Menuju konten utama

Tahun Baru 2018 Tiba, Yakin Mau Bikin Resolusi Lagi?

Sering membuat resolusi tetapi gagal memenuhinya bisa berdampak pada rendahnya penilaian diri seseorang.

Ilustrasi resolusi menyambut tahun baru 2018. Getty Image/iStockphoto

tirto.id - Bagi sebagian masyarakat, awal tahun dianggap sebagai garis start untuk memulai aktivitas atau kebiasaan anyar yang bertujuan memperbaiki diri. Di beberapa tempat, hal ini bahkan menjadi semacam tradisi yang dapat ditelusuri sejak beribu tahun silam.

History.com menulis, sekitar 4000 tahun lalu, ketika musim panen tiba, masyarakat Babilonia berjanji kepada para dewa untuk membayar utang-utangnya dan mengembalikan barang yang dipinjam. Bila mereka menepati janjinya, para dewa akan memberi kemudahan bagi mereka sepanjang tahun berikutnya. Janji ini dapat dianggap sebagai awal mula terciptanya resolusi tahun baru yang kini menjadi bagian tradisi sebagian masyarakat masa kini.

Beranjak ke era Julius Caesar, tradisi membuat resolusi tahun baru diasosiasikan dengan pemujaan kepada dewa Janus—yang namanya diambil untuk nama bulan pertama. Masyarakat Romawi percaya, secara simbolis, Janus yang berwajah dua akan menatap ke masa lampau dan masa depan. Karena keyakinan ini, mereka berupaya menyenangkan sang Dewa dengan berjanji berlaku baik pada tahun berikutnya.

Beragam harapan digantungkan ketika membuat resolusi tahun baru, mulai dari menurunkan berat badan dan makan makanan sehat, berhenti merokok, mengatur keuangan lebih ketat, mendapat pekerjaan lebih baik, sampai memiliki pasangan.

Ada yang sukses menggapai harapan-harapan ini dan mempertahankannya sampai pengujung tahun, ada pula yang mesti gigit jari karena resolusinya masih seumur percikan kembang api. Kelompok orang yang terakhir disebutkan jumlahnya tidak sedikit.

Menurut studi dari Australia pada akhir 2014, 2 dari 3 orang gagal mencapai resolusi yang dibuatnya pada akhir tahun sebelumnya. Kendati demikian, bukan berarti kegagalan ini membuat orang-orang kapok. Sekitar 42% populasi studi tersebut masih membuat resolusi tahun baru untuk 2015. Lebih lanjut dalam studi tersebut dikatakan, 80% responden yang disurvei mengaku gagal memenuhi resolusi hanya dalam jangka waktu tiga bulan setelah membuatnya.

Mengukir target-target tertentu untuk dicapai memang baik. Hal ini bisa mendorong peningkatan motivasi, pencapaian, dan kepercayaan diri, serta melatih pengendalian diri. Walaupun begitu, bila resolusi tahun baru dibuat secara instan, akan hadir beraneka dampak buruk bagi diri alih-alih keuntungan-keuntungan yang disebutkan tadi.

Pertimbangan Sebelum Membuat Resolusi Tahun Baru

Berbicara tentang resolusi tahun baru berpusat pada pengendalian diri seseorang. Perlu dipahami benar bagaimana keinginan mengendalikan diri ini terbentuk: apakah berdasarkan kesadaran atau kemauan sendiri untuk menciptakan hidup yang lebih baik atau atas tekanan eksternal? Misalnya, terkait memiliki pasangan atau diet ketat.

Apakah pertanyaan-pertanyaan mendesak semacam “kapan menikah?” atau tayangan-tayangan yang menampilkan bentuk tubuh ideal yang mendorong seseorang mencetuskan dua poin resolusi tahun baru ini? Sementara sebenarnya, tanpa kedua hal ini pun seseorang bisa hidup baik-baik saja atau cukup sehat, atau dirinya tidak benar-benar berniat mengubah diri.

Perkara pengendalian diri dalam rangka memenuhi resolusi tahun baru disoroti secara khusus oleh Melissa Burkley, Ph.D., pakar psikologi dari University of North Carolina, Chapel Hill. Dalam Psychology Today ia menulis, forsir pengendalian diri justru dapat membuat seseorang menjadi rapuh dan mudah tergoda. Burkley memandang, pengendalian diri memiliki batasan. Ketika hal ini dikerahkan sepenuhnya untuk resolusi, seseorang tidak memiliki sisa untuk dipakai pada aspek kehidupan yang lain.

Sebagai ilustrasi, saat seseorang beresolusi mendapatkan tubuh lebih ramping, ia berkemungkinan menyisihkan uang lebih untuk mendaftar ke pusat kebugaran, berbelanja macam-macam peralatan olahraga, atau membeli makanan-makanan berlabel organik dan ikut diet khusus.

Di satu sisi, efek yang akan didapat dipandang positif, tetapi di sisi lain, ada kecenderungan ia lebih mudah dipengaruhi oleh pengiklan atau penjual produk-produk tertentu, demikian menurut Burkley. Pengendalian diri boleh dibilang berhasil terkait menurunkan berat badan, tetapi tidak untuk menjaga pengeluaran.

Berikutnya, yang perlu dipertimbangkan saat membuat poin-poin resolusi tahun baru adalah realistis, spesifik, dan dapat diukur dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, target yang ingin dicapai pada akhir tahun berikutnya sedapat mungkin tidak menimbulkan perilaku self-defeating.

Dari kacamata psikolog sosial, perilaku self-defeating terjadi saat seseorang membuat target tertentu, tetapi aksi-aksinya justru tidak mendukung proses pencapaiannya. Cara-cara dalam meraih target yang menimbulkan kerugian bagi seseorang juga dapat dianggap sebagai bentuk self-defeating. Contohnya, diet berlebihan yang malah membuat seseorang jatuh sakit.

Untuk bisa merasakan buah manis di pengujung tahun berikutnya, seseorang perlu melewati beberapa tahap sebelum membuat resolusi tahun baru. Menurut profesor psikologi Prochaska dan DiClemente, ada empat level yang mesti dilalui seseorang bila hendak merasakan perubahan di kemudian hari. Dimulai dari tidak berniat untuk berubah, sampai akhirnya berkontemplasi dan berencana membuat perubahan, diikuti persiapan untuk berubah, dan yang terakhir, barulah melakukan tindakan-tindakan perubahan itu sendiri. Aksi berdiet atau berolahraga bukanlah bagian dari level pertama, melainkan keempat.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/29/resolusi--mild-quita.jpg" width="860" alt="Infografik resolusi tahun baru" /

Selanjutnya yang dapat menjadi bahan pertimbangan lain ialah efek yang terjadi bila resolusi gagal tercapai. Dilansir Business Insider, psikolog sosial dan associate professor dari Harvard Business School, Amy Cuddy mengungkapkan, saat seseorang tidak mampu memenuhi resolusinya, ia akan merasa cemas dan memiliki penilaian diri yang rendah. Hal yang terakhir ini bisa juga diakibatkan oleh fokus berlebihan kepada hasil alih-alih kepada proses.

Kegagalan mewujudkan resolusi juga dikatakan Cuddy terkait dengan betapa sakleknya aturan yang dibuat seseorang untuk meraih golnya. Misalnya ketika ia menetapkan harus ke pusat kebugaran tiga kali seminggu, padahal di tengah-tengah perjalanan, ia terserang penyakit.

Jeda rutinitas ini bisa membuat seseorang merasa upayanya buyar duluan, lantas malas dan memutuskan untuk menyetop proses memenuhi resolusi. Penyalahan diri dan penyesalan juga mengekori para pembuat resolusi yang gagal, demikian salah satu hasil studi Norcross, et.al. (1989) yang dimuat dalam jurnal Addictive Behaviors.

Menjalankan tradisi membuat resolusi tahun baru atau tidak adalah kebebasan setiap orang. Namun bila tidak disokong komitmen penuh, hal ini hanya akan menjadi angan yang tidak kunjung terejawantah, atau bahkan beban di kemudian hari.

Baca juga artikel terkait TAHUN BARU 2018 atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani