untuk keluarganya selama dua minggu tidak mencukupi, bahkan sekalipun mereka berpuasa. Ia tengah membersihkan sisa makanan dari tepung terigu dan air mineral untuk tambahan pangan bagi 10 anaknya. Daging, nasi, dan kurma—menu yang mereka nikmati di tahun-tahun sebelumnya—harus ia singkirkan dari impiannya.

Iman Faduma Aden, di lokasi yang sama, berkata kepada NBC News bahwa ia tetap berpuasa sebab takut melanggar perintah Tuhan, betapapun tak ada makanan yang cukup untuk berbuka. Ibu tiga anak ini mengalami kelaparan akut enam tahun lalu, sebagaimana banyak warga Somalia lain.

Mohamed Mohamud Abdulle berkata malu sebab ia tak punya makanan untuk sekadar menghibur hati saat berbuka.

“Bagaimana aku bisa berbuka jika tak punya makanan?” ujarnya. “Seluruh anggota keluargaku kelaparan dan aku tak punya apa pun untuk mereka makan. Lapar adalah alasan terkuat yang membuat penduduk Somalia sepertiku meninggalkan kampung halaman.”

infografik kemarau somalia

Teror dari Kelompok Bersenjata

Tak hanya menghadapi krisis pangan. Direktur Regional WHO untuk Bagian Timur Laut Tengah, Mahmoud Fikri, mengatakan pada Februari lalu bahwa hampir 5,5 juta orang Somalia terancam penularan penyakit lewat air. Lebih separuhnya adalah perempuan dan balita.

Fikri mengatakan, kurang dari setengah penduduk Somalia memiliki akses layanan kesehatan dasar. Meski WHO berupaya menyediakan semua dukungan, warga Somalia masih butuh lebih banyak dana bantuan agar mereka bisa terus menyambung nyawa.

Warga Somalia pun masih harus menghadapi teror dari Al Shabaab—artinya "Kaum Muda"—sebuah kelompok jihadis Salafi yang berafiliasi dengan organisasi Islamis militan al-Qaeda, yang menguasai sejumlah kawasan perdesaan Afrika Timur. Kelompok ini terlibat dalam perang sipil Somalia, pemberontakan al-Qaeda di Yaman, perang sipil di Yaman, dan terorisme global.

Serangan-serangan teror Al Shabaab mengusik ketenangan warga Somalia menjalankan ibadah selama Ramadan. Pada 4 Juni kemarin, sebuah bom meledak di sebuah kantor polisi di Kismayu, sebuah kota di Somalia, yang menewaskan setidaknya satu orang. Al Shabaab mengklaim di balik serangan tersebut.

Kismayu, kota turisme Somalia, menjadi sumber utama pendanaan Al Shabaab. Al Shabaab kehilangan kontrol atas Kismayu pada 2012. Pasukan Uni Afrika pelan-pelan mengontrol kembali wilayah kekuasaan Al Shabaab di wilayah selatan dan tengah Somalia sejak 2011 sesudah berhasil mengendalikan ibukota Mogadishu.

Kejadian ini belum sepenuhnya melumpuhkan teror Al Shahaab. Serangan senjata dan bom masih berseliweran. Sementara, di sisi lain, mayoritas rakyat Somalia masih harus menanggung krisis pangan akut yang panjang, yang butuh perhatian internasional dan simpati global.

Baca juga artikel terkait SOMALIA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Humaniora
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Fahri Salam