Menuju konten utama

Syukuro Manabe dan Pemanasan Global yang Kian Mengerikan

Manabe berhasil membuktikan bahwa pemanasan global secara saintifik memang benar terjadi.

Syukuro Manabe dan Pemanasan Global yang Kian Mengerikan
Sesaat setelah memenangkan Hadiah Nobel dalam bidang fisika, Syukuro Manabe berbicara kepada media sambil memegang bukunya Beyond Global Warming di rumahnya di Princeton, New Jersey, pada Selasa, 5 Oktober 2021. (AP Photo/Ted Shaffrey)

tirto.id - Setelah Pearl Harbor diserang, Amerika Serikat bergabung dengan Sekutu untuk melawan kekuatan fasis termasuk menghabisi Jepang. Serangan balasan dimulai pada 1944 dan diakhiri dengan menjatuhkan dua bom atom pada Agustus 1945 di Hiroshima dan Nagasaki.

Serangan maut yang menewaskan tak kurang dari 200 ribu warga ini tak menghancurkan semua wilayah Jepang. Sejumlah wilayah di luar Pulau Honshu (pulau utama di Jepang) selamat, termasuk Shikoku--pulau yang berada di barat daya Honshu.

Di pulau inilah tinggal seorang pemuda bernama Syukuro Manabe.

Meski pesawat-pesawat tempur Paman Sam kerap terlihat di langit, ia mengaku masa bodoh. "Aku tidak peduli dengan perang dan perang tidak menggangguku sama sekali," kenangnya. Ia bukan tak khawatir terhadap bom pasukan AS yang mungkin menghantam kediamannya. Ia mengaku cuek karena kala itu punya perang sendiri yang juga harus dimenangkan, yaitu ujian masuk sekolah menengah.

Terlahir di keluarga fisikawan, Manabe memiliki beban untuk melanjutkan tradisi keluarganya. Masuk sekolah menengah terbaik adalah langkah awal menjaga tradisi keluarganya itu.

Manabe berhasil masuk sekolah menengah terbaik dan dilanjutkan dengan masuk University of Tokyo. Namun ia sadar bahwa langkahnya keliru. "Kusadari kemudian, aku tidak terlalu hebat soal matematika, dan karenanya aku selalu kesulitan terhadap fisika," ujarnya.

Karena lemah dalam matematika dan fisika, Manabe akhirnya berputar haluan dengan pindah jurusan ke biologi. Namun, karena ia juga tak terlalu baik dalam mengingat, Manabe drop out lalu menetap menjadi mahasiswa meteorologi. Keputusan ini ditentang keluarga.

Meski demikian, langkah Manabe justru dianggap jitu karena kampus--meski lemah dalam fisika--memercayainya terlibat dalam pengerjaan persamaan fisika guna memprediksi cuaca.

Selain itu, Josep Smagorinsky, pelopor pemanfaatan komputer untuk melakukan kalkulasi ilmiah, juga terkesima dengan kerja Manabe. Smagorinsky kemudian meminta izin kepada University of Tokyo untuk membawa Manabe ke AS.

Smagorinsky adalah kepala Biro Cuaca yang diberi tugas menjadikan kantornya sebagai institusi terkemuka di bidang penelitian atmosfer. Ia ditempa oleh John von Neumann, arsitek komputer modern (ENIAC) sekaligus salah satu ilmuwan penting dalam Proyek Manhattan--tempat lahirnya bom "fat man" dan "little boy". Smagorinsky yakin komputer merupakan masa depan untuk memprediksi cuaca, iklim.

Dan Manabe, menurut Smagorinsky, memiliki kemampuan untuk merealisasikannya. Ia yakin Manabe dapat membantunya menyelesaikan persamaan diferensial nonlinear sebagai kunci membuat simulasi tiga dimensi iklim Bumi sekaligus memprediksi keadaan atmosfer di masa depan yang berasal dari hukum fisika ciptaan Neumann--yang tak mampu ia selesaikan.

"Ini sesuatu yang mustahil dilakukan," bantah Manabe saat menerima tugas dari Smagorinsky untuk membuat simulasi tiga dimensi iklim Bumi.

Namun, setelah bekerja keras memecahkan persamaan diferensial nonlinier, Manabe akhirnya dapat memenuhi permintaan Smagorinsky dengan baik. Bahkan ia menggabungkan persamaan yang dipecahkannya dengan variabel berupa representasi karbon dioksida di atmosfer, serta dibantu IBM 1403 untuk melakukan kalkulasi.

Maka, pada 1966, Manabe menjadi orang pertama di dunia yang mendeklarasikan bahwa pemanasan global yang secara saintifik dapat dibuktikan melalui kalkulasi komputer memang benar terjadi.

Berdasarkan risetnya, jika volume karbon dioksida meningkat tak kurang dari enam bagian-per-sepuluh ribu saja, maka suhu permukaan Bumi akan naik lebih dari dua derajat Celsius atau sebanding dengan peningkatan suhu yang membuat zaman es berakhir.

Hasil risetnya juga menegaskan bahwa peningkatan karbon dioksida berakhir menjadi pemanasan global karena anomali suhu Bumi, yakni atmosfer yang lebih rendah mengandung energi panas berlebih sedangkan atmosfer yang lebih tinggi mengalami kondisi dingin ekstrem.

Bumi, tegas Manabe, di ambang jurang kehancuran yang lebih mengerikan daripada terjangan dua bom atom yang meluluhlantakkan Jepang.

Infografik Perubahan Iklim

Infografik Perubahan Iklim. tirto.id/Fuad

Beberapa dekade kemudian, prediksi kehancuran ini dibuktikan dengan pelbagai aktivitas industri maupun individu yang memproduksi lebih dari sepuluh ribu metrik ton karbon dioksida terakumulasi di atmosfer--dan terus bertambah. Jumlah ini diprediksi akan terjadi pada 2050.

Suhu di Eropa akan mencetak rekor tertingginya, yakni 40 derajat. Pemanasan global juga akan membuat hilangnya gletser tropis terakhir di Pasifik Barat, yakni di Puncak Jaya atau Carstensz Pyramid, Indonesia.

Secara umum, akibat akumulasi karbon dioksida, merujuk laporan panel ilmuwan/ahli di bidang perubahan iklim antarnegara (Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC) berjudul "Climate Change 2021: The Physical Science Basis" (2021), suhu permukaan bumi mengalami peningkatan 1,09 derajat Celsius dalam rentang 2011 hingga 2021.

Secara spesifik, di edisi 2021 laporan tentang pengaruh manusia terhadap iklim yang telah dimulai sejak 1988, IPCC menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan karbon dioksida (CO2) sebesar 410 ppm di atmosfer bumi setiap tahunnya sejak 2011. Terjadi pula peningkatan gas metan (CH4) dan dinitrogen monoksida (N2O) masing-masing sebesar 1.866 ppb (part per billion) dan 332 ppb per tahun.

Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi