Menuju konten utama

Survei SMRC: 41 Persen Warga Indonesia Tolak Hak Hidup LGBT

Salah satu audiens menanggapi angka itu dan menyebutnya sebagai preseden buruk, sebab hak hidup adalah hak paling mendasar bagi setiap manusia.

Survei SMRC: 41 Persen Warga Indonesia Tolak Hak Hidup LGBT
Rilis survei Kontroversi Publik Tentang LGBT di Indonesia dan diskusi yang digelar SMRC, Kamis (25/1/2018). tirto.id/Patresia Kirnandita

tirto.id - Lembaga survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) merilis hasil survei terkait persepsi publik terhadap LGBT selama 2016-2017 di kantornya, Jalan Cisadane, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2018). Pengumpulan data kuantitatif dalam riset ini diambil melalui wawancara tatap muka dengan 1.220 responden yang berusia di atas 17 tahun di 34 provinsi dan dilakukan secara bertahap pada Maret 2016, September 2017, dan Desember 2017.

Temuan SMRC pada Desember 2017 antara lain:

  • 58,3% responden pernah mendengar tentang LGBT
  • Dari responden yang mengetahui tentang LGBT, 41,4% merasa LGBT sangat mengancam; 46,2% merasa cukup mengancam; 9,4% merasa tidak mengancam; 1,4% merasa sangat tidak mengancam; dan 1,6% menjawab tidak tahu/tidak menjawab
  • 34% responden sangat setuju bahwa gay dan lesbian dilarang agama; 47,5% setuju; 4,7% tidak setuju; 3,9% sangat tidak setuju; dan 9,9% tidak menjawab/tidak tahu.

Pada penelitian tahun 2016, SMRC menemukan 45,9% responden yang mengetahui tentang LGBT dan mempunyai keluarga LGBT menyatakan akan tetap menerima mereka sebagai anggota keluarga, meskipun mayoritas responden keberatan bila orang-orang LGBT menjadi tetangga atau pejabat pemerintah.

Penelitian yang sama juga menemukan, 41,1% responden menyatakan LGBT tidak punya hak hidup di Indonesia, sedangkan 57,7% menyatakan sebaliknya. Angka 41,1% disoroti dan dianggap preseden buruk oleh salah seorang audiens. Ada 41,1% responden menganggap hak paling mendasar manusia tidak layak dimiliki LGBT.

“Ini angka [41,1% responden] yang enggak kecil, lho,” komentar dia.

Di samping merilis hasil survei, SMRC menggelar diskusi dengan pembicara dari berbagai latar belakang: Dina Listiorini selaku kandidat doktor Komunikasi UI, Irwan Hidayana selaku pengajar Antropologi Gender UI, pendeta Martin Sinaga selaku dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Ryu Hasan selaku ahli bedah syaraf, dan Kiai Imam Nakhai selaku pengajar di Ma'had Aly, Situbondo, Jawa Timur.

Menolak Diskriminasi

Dalam kesempatan tersebut, Dina berpendapat kasus diskriminasi terhadap LGBT tidak ubahnya kasus kekerasan 1965 lantaran ada upaya silencing sehingga orang-orang LGBT tidak bisa mengungkap identitasnya dengan bebas di masyarakat. Ia menganalogikan eksistensi LGBT di masyarakat dengan Gerwani setelah pembantaian PKI dibungkam dan keterlibatan dengan hal ini dianggap sebagai momok.

Dari kacamata neuroscience, Ryu Hasan mengatakan ada keberpihakan terhadap LGBT dalam ilmu kedokteran. Ini berbeda dengan biologi, kedokteran tidak bisa lepas dari pertimbangan nilai moral yang berlaku.

“Kedokteran itu bukan biologi. Biologi enggak bahas kesetaraan. Yang dilihat di biologi adalah variasi, sementara kedokteran ada kecenderungan menggolongkan mana yang normal dan enggak. Saat menentukan yang normal ini, nilai moral masuk,” ungkapnya. Menurut dia, keputusan moral sejajar dengan keputusan politik.

Batasan normal atau tidak dalam ranah kedokteran, kata Ryu, seyogyanya terkait dengan nyawa manusia, apakah seseorang gampang sakit dan meninggal atau tidak. Selain itu, yang disoroti adalah individual human welfare, bukan perkara sosialnya.

Saat menyinggung isu LGBT, Ryu mengatakan, yang semestinya disoroti secara medis adalah kondisi mental yang tidak nyaman dengan diri sendiri. “Perasaan tidak nyaman dengan identitas gendernya ini yang dibilang penyakit, bukan orientasi seksualnya,” kata Ryu.

Dari kacamata Islam, Kiai Imam Nakhei menyatakan bahwa LGBT tidak bisa dihukum selama belum ada perbuatannya. Sebagai orientasi seksual dan sebatas berada dalam pikiran dan perasaan, LGBT tak bisa disalahkan. Ia menyitir seringnya narasi Islam dipakai untuk mengeksklusi LGBT lantaran banyak orang yang kurang paham dalam menyambungkan teks kitab suci dengan LGBT.

“Ayatnya benar, memasangkan ke LGBT-nya yang tidak tepat,” kata Imam.

Lebih lanjut ia menjabarkan, Alquran tidak membicarakan lesbian, transgender, dan biseksual. Jika pun membicarakan soal gay, yang dipersoalkan adalah sodominya. Ia lalu menutup dengan pendapatnya bahwa manusia mana pun, termasuk yang kafir, mempunyai hak sebagai warga negara.

Paparan para pembicara ini ditanggapi audiens. Salah seorang audiens perempuan yang tidak menyebutkan namanya dan mengaku sebagai dokter memberi pernyataan dengan membawa sejumlah catatan berisi statistik penderita HIV/AIDS yang dikaitkan dengan LGBT. Ia menyatakan bahwa penderita HIV/AIDS terbesar saat ini berasal dari kalangan LGBT. Pendapat ini diklaimnya didasari data yang berasal dari Kementerian Kesehatan tahun 2017.

Pendapat perempuan ini sempat mendatangkan reaksi dari beberapa audiens lain. Salah seorang di antaranya seorang transgender yang memperkenalkan diri sebagai Mami Yuli. Yuli mencoba memberikan tanggapan terhadap data HIV/AIDS dan LGBT yang dinilainya mengarah pada sikap diskriminasi.

Yuli berpendapat, perlu ada porsi yang imbang dalam melihat kehidupan LGBT agar citra yang ada di masyarakat tidak selalu buruk dan mereka bisa mengakses hak-hak dasar sebagaimana warga negara yang heteroseksual.

“Kami ini enggak minta perkawinan sejenis dilegalkan. Kami cuma mau hak bekerja, berpendidikan, dan berekspresi diberikan,” ungkap Yuli yang mengaku mahasiswa doktoral salah satu universitas swasta di Jakarta.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani