Menuju konten utama

Tahun Baru Disambut Kenaikan Harga: Dari Rokok Hingga BPJS

Kenaikan harga-harga di tahun 2020 bisa membuat daya beli masyarakat makin tertekan dan kontradiktif dengan tujuan pemerintah mendorong konsumsi domestik.

Tahun Baru Disambut Kenaikan Harga: Dari Rokok Hingga BPJS
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato usai menerima penghargaan Indonesian Mining Association (IMA) Award 2019 di Jakarta, Rabu (20/11/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Tahun 2020 nampaknya bukan tahun yang ramah untuk kantong. Pasalnya, awal tahun ini masyarakat disambut dengan kenaikan harga barang konsumsi serta hingga tarif transportasi. Yang paling santer, dan banyak dikeluhkan publik sejak penghujung tahun lalu, adalah kenaikan harga rokok sebesar 35 persen.

Di beberapa daerah, bahkan kenaikan harga eceran rokok sudah dimulai sejak bulan lalu—kendati penyesuaian tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) terendah empat jenis rokok baru berlaku per hari ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kenaikan bertahap terjadi di 50 kota di Indonesia sepanjang November 2019. Imbasnya, terjadi inflasi pada kelompok pengeluaran makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,25 persen dengan andil 0,04 persen terhadap inflasi secara keseluruhan.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, rokok kretek dan rokok kretek filter jadi komoditas yang paling dominan menyumbang inflasi yakni masing-masing sebesar 0,01 persen.

"Pedagang di bawah mengantisipasi rencana kenaikan rokok pada bulan Januari. Jadi sudah mulai naik pelan-pelan selama beberapa bulan terakhir," jelas Suharyanto dalam konferensi pers di kantornya, 2 Desember 2019 lalu.

Di samping rokok konvensional, pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga bakal menaikkan harga jual rokok elektrik atau vaporizer (vape). Dasar kebijakan tersebut, kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi, adalah klasifikasi vape sebagai produk tembakau dengan versi lain.

BPJS, Transportasi & Logistik

Tak hanya rokok dan vape, pemerintah juga memutuskan untuk mengerek iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

Kenaikkan iuran yang mencapai dua kali lipat itu terjadi hampir di seluruh segmen kepesertaan di luar penerima bantuan iuran dari pemerintah (PBI) dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2019.

Dalam ketentuan Pasal 34 Peraturan Presiden nomor 75/2019, diatur bahwa iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Kelas 3 akan meningkat dari Rp25.000 menjadi Rp42.000; iuran peserta atau mandiri Kelas 2 akan meningkat dari Rp51.000 ke Rp110.000 dan iuran peserta Kelas 1 akan naik dari Rp80.000menjadi Rp160.000.

Tarif jasa transportasi juga disinyalir mengalami kenaikan. Harga tiket angkutan penyeberangan, misalnya, bakal naik sekitar 10 persen di 20 lintasan penyebrangan. Meski direncanakan berlaku efektif mulai Desember tahun lalu, hingga kini payung hukum kebijakan itu belum rampung dan baru akan direalisasikan di tahun 2020.

Di sisi lain, ongkos logistik diperkirakan bakal meningkat menyusul adanya kenaikan tarif pada sejumlah ruas tol di tahun ini.

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Danang Parikesit menyampaikan, kenaikan tarif tol didasarkan pada perjanjian pengusahaan jalan tol serta pertimbangan laju inflasi.

Salah satu ruas tol yang akan mengalami kenaikan tarif di awal tahun ini adalah Cikopo-Palimanan bagi kendaraan golongan I dan II. Penyesuaian harga tersebut akan mulai berlaku pada 3 Januari 2020 pukul 00.00 WIB.

Belanja Online Makin Mahal

Harga-harga barang konsumsi juga diperkirakan akan makin mahal setelah pemerintah menurunkan ambang batas (treshold) atau deminimus barang kena pajak serta bea masuk pada platform belanja elektronik atau e-commerce.

Batasan harga minimum barang kena pajak dan cukai yang semula 75 dolar AS kini dipangkas menjadi 3 dolar AS. Dengan demikian, barang senilai sekitar Rp45.000 seperti sendal, tas, kerajinan, dan sebagainya bakal mengalami kenaikan harga.

Kebijakan tersebut diambil Kementerian Keuangan untuk membendung banjirnya barang-barang impor harian serta menciptakan kesamaan level playing field antara perdagangan online dan ritel.

Ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, menilai kenaikan harga kontradiktif dengan tujuan pemerintah untuk menopang perekonomian dengan "mendorong konsumsi domestik".

Padahal, sepanjang Desember lalu, pelambatnya konsumsi terlihat dari rendahnya inflasi pada pekan keempat Desember 2019 yakni sebesar 0,55 persen—terendah dalam 5 tahun terakhir.

Padahal, biasanya momentum Natal dan Tahun Baru (Nataru) menjadi pendorong konsumsi masyarakat dan mengerek laju inflasi.

Inflasi rendah yang akibat perlambatan konsumsi dapat terlihat setidaknya dari banyaknya ketersediaan (pasokan) barang ketimbang permintaan. Upah pekerja yang rendah menurut Bhima, juga jadi salah satu musabab masyarakat menahan konsumsinya.

Baca juga artikel terkait HARGA NAIK atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan