Menuju konten utama

Swafoto di Makam BJ Habibie, Patutkah?

Swafoto di makam Habibie atau dalam upacara pemakaman adalah bukti seseorang ingin menampilkan keterlibatannya dalam peristiwa penting.

Swafoto di Makam BJ Habibie, Patutkah?
Ilustrasi Swafoto di Makam. FOTO/iStockphoto

tirto.id - BJ Habibie adalah mantan presiden Indonesia pertama yang wafat pada era swafoto alias selfie. Apa yang terjadi di pusaranya beberapa hari lalu adalah konsekuensi zaman.

Lima hari pasca-upacara pemakaman, makam BJ Habibie masih dikerumuni banyak peziarah. Sebagaimana diberitakan Kompas.com (16/11/2019) Mereka berdesak-desakan dan berebut posisi strategis di dekat batu nisan untuk mendapatkan sudut foto selfie terbaik di pusara mantan presiden. Mereka terlihat tidak peduli bila aksi itu sesungguhnya bisa merusak beberapa bagian makam.

Selain memuat foto dan kabar terkait kerumunan massa di makam Habibie, Kompas mengabarkan protes sejumlah warganet yang menyaksikan sikap peziarah yang tidak tertib di makam Habibie. Ilham Habibie, anak sulung Habibie yang menyatakan tidak keberatan bila makam sang ayah dikerubuti peziarah yang datang dari berbagai kota.

Ilham mungkin punya pendapat yang sama dengan mantan presiden Abdurrahman Wahid yang menganggap ziarah sebagai bentuk penghormatan kepada orang mati dan wujud nostalgia.

Ziarah adalah praktik sosial yang telah dilakukan di Indonesia selama ratusan tahun. Menurut analisis dosen Australian National University, George Quinn, objek ziarah yang menarik perhatian banyak orang awalnya adalah makam orang-orang suci. Kebaikan-kebaikan dan rezeki yang ditebarkan selagi mereka masih hidup dipercaya mampu menular ke para peziarah Makam orang-orang suci ini juga menjadi tempat di mana orang mencari petunjuk untuk memecahkan berbagai permasalahan hidup atau berharap mendapat kekuatan supernatural.

Lambat laun, makam yang diziarahi meluas ke makam para pesohor seperti selebritas. Makam Nike Ardilla contohnya. Nike, lady rocker yang populer pada awal 1990-an berkat album Bintang Kehidupan ini tewas dalam dalam kecelakaan mobil di Bandung pada 1995.

Kini setiap tahun para fans yang tergabung dalam klub penggemar Nike Ardilla mengadakan acara ziarah bareng ke makam sang idola yang berlokasi di TPU Cidudu, Ciamis. Menurut laporan Tirto yang pernah meliput tur tersebut pada Maret 2017, peserta ziarah bisa mencapai 120-an orang. Tak hanya pengunjung, para pedagang kaki lima pun memadati makamnya. Tak berlebihan jika tempat itu kini diperlakukan bak situs keramat.

Swafoto kini menjadi bukti atas penghormatan dan berbagai macam aktivitas ziarah itu. Di satu sisi, swafoto di tempat seperti makam tak jarang dipandang miring. Di sisi lain, tidak pernah ada aturan resmi yang melarang orang untuk memotret di makam. Pada kasus mendiang Habibie misalnya, Ilham hanya melarang pelayat memotret atau berswafoto dengan jasad sang ayah.

Swafoto di tempat yang sarat simbol kedukaan, jadi sensitif kala dilakukan di lokasi yang sejarah kekelamannya diakui semua bangsa. Gemma Blackwood, dosen Kajian Komunikasi di Universitas Charles Darwin, Australia, membahas swafoto jenis ini dengan membandingkan Auschwitz dan Colosseum.

Kamp konsentrasi Auschwitz yang didirikan pasukan Nazi pada 1940. Sejarawan Raul Hilberg dalam The Destruction of the European Jews (1961) menyebutkan Nazi membunuh sekitar satu juta orang di kamp tersebut dengan cara memasukkan mereka ke dalam ruangan yang dialiri gas beracun sejak 1940 hingga 1945. Pembantaian massal terbesar pada abad ke-20 ini selalu diperingati agar peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang.

Contoh kedua ialah Colosseum di Italia. Bangunan amfiteater yang didirikan pada abad 70 SM oleh kaisar Roma, Vespasian itu dimaksudkan sebagai tempat penyelenggaraan berbagai acara hiburan bagi raja. Hiburan yang dimaksud adalah pertempuran maut antara gladiator dan hewan liar seperti beruang, singa, dan macan.

Menurut Blackwood, swafoto dengan ekspresi wajah ceria di lokasi pembunuhan atau pembantaian bisa menyinggung hati keluarga atau kerabat korban kejahatan yang masih hidup. Dalam pandangan Blackwood, pertimbangan tersebut membuat pengelola situs kamp Auschwitz mengimbau agar pengunjung bersikap khidmat dan menghormati bangunan. Tindakan foto dengan gaya “heboh” atau bahkan senyum adalah tabu.

Beda cerita dengan Colosseum. Sekarang orang-orang bisa berfoto sesuka hati atau membuat video berisi lelucon karena peristiwa mengerikan terjadi ribuan tahun lalu dan sudah dilupakan orang.

Longgarnya aturan soal foto ini juga berlaku di berbagai memorial di beberapa negara. Holocaust Memorial di AS, misalnya, hanya mengimbau agar para pengunjung tidak memotret menggunakan tongkat swafoto dan tripod. Sementara Holocaust Memorial di Berlin tidak memiliki aturan apa pun.

Bukan berarti tidak ada protes dari sesama pengunjung atau warganet. Pada Maret 2018 lalu, Syahrini merekam video di Holocaust Memorial Berlin dan mengatakan “Ini tempat Hitler bunuh-bunuhan dulu”. Tindakan Syahrini dinilai warganet kurang sensitif dan tidak sepatutnya dilakukan.

Tapi tak hanya Syahrini pelakunya. Saking banyaknya, muncul inisiatif seniman bertajuk Yolocaust. Proyek garapan Shahak Shapira ini berisi sekumpulan swafoto pengunjung Holocaust Memorial yang dinilai berlaku tak patut. Shapira mengganti latar belakang foto-foto itu dengan gambar zaman perang atau pembantaian massal selama 1938-1945.

Infografik Swafoto di Makam

Infografik Swafoto di Makam. tirto.id/Quita

Kepopuleran Yolocaust membuat kepala Holocaust Education Trust London Karen Pollock mengimbau agar sejumlah guru dan murid bisa berdiskusi terlebih dulu tentang hal-hal yang sebaiknya dilakukan anak, remaja, dan dewasa muda sebelum berkunjung ke memorial.

Selain swafoto di makam atau memorial, media sosial khususnya Instagram juga ramai dengan tagar #funeral.

Studi James Messe, Michael Arnold, dkk. bertajuk "#Funeral and Instagram: Death, Social Media, and Platform Vernacular" (2014) yang dimuat di Information, Communication, and Society Journal ingin mengetahui bagaimana para pelayat merepresentasikan diri dan memaknai upacara pemakaman melalui potret dengan tagar #funeral yang diunggah ke media sosial.

Studi ini dilakukan di Australia yang menggelar upacara pemakaman dengan cara yang khas masyarakat Barat: jenazah umumnya disemayamkan selama beberapa hari dan keluarga akan menyelenggarakan acara seperti doa bersama, bernyanyi, dan mendengar testimoni terhadap sosok yang telah meninggal. Testimoni biasa disampaikan oleh teman dekat atau keluarga dekat dari orang yang telah wafat.

Messe dkk. mengamati tagar #Funeral dan #RIP yang muncul di Instagram selama 24 jam. Proses pengamatan dilakukan pada tanggal-tanggal tertentu pada bulan Februari, Juli, dan Agustus 2014. Jumlah foto yang ditemukan dalam sekali waktu pengalamatan (24 jam) biasanya berjumlah sekitar 500-an.

Hasilnya, sebagian besar gambar menunjukkan foto diri yang dipotret di depan cermin dan berlokasi di kamar tidur, kamar mandi, atau tempat lain yang bukan lokasi acara pemakaman, atau ketika mereka bersiap-siap menuju acara pemakaman. Responden tidak berfoto dengan latar acara pemakaman atau bersama anggota keluarga serta kerabat yang tengah berduka.

Fenomena yang sama mungkin bisa dicari paralelnya dalam konteks Indonesia. Tagar #pemakaman di Instagram (menurut pencarian tanggal 20/09/2019, pukul 16.00 WIB) sebagian besar dipenuhi oleh foto makam, upacara pemakaman para pesohor, dan insiden seperti aksi pembongkaran paksa makam. Tagar yang sama menampilkan foto-foto yang menunjukkan kedekatan pengunggah dengan kerabat atau anggota keluarga yang berduka, atau foto-foto yang menunjukkan mereka tengah mengikuti berlangsungnya acara pemakaman.

Baca juga artikel terkait BJ HABIBIE WAFAT atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf