Menuju konten utama

Survei: Aksi 212 Tingkatkan Tren Intoleransi dan Radikalisme

"Sekarang, intoleransi ibadah mengalami kenaikan menjadi 49,2 persen. Sedangkan intoleransi politik naiknya drastis hingga 59,3 persen”

Survei: Aksi 212 Tingkatkan Tren Intoleransi dan Radikalisme
Ilustrasi intoleransi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Burhanuddin Muhtadi, peneliti Indikator Politik Indonesia menilai, tingkat intoleransi di Indonesia cenderung meningkat usai aksi 212 pada 2016 silam. Peningkatan intoleran juga terjadi dalam politik usai aksi 212.

“Kami melakukan studi sistemik setiap tahun. Kami beri pertannyaan yang sama dan gunakan metodologi yang sama. Jadi kami cukup punya kepercayaan diri untuk membandingkan hasil tingkat intoleransi sebelum aksi 212 dan sesudahnya,” kata Burhan di Kios Ojo Keos, Kamis (29/10/2018).

Burhan melakukan survei lima bulan sebelum demo 212 pada 2016, hasilnya rerata tingkat intoleran mencapai 13,7 persen. Dua tahun setelahnya terjadi peningkatan tajam, pada 2018 misalnya, hasil dari tingkat intoleransi di Indonesia meningkat 31 persen.

Menurut Burhan, sebelum aksi 212 berlangsung, tingkat intolerasi di Indonesia masih rendah.

“Berdasarkan grafik penelitian kami, tren penurunan tingkat intoleran tersebut kemudian berhenti. Lalu ketika aksi 212 dilakukan, maka grafiknya naik kembali.”

Awalnya yang terjadi adalah kenaikan intoleransi politik, dari awalnya sentimen pemimpin harus yang berada Islam misalnya yang terjadi saat Pilkada DKI 2017 lalu. Kemudian intoleransi politik tersebut menjalar juga ke intoleransi ibadah.

“Sekarang, intoleransi ibadah mengalami kenaikan menjadi 49,2 persen. Sedangkan intoleransi politik naiknya drastis hingga 59,3 persen,” kata Burhan.

Selain intoleransi, tingkat keinginan melakukan radikalisme (willing radical) setiap tahunnya bertambah. Pada 2016 hanya 7,7 persen, setahun setelahnya kemudian naik jadi 9,3 persen, kemudian 2018 naik lagi jadi 11 persen.

Burhan jelaskan, willing to radical artinya seseorang yang belum pernah melakukan perusakan rumah ibadah agama lain, belum mendemonstrasi kelompok yang dianggap memecah agama, belum menyumbang ke organisasi yang akan mewujudkan negara Islam, dan lainnya. Namun jika ada kesempatan melakukan hal tersebut, responden bersedia melakukan.

“Ada peneliti yang bilang bahwa aksi 212 adalah puncak dari intoleransi dan radikalisme. Namun dari hasil penelitian kami ternyata tidak. Aksi 212 adalah awal dari menaiknya kembali tren intoleransi dan radikalisme yang sebelumnya cenderung turun,” ujar Burhan.

Hasil studi ini juga membantah argumen pengamat yang mengatakan aksi 212 hanya bersifat jangka pendek. Data yang ada menunjukkan aksi tersebut telah meninggalkan warisan jangka panjang. Bukan saja dilihat dari naiknya tren intoleransi, tapi juga berimplikasi serius terhadap politik elektoral. Naiknya politik identitas dalam diskursus politik nasional dan lokal tak bisa dilepaskan dari aktor-aktor utama aksi 212.

“Jadi terpilihnya Kiai Maruf Amin sebagai Cawapres, terpilihnya UU sebagai Wagub Jawa Barat, atau Gus Yasin di Jawa Tengah. Itu suka tidak suka, adalah legacy dari 212. Bahkan politisi yang datang dari kelompok nasionalis sekalipun mempertimbangkan soal sentimen Muslim yang sekarang menguat. Dan itu menunjukkan bahwa 212 tidak berhenti ketika ahok kalah maupun masuk penjara.”

Selain meningkatnya tren intoleransi paska 212, Burhan melihat bahwa terjadi kenaikan popularitas organisasi Islamis juga tokoh-tokohnya. Berdasarkan penelitiannya, Burhan mengatakan awalnya hanya sedikit sekali yang membicarakan Habib Rizieq, sekarang figurnya jadi penentu utama dari segi agenda elektoral.

“Jadi seperti saya bilang, 212 punya warisan yang tidak pendek. Saya tidak tahu seperti apa nanti di 2019,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait REUNI 212 atau tulisan lainnya dari Rizky Ramadhan

tirto.id - Politik
Reporter: Rizky Ramadhan
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Yantina Debora