Menuju konten utama

Survei: Kalimantan Utara Paling Toleran, Aceh Paling Intoleran

Penelitian kuantitatif tentang tingkat intoleransi antar-umat beragama bermasalah secara metodologis. Adakah cara lain yang lebih tepat?

Survei: Kalimantan Utara Paling Toleran, Aceh Paling Intoleran
Nathanael Sumaktoyo, ilmuwan politik dari University of Notre Dame. tirto.id/Sabit

tirto.id - Seperti apakah variasi tingkat toleransi beragama umat muslim di pelbagai provinsi di Indonesia? Provinsi mana yang paling toleran dan mana yang tidak? Bagaimana mengukur toleransi beragama di pelbagai wilayah lewat metode survei?

Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas amatlah penting dan bisa membantu kita memahami bagaimana toleransi di tingkat daerah dipengaruhi oleh dinamika politik lokal, atau bagaimana tingkat toleransi naik dan turun dari waktu ke waktu.

Namun, meski ada banyak survei tentang toleransi beragama di Indonesia, pertanyaan-pertanyaan yang tampaknya sederhana ini belum memiliki jawaban memuaskan. Kebanyakan survei cenderung mengabaikan pentingnya variasi subnasional (riset lintas regional baik di tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi). Pihak yang menggeluti topik ini pun menggunakan metode statistik, yang tidak memungkinkan perbandingan atau pengukuran toleransi yang tepat.

Toleransi beragama memiliki aspek politik dan sosial. Secara politis, toleransi beragama didefinisikan sebagai kesediaan kaum muslim untuk menghormati hak-hak non-muslim. Secara sosial, toleransi beragama berarti orientasi positif umum terhadap pengikut agama lain. Hal ini lebih terkait dengan stereotip, perasaan, dan ketiadaan prasangka.

Beberapa survei, misalnya penelitian Wahid Foundation 2016 atau survei Lembaga Survei Indonesia tahun 2006, telah berusaha memberikan gambaran toleransi baik di tingkat nasional maupun subnasional. Studi lain oleh Kementerian Agama (Kemenag) pada 2013 juga penting diamati. Penelitian ini menyurvei 3.300 orang di 33 provinsi untuk membandingkan tingkat toleransi—atau dalam bahasa Kemenag, "kerukunan beragama”—di tingkat provinsi.

Pendekatan penelitian-penelitian ini sangat to the point: responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang toleransi. Setiap jawaban responden kemudian dirata-rata untuk menghitung skor toleransi responden. Jika ingin mengukur skor toleransi tingkat provinsi, peneliti akan melakukannya dengan menghitung rata-rata skor toleransi para responden di setiap provinsi tersebut.

Meskip umum digunakan, pendekatan semacam itu memiliki tiga keterbatasan.

Pertama, masalah pembobotan (weighting). Dengan merata-rata tanggapan setiap responden untuk pertanyaan toleransi, peneliti secara implisit menganggap semua pertanyaan mengenai toleransi sama pentingnya. Tentu saja peneliti dapat secara a propri memberikan poin yang berbeda pada tiap pertanyaan survei. Tapi, itu artinya berlaku asumsi bahwa responden punya persepsi yang sama dengan peneliti soal nilai penting (signifikansi) dari pertanyaan yang diajukan.

Kedua, masalah data hilang (missing data). Seringkali responden harus dikeluarkan dari analisis karena mereka tidak menjawab seluruh pertanyaan dengan lengkap. Hilangnya responden berarti hilangnya informasi dari responden.

Ketiga, masalah ketidakpastian statistik. Mengukur skor tingkat provinsi dengan menghitung rata-rata jawaban responden di setiap provinsi hanya akan memberikan kita perkiraan umum untuk setiap provinsi. Namun, informasi soal ketidakpastian di sekitar perkiraan tersebut tak bisa diperoleh. (Analoginya: sama dengan tidak memiliki informasi tentang margin of error dalam survei). Cara seperti ini nantinya mempersulit kita memeriksa apakah ada perbedaan statistik yang signifikan dalam konteks antar-provinsi.

Memakai Model Bayesian

Memperkirakan Toleransi dengan Model Bayesian Guna mengatasi keterbatasan yang telah disebutkan di atas. Peneliti dapat menggunakan model respon item Bayesian (IRT Bayesian) dalam menganalisis hasil survei tentang toleransi. (Diskusi rinci tentang model Bayesian berada di luar lingkup tulisan ini. Untuk pembaca yang tertarik, ada banyak karya yang bisa dirujuk).

Model IRT Bayesian memungkinkan peneliti untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang telah disebutkan sebelumnya. Model ini mampu mengatasi problem pembobotan dengan secara otomatis memberikan bobot kepada pertanyaan-pertanyaan yang bisa lebih terang membedakan antara responden toleran dan non-toleran. Pembobotan pertanyaan ini juga memungkinkan peneliti dan pembaca untuk memeriksa pertanyaan atau topik mana yang lebih sensitif ketika menyangkut toleransi beragama.

Dalam hal masalah data hilang, pendekatan Bayesian memiliki perangkat yang lebih lengkap untuk menangani data hilang karena proses estimasi iteratif dan penggunaan informasi yang sudah ada (prior information). Dengan demikian, peneliti dapat menyimpan semua informasi responden selama mereka menjawab setidaknya satu pertanyaan. Kehilangan informasi dapat dikurangi seminimal mungkin.

Terakhir, pendekatan ini tak hanya mampu memberikan perkiraan umum untuk masing-masing provinsi tetapi juga ukuran ketidakpastian dalam bentuk interval kredibel (credible interval) di sekitar masing-masing perkiraan. Dengan begitu, peneliti dapat mengukur ketidakpastian dan memeriksa apakah, misalnya, tingkat toleransi dua provinsi berbeda satu sama lain secara statistik.

Skor Toleransi: Aceh Paling Intoleran, Kalimantan Utara Paling Toleran

Pada Oktober 2016, saya menyertakan lima pertanyaan tentang toleransi umat Islam terhadap orang Kristen dalam survei SMRC nasional kepada 1.035 responden. Setiap pertanyaan memiliki empat kemungkinan jawaban mulai dari "1" (sangat tidak setuju) hingga "4" (sangat setuju). Saya mengkalkulasi setiap respon yang diberikan dan skor yang lebih tinggi mencerminkan toleransi yang juga lebih tinggi.

Tabel 1. Pertanyaan Toleransi yang Digunakan dalam Studi

  1. Orang Kristen sering tidak jujur ​​dan mementingkan diri sendiri.
  2. Indonesia akan menjadi lebih baik jika tidak ada orang Kristen di negara ini.
  3. Orang Kristen memiliki hak untuk dipilih sebagai bupati, walikota, atau gubernur, bahkan di wilayah yang mayoritas kaum Muslim.
  4. Saya akan menentang jika ada gereja yang dibangun di lingkungan saya.
  5. Orang Kristen harus diizinkan untuk melakukan demonstrasi untuk memprotes diskriminasi terhadap agama mereka.
Karena tujuannya untuk memperkirakan dan membandingkan tingkat toleransi umat Islam di seluruh provinsi Indonesia, saya hanya menganalisis 925 responden yang mengidentifikasi Islam sebagai agama mereka.

Gambar 1 menyajikan pembobotan dari setiap pertanyaan (disebut juga koefisien diskriminasi karena membedakan antara responden toleran dan tidak toleran). Setiap pembobotan memiliki interval kredibel 95% (diwakili oleh garis), yang mewakili 95% nilai bobot dengan kemungkinan tertinggi, dan distribusi (diwakili oleh bayangan di belakang garis), yang melingkupi semua kemungkinan nilai pembobotan selama proses estimasi.

Bobot ini menunjukkan seberapa baik pertanyaan membedakan responden yang toleran dan tidak toleran. Semakin besar bobotnya, semakin baik pertanyaannya membedakan responden yang toleran dan tidak toleran.

Infografik opini Mengukur Tingkat Intoleransi Beragama

Pertanyaan yang memiliki koefisien diskriminasi tertinggi terkait apakah responden setuju atau tidak bahwa: a) Indonesia akan menjadi lebih baik jika tidak ada orang Kristen?; dan b) apakah mereka setuju bahwa orang Kristen memiliki hak untuk dipilih sebagai pejabat publik. Artinya, pertanyaan-pertanyaan ini lebih signifikan memberi tahu kita responden mana yang toleran dan yang tidak.

Penelitian di masa mendatang dapat lebih fokus jika memasukkan dua item pertanyaan ini demi mendapatkan banyak variasi statistik dalam jawaban responden (dengan kata lain, mencegah mereka untuk sepenuhnya menyetujui atau tidak menyetujui sebuah pertanyaan) dan untuk menggambarkan secara lebih akurat sikap muslim terhadap non-muslim.

Pertanyaan mengenai gereja dan hak untuk berdemonstrasi memiliki bobot relatif rendah. Hal ini menunjukkan responden yang toleran dan intoleran tidak terlalu berbeda dalam menjawab item-item ini. Mereka semua bisa setuju atau tidak setuju.

Infografik opini Mengukur Tingkat Intoleransi Beragama

Sementara itu, Tabel 2 menyajikan perkiraan tingkat toleransi agama di tiap provinsi. Semakin tinggi nilainya, semakin tinggi tingkat toleransi di provinsi tersebut. Gambar ini juga menyajikan jumlah responden di setiap provinsi.

Kita bisa melihat dua pola yang menonjol di sini. Pertama, provinsi dengan lebih banyak responden memiliki interval kredibel yang lebih sempit, mencerminkan kepastian lebih tinggi tingkat toleransinya. (Dalam praktiknya, meski tidak secara konseptual, ini mirip dengan konsep margin of error dalam metodologi survei). Perkiraan peneliti menjadi lebih tepat karena peneliti memiliki lebih banyak responden—hal yang harus diingat untuk penelitian lanjutan.

Kedua, memang ada variasi cukup besar pada tingkat toleransi di pelbagai provinsi. Secara garis besar, Aceh adalah yang paling intoleran, sementara Kalimantan Utara paling toleran. Di antara provinsi-provinsi di Jawa, Banten adalah provinsi paling intoleran, diikuti oleh Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

Penggambaran mengenai tingkat toleransi menjadi lebih berwarna ketika peneliti menggunakan interval kredibel. Pada dasarnya, tingkat toleransi dua provinsi secara statistik berbeda pada tingkat 95% jika interval kredibelnya tidak tumpang tindih, atau jika proporsi tumpang tindih kurang dari 50%.

Misalnya, Aceh dan Banten sebenarnya tidak begitu berbeda karena interval kredibel mereka tumpang tindih, tetapi Banten dan Jakarta berbeda karena kurang dari 50% interval kedua provinsi tumpang tindih. Bahkan, kita dapat melihat bahwa Banten secara signifikan kurang toleran dibandingkan provinsi-provinsi lain di Jawa.

Saya memeriksa validitas skor provinsi dengan menghubungkannya dengan skor toleransi yang dihasilkan oleh Kementerian Agama dan skor kebebasan beragama rilisan Indeks Demokrasi Indonesia 2014 (IDI). Proyek IDI, buah dari kerja sama antara UNDP dan pemerintah Indonesia, mengambil pendekatan yang berbeda karena tidak menggunakan survei opini publik. Sebaliknya, mereka bergantung pada pemberitaan, wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengukur kualitas demokrasi di seluruh provinsi, termasuk tingkat kebebasan beragama.

Korelasi antara skor saya dan IDI adalah r = .422 yang signifikan secara statistik, sedangkan korelasi antara skor saya dan Kemenag adalah r = .265 (tidak signifikan secara statistik). Korelasi yang lebih rendah dengan kajian Kemenag tampaknya didorong oleh kurangnya validitas skor Kemenag itu sendiri dibanding nilai yang saya peroleh, karena skor Kemenag memiliki korelasi yang lebih rendah dengan skor IDI (r = .083, tidak signifikan secara statistik).

Penelitian Lanjutan: Apa yang Harus Didalami?

Penelitian lanjutan apa yang dapat kita lakukan dengan skor tersebut? Setidaknya ada dua arah penelitian yang dapat dirancang di masa depan.

Pertama, kita dapat menggunakan skor yang didapat untuk memahami bagaimana variasi toleransi antar-provinsi terkait atau dipengaruhi oleh kualitas demokrasi provinsi, tingkat pembangunan ekonomi, dan perolehan suara partai-partai Islam. Apakah kualitas demokrasi yang lebih tinggi atau pemerintahan yang efektif memiliki efek positif pada tingkat toleransi penduduk muslim?

Kedua, kita dapat melihat tren toleransi dari waktu ke waktu untuk memahami variasi temporal. Mengukur bagaimana tingkat toleransi meningkat atau menurun di pelbagai provinsi memungkinkan kita mengidentifikasi faktor-faktor lokal apa yang memengaruhi toleransi, atau menghubungkan perubahan skor toleransi dengan riwayat konflik.

Memahami variasi toleransi dari waktu ke waktu juga akan memungkinkan kita menjawab mengapa berbagai media dan organisasi masyarakat sipil melaporkan peningkatan tindakan intoleran di masyarakat.

Apakah meningkatnya tindakan intoleran ini disebabkan oleh masyarakat yang memang semakin intoleran? Apakah meningkatnya laporan tindakan intoleran lebih sebagai konsekuensi meningkatnya kesadaran dan kemauan media dan LSM untuk melaporkan tindakan semacam itu? Ataukah meningkatnya tindakan intoleran ini disebabkan oleh ulah segelintir kelompok yang, meskipun sedikit, makin berani melakukan aksi kekerasan atas nama agama?

Beberapa penelitian telah coba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan melakukan survei hampir tiap tahun untuk melihat bagaimana tingkat toleransi berfluktuasi beberapa tahun belakangan. Namun, pendekatan ini terbatas karena mengabaikan variabilitas sampel. Dan, kemungkinan sampel dari berbagai tahun tersebut memperlakukan pertanyaan survei secara berbeda. Pendekatan Bayesian, di sisi lain, tidak dibatasi oleh asumsi-asumsi tersebut.

=====

Tulisan ini diterjemahkan oleh Irma Garnesia dari "Measuring religious intolerance across Indonesian provinces" yang dimuat di New Mandala pada 1 Juni 2018. Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin penulis dan penerbit.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.