Menuju konten utama
Insan Muda Sinema Indonesia

Sutradara Wregas Bhanuteja Ingin Jadi Sobat Kaum Terpinggirkan

Wregas Bhanuteja diganjar penghargaan di Cannes Film Festival pada 2016. Kini ia tengah menggarap proyek film panjang perdananya.

Sutradara Wregas Bhanuteja Ingin Jadi Sobat Kaum Terpinggirkan
Ilustrasi Wregas Bhanuteja. FOTO/tirto.id

tirto.id - Wregas Bhanuteja bermimpi punya ruang seni seperti Salihara—komunitas seni yang berdiri pada 2008—dan galeri seni prestisius di Pejaten Barat, Jakarta Selatan.

Ia membayangkan ruang kreatif itu kelak jadi tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan yang digemarinya seperti pameran dan pertunjukan seni, lokakarya, diskusi, atau kuliah umum. Pria kelahiran 1992 itu ingin menjadikan tempat tersebut wadah bersenang-senang dan berkarya bersama kawan-kawan dekat yang tergabung dalam kelompok Studio Batu. Kolektif itu dibentuk pada 2012 kala Wregas dan kawan-kawan SMU-nya yang sama-sama mencintai seni merasa perlu berkomunitas.

Wregas tak rela bila kegemaran mereka menyaksikan pameran seni, mendengar diskusi seni rupa, menyaksikan pembacaan puisi, dan lain lain menguap begitu saja. Apalagi selepas SMU, para anggota ‘geng seni’ ini menempuh jurusan perkuliahan yang berbeda diantaranyai seni rupa, sastra, sosiologi, musik, antropologi. Hal yang diyakini Wregas bisa potensi baik untuk membuat karya kolektif.

“Studio Batu adalah tempat untuk pulang. Kami punya pekerjaan masing-masing di luar studio. Ketika kami hadir di studio, kami hendak mengekspresikan diri tanpa embel-embel mencari keuntungan.”

Prenjak: In The Year of Monkey yang memenangkan penghargaan sebagai film pendek terbaik dalam Semaine de la Critique atau Pekan Kritik Film di Festival Film Cannes 2016 adalah salah satu hasil produksi Studio Batu di mana Wregas bertindak sebagai sutradara.

Ia tak ingin menyebut Studio Batu sebagai kelompok produksi—meski tiga film pendek Wregas yakni Lembusura, The Floating Chopin, dan Prenjak diproduksi oleh kolektif tersebut.

Bagi Wregas, produk studio Batu bisa macam-macam sesuai keinginan hati anggotanya. Ketika Tirto menemui Wregas akhir Agustus lalu, karya instalasi buatan Studio Batu sedang ditampilkan dalam festival seni ArtJog 2019.

Tempo mencatat proyek seni yang bekerjasama dengan Riri Riza tersebut berbentuk instalasi tiga dimensi dan video. Karya tiga dimensi ialah patung yang bentuknya terinspirasi dari peti jenazah yang diarak dalam upacara pemakaman penganut aliran kepercayaan Marapu di Sumba Timur.

Wregas berkata ide dan konsep pameran digagas Riri. Sementara tim Studio Batu membantu merealisasikan konsep tersebut.

Sekarang Wregas boleh jadi punya waktu lebih banyak untuk menyaksikan atau terlibat dalam proyek kerjasama di luar film karena ia sedang membatasi diri untuk tak sering-sering memproduksi film pendek dan menghadiri berbagai acara yang diselenggarakan rekan-rekan sineas. Ia berniat fokus menyelesaikan naskah film panjang pertama.

Film pendek terakhir yang ia garap berjudul Tak Ada yang Gila di Kota Ini, salah satu cerita dalam buku kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati karya Eka Kurniawan. Proses produksi berlangsung Oktober 2018. Kemudian, film lolos seleksi untuk diputar pada beberapa bioskop di Busan, Korea Selatan; dan akan tayang perdana pada Busan International Film Festival pada 7 Oktober 2019.

“Aku ditawari Adi Ekatama, pendiri rumah produksi Rekata. Dia mau produk perdana adalah film pendek yang diangkat dari karya Eka Kurniawan,” tutur Wregas.

Kebetulan, Wregas memang punya kemauan membuat film yang kisahnya berasal dari tulisan Eka.

“Aku pilih Tak Ada yang Gila di Kota Ini karena ceritanya bicara soal orang-orang yang tersisihkan dan dianggap gagal oleh masyarakat. Tema yang selalu menarik buatku,” kata Wregas yang menginterpretasikan dan menulis ulang cerita tersebut bersama sang kawan, Henricus Pria.

Ia bilang, film tersebut mengisahkan seorang petugas hotel yang diminta membuang orang-orang dengan gangguan jiwa ke hutan agar tak dilihat oleh turis mancanegara.

“Orang-orang dengan mental illness adalah orang-orang yang ingin aku bela. Ingin aku temani lewat film-filmku. Makanya saat ini aku juga sedang mempelajari psikologi,” kata Wregas.

Ketertarikan akan orang-orang tersisihkan itu sesungguhnya sudah terlihat sejak Wregas menggarap Lemantun pada 2014. Lemantun bicara soal pembagian warisan dalam satu keluarga yang terdiri dari lima anak. Singkat cerita, anak kelima, yang dianggap gagal karena tidak memiliki pekerjaan tetap dan kurang mapan, jadi pihak yang dipaksa mengalah dan harus rela mendapat benda warisan yang dinilai sepele.

“Waktu menggarap film itu, aku sebenarnya terinspirasi dari kisah hidup pamanku sendiri yang dianggap gagal oleh keluarga karena ia pernah bekerja sebagai tukang parkir. Tidak seperti saudara-saudaranya yang punya jenjang karier jelas,” lanjutnya.

Infografik Wregas Bhanuteja

Infografik Filmografi Wregas Bhanuteja. tirto.id/Sabit

Prenjak pun sebetulnya bicara tentang hal serupa. Kisahnya tentang seorang perempuan yang terpaksa melakukan hal yang dianggap tak pantas di masyarakat Jogja pada umumnya. Ia dibayar Rp10.000 untuk mempertontonkan alat kelamin agar anaknya bisa makan.

Wregas sempat bilang bahwa lewat film itu ia ingin menyampaikan kekagumannya terhadap perempuan kuat yang sanggup melakukan berbagai hal demi menjaga keberlangsungan hidup orang yang dicintainya.

Motivasi Wregas untuk memperkaya bagasinya sebagai sutradara muncul setelah mengikuti lokakarya film di Turin, Italia pada 2017. Pemateri dalam acara tersebut adalah para pelaku industri film dan kritikus dari sejumlah negara Eropa.

“Di sana aku merasa jadi orang yang paling sedikit membaca dan menonton film,” kata Wregas yang membandingkan diri dengan teman-teman diskusi yang fasih membicarakan bacaan film dan sutradara-sutradara auteur seperti Jean-Luc Godard.

Pada forum lokakarya itu, Wregas membawa cerita yang berangkat dari kisah hidup sang paman yang dipandang sebelah mata oleh keluarga—kisah yang diharapkan akan jadi film panjang pertama nanti.

“Ada banyak revisi dan penyempurnaan,” kata Wregas. Dalam waktu yang bersamaan, ia mendapat tawaran kerjasama dari sejumlah produser asal Eropa. Salah satunya dari Jerman.

Wregas, yang kala itu baru menyadari bahwa festival film adalah ajang jualan, merasa bersyukur mendapat ajakan tersebut. Tapi di sisi lain, ia pun merasa mendapat tantangan besar karena harus memperdalam cerita yang ia buat.

Dia hanya bisa menjanjikan kepada para sutradara bahwa dirinya akan memperbaharui perkembangan naskah film panjang. Bekerjasama dengan produser Jerman atau Perancis ini juga merupakan salah satu keinginannya.

“Negara-negara tersebut mendapat funding dari pemerintah dan bisa mendistribusikan film dengan cakupan yang lebih luas.”

Wregas, yang merasa filmnya lebih sesuai ditonton oleh penikmat film arthouse di luar negeri, menilai relasi dengan produser Eropa sebagai hal penting.

Tapi, yang lebih penting dari itu, ia mengaku masih butuh waktu untuk membaca berbagai buku, menonton banyak film, merenung di kedai kopi, dan menulis.

“Sebagian besar waktuku sekarang habis untuk itu.”

Baca juga artikel terkait SUTRADARA FILM atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Film
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf