Menuju konten utama

Suryo Prabowo: Garang di Hutan, Garang di Media Sosial

Suryo Prabowo adalah perwira zeni yang berkali-kali tugas di Timor Timur. Dia pernah jadi Wakil KSAD dan Wakil Gubernur Timor-Timur.

Suryo Prabowo: Garang di Hutan, Garang di Media Sosial
Mantan Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia (TNI) Johannes Suryo Prabowo saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema 'Rezim Jokowi, Mau Hidupkan Dwifungsi TNI?' di Sekretariat Nasional BPN Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2019). tirto.id/Bayu Septianto

tirto.id - Selama ini, salah satu purnawirawan yang getol membela Prabowo Subianto adalah Johannes Suryo Prabowo. Ketika Prabowo yang calon Presiden itu sedang dalam posisi sulit karena dianggap meledek tampang Boyolali, Suryo yang membelanya.

Suryo mengunggah klipingan koran lawas dari blog milik novelis Muhidin M Dahlan tentang perolehan suara Pemilu 1955 di Karesidenan Surakarta di mana PKI banyak dapat suara di sana.

Di lain waktu, Suryo juga pernah bikin ramai pada 2016 silam, ketika Ahok maju berlaga Pilgub DKI Jakarta melawan Anies Baswedan. Di postingannya, Suryo menulis kalimat yang secara implisit menebarkan ketakutan.

“Man-teman … Terutama #TemanAhok … Kalau sayang dengan teman-teman atau sahabat dari etnis Tionghoa, tolong diingatkan agar jangan ada etnis Tionghoa yang sok jago ketika berkuasa atau dekat dengan penguasa. Kesian kan Tionghoa lainnya yg baik2 dan/atau yg miskin, kalo ada yang mau membantai atau menjarah, mereka kan gak bisa kabur ke luar negeri? Tolong jaga Bhinneka Tunggal Ika dan sama-sama membangun HARMONI DALAM KEBERAGAMAN ? JSP #SaveNKRI."

Made Supriatma, seorang peneliti militer, dalam tulisannya di IndoProgress, menyebut pikiran Suryo sangat rasis.

Keturunan Keluarga Pejabat Militer

Suryo adalah anak tentara yang badung sejak zaman sekolah. Ayahnya adalah Kolonel Ngaeran, salah satu perwira yang membawa pulang Omar Dani dari Bangkok. Ngaeran bukan perwira sembarangan, dia orang penting di Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Ali Moertopo. Kata Soemitro, dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari '74 (1998:49), Ngaeran adalah “tangan kanan Ali di bidang keuangan.”

Suryo lantas mengikuti jejak sang ayah. Bahkan dia tak kalah cemerlang. Suryo adalah Alumni terbaik—peraih Bintang Adhi Makayasa dan Pedang Trisakti Wiratama—Akabri 1976. Seperti dicatat Maria Dominique Setiawan & Tony Setiawan, dalam Si Bengal Jadi Jenderal (2015:14), Suryo sejak muda sudah menjadi perwira zeni KODAM Bukit Barisan (Sumatra Utara) yang kerap diperbantukan ke pasukan-pasukan dan satuan tugas yang ditempatkan di Timor-Timur. Baik itu satuan Raider, Linud, Kopassus, dan lainnya. Suryo punya reputasi sebagai pakar bahan peledak yang belajar autodidak.

Walau kerap berkeliling ke banyak daerah, Timor-Timur adalah daerah yang berkesan bagi Suryo. Ketika Timor-Timur resmi bergabung dengan Indonesia dalam sebuah upacara 17 Juli 1976, Suryo adalah salah satu pemain drumband Akabri yang melengkapi upacaranya.

Seperti dicatat dalam biografinya, (2015:29-33), sejak berpangkat Letnan Dua hingga Kolonel, Suryo kerap ditugaskan di Timor-Timur. Diceritakan dalam buku tersebut, bagaimana Suryo yang baru lulus dari Akabri dan masih Letnan Dua itu hanya membawa 6 orang prajurit pilihan dan sukses menghadang Fretilin yang hendak menyerang posnya. Suryo dan pasukannya disebut menang gemilang dan sukses melumpuhkan 51 musuh beserta senjatanya.

Suryo tak hanya dikenal berani terhadap musuh, tapi juga berani terhadap komandan yang dianggapnya berlaku tak pantas. Ini pernah dia ceritakan di biografinya.

“Saat itu awal 1980an. Saya menderita sakit malaria yang cukup parah. Saya dievakuasi dari Posko, ke Dili. Saya sempatkan mampir ke Pos Perwakilan kesatuan saya di Taibessi, Dili.”

Di Pos Perwakilan, Suryo terkejut karena kamarnya ditempati seorang perempuan. Suryo lantas menyuruhnya pindah. Beberapa perwira lain mengingatkan bahwa perempuan itu adalah "teman" sang komandan batalyon yang kala itu berada di markas KOREM. Namun Suryo tak peduli, dan tetap menyuruh si perempuan pindah. Keesokannya, sang komandan mengajak makan siang Suryo.

“Mengapa berani-beraninya kau mengusir Mbakyumu dari kamarnya?”

“Mbakyu dari mana komandan? Mbakyuku kan di Jakarta?”

Jawaban santai itu membuat sang komandan muntab. “Mentang-mentang kau berhasil di hutan, jangan sombong dan ngejago di sini! Saya ini Danyon tahu! Kau harus respek!" Sang komandan memaki Suryo, dan menantangnya. “Sudah, kita ambil jarak, dan kita selesaikan hal ini secara jantan.

Suryo masih tenang.

"Udalah komandan, jangan kekanak-kanakan. Kepalaku lagi pusing banget nih.”

Jawaban itu bikin si komandan tambah ngamuk. Dia meletuskan senapan serbunya. "Jangan banyak omong, ambil senjatamu!" teriak si komandan.

Suryo akhirnya pergi ke kamarnya. Namun dia tidak mengambil senjata api, melainkan granat K-76 buatan Korea (K-76) dengan sistem ledak yang berbeda dengan granat Amerika (M-67). Di ruang makan yang ramai oleh para prajurit itu, Suryo lantas mencabut cincin pengaman granat dan dilemparkannya ke tudung nasi.

Semua orang berhamburan, termasuk komandan yang tadi mengajaknya berduel. Setelah ruangan itu sepi, cincin pengaman granat itu diambil lalu dipasangnya lagi. Kemudian, Suryo yang sedang sakit berteriak kepada para kompatriotnya yang ada di luar.

“Saya mau tidur, dan jangan ada lagi yang coba-coba masuk kamar saya kecuali dokter."

Insiden ini tak diproses lebih lanjut karena reputasi harum Suryo di Timor Timur. Lima hari setelah insiden granat itu, Suryo pulih dan kembali ke tempat tugasnya. Sepuluh bulan kemudian, si komandan batalyon dan seluruh perwira di pos perwakilan itu disandera 12 orang sersan yang menentang perpanjangan tugas setelah 14 bulan tugas di daerah konflik itu. Usut punya usut, para sersan itu menduga si komandan sengaja memperpanjang masa tugas mereka karena ada proyek konstruksi non tempur yang ingin dikerjakan.

Menolak Titah Prabowo

Suryo pernah berdinas di korps baret merah sebagai Kepala Zeni Kopassus. Dia ikut membangun fasilitas latihan Satuan Penanggulangan Teror (Sat Gultor) 81. Bisa dibilang pria dengan kualifikasi terjun payung dan menyelam ini punya pengalaman lengkap selama bertugas. Mulai dari jadi komandan peleton, komandan kompi, komandan seksi operasi satuan tugas, komandan subsektor Dilor, Kepala Seksi Operasi KOREM, Wakil Komandan KOREM, dan puncaknya adalah Wakil Gubernur Timor-Timor (kala itu kerap disingkat Timtim).

Sebenarnya, sebagai perwira zeni, sulit bagi Suryo untuk menjadi Komandan KOREM yang biasanya diperuntukan bagi perwira infanteri. Namun, Brigadir Jenderal Prabowo Subianto punya ide menempatkan Suryo sebagai komandan KOREM (Danrem). Saat itu tahun 1997, dan pangkat Suryo hanya Kolonel.

“Kami kepingin kamu yang perwira Katolik bisa menjadi Danrem di Timtim agar rakyat Timtim lebih mudah menerimanya,” kata Prabowo ketika membicarakan pencalonan itu.

Tak diduga, Suryo menolak ide Prabowo itu. "Kalau alasannya karena agama, saya tidak mau menjabat sebagai Danrem di Timtim, Jenderal.”

Infografik Johannes Suryo prabowo

Infografik Johannes Suryo prabowo. tirto.id/Fuad

Prabowo marah mendengar penolakan Suryo. Toh, Prabowo pada akhirnya menerima keputusan itu. Suryo batal jadi komandan KOREM, tapi malah diberi jabatan unik: Wakil Komandan KOREM. Ini jabatan yang janggal, sebab biasanya hanya ada jabatan Kepala Staf KOREM.

Di tahun berikutnya, karier Suryo di militer “macet” dengan dimasukannya dirinya menjadi pejabat sipil. Jelang jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, dia yang masih Kolonel dijadikan Wakil Gubernur Timor-Timur. Jabatan itu diembannya sebentar saja.

“Timor-Timur hanya korban petualangan politik. Anda tidak akan pernah paham apa yang sebenarnya sekarang terjadi di sana,” kata Suryo kepada wartawan—seperti dirilis Gatra (10/04/1999).

Timor-Timur memang kacau balau kala itu. Suryo termasuk perwira TNI yang terakhir keluar dari negara yang kelak menjadi Timor Leste itu. Seperti dicatat Cordula Maria Rien Kuntari, dalam buku Timor Timur Satu Menit Terakhir (2008:193), Suryo adalah mantan wakil komandan Indonesia Task Force in East Timor (ITFET) yang dengan jujur mengaku adanya TNI yang desersi karena TNI dan Polisi tidak bisa menjamin keamanan mereka.

Suryo kembali ke militer lagi setelah tak jadi pejabat sipil. Dia pun dijadikan Asisten Intelijen di Paspampres. Pangkatnya naik ketika menjadi Wakil Paspampres dengan pangkat Brigadir Jenderal. Jabatan mentereng yang kemudian diraihnya ketika Mayor Jenderal adalah Panglima KODAM Bukit Barisan (Sumatra Utara) dan KODAM Jaya (DKI Jakarta). Dari sana, kariernya naik lagi menjadi Wakil KSAD, dan menjadi Kepala Staf Umum ABRI dengan pangkat Letnan Jenderal.

Baca juga artikel terkait MILITER atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono