Menuju konten utama

Survei AJI Jakarta: Jurnalis Kerap Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Survei AJI Jakarta menyebut jurnalis juga korban kekerasan seksual. Pelakunya termasuk narasumber dan rekan sekantor.

Survei AJI Jakarta: Jurnalis Kerap Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Sejumlah mahasiswa gabungan dari berbagai kampus langsungkan aksi damai di depan Gedung Kemendikbud untuk menuntut Kemendikbud turun tangan atas masalah kekerasan seksual di ranah kampus, Jakarta, Senin (10/2/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyebut jurnalis terutama yang perempuan kerap menjadi korban kekerasan seksual. Demikian temuan utama dari survei bertajuk “Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis” yang dirilis hari ini, Sabtu (16/1/2021).

Survei yang dilakukan pada Agustus 2020 ini diikuti oleh 34 jurnalis dari berbagai kota. Dari 34 jurnalis dari berbagai kota yang mengisi kuesioner, terdiri dari 31 perempuan dan 3 laki-laki, 25 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual.

“Satu korban saja sudah terlalu banyak. Penting diangkat sebagai konteks keselamatan jurnalis secara umum,” kata perwakilan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Nenden Sekar Arum merespons hasil survei secara virtual, Sabtu.

Sebanyak 15 responden menjawab mengalami pelecehan saat liputan, 8 saat di kantor, 15 di luar waktu kerja yang masih berhubungan dengan profesi, dan 1 dalam acara pertemuan jurnalis.

Survei AJI juga mengungkapkan kalau tiap responden mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual.

Berdasarkan lokasi, kekerasan seksual dialami hampir di mana saja. Antara lain, kantor pemerintahan, rumah narasumber, gedung DPR/DPRD, kantor, kantor partai, transportasi publik, acara giat aparat, sampai ruang siber.

Bentuknya bermacam-macam, mulai dari catcalling, perkosaan, disentuh/dipegang, sampai dikirimi pesan seksual.

Dari sisi pelaku, AJI mencatat 13 responden menjawab pejabat publik. Ini pelaku terbanyak. Kemudian diikuti oleh sesama jurnalis media lain 11 responden, teman sekantor media 10 responden, atasan di kantor media 10 responden, narasumber non pejabat publik 8 responden, sampai aparat.

Sebanyak 63,3 persen responden memilih tak melapor. Ketika ditelusuri lebih dalam, sebagian besar menjawab respons dari aduan mereka ternyata tidak ditanggapi. Sebagian direspons tapi tidak dilanjutkan, bahkan berujung intimidasi dari kantor maupun pelaku.

Perlu SOP

Koordinator Survei AJI Jakarta Widia Primastika merekomendasikan perusahaan media massa untuk lekas membuat mekanisme baku penanganan kekerasan seksual. Bahkan lembaga seperti AJI juga perlu memilikinya. Hal ini juga didorong oleh narasumber lain dalam acara peluncuran survei ini.

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Kesetaraan Gender (KAKG) Justitia Avila Veda mengatakan SOP penting untuk menjamin korban berani berbicara maupun melapor. SOP ini perlu memberi jaminan kerahasiaan identitas, kejelasan penyelesaian, dan tindak lanjut laporan sampai mengatur rujukan psikis-psikologis.

Lembaga seperti Dewan Pers pun juga dapat didorong memfasilitasi SOP ini. Veda bilang, “Dewan pers punya fungsi memfasilitasi organisasi pers dalam penyusunan kode etik dan standar.”

Rekomendasi AJI pun diamini Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika. Ia bilang, “sejauh ini belum ada media yang punya SOP pedoman khusus.” Wahyu mengatakan AMSI siap bila diminta duduk bersama dalam penyusunan SOP itu termasuk ketika dibahas di Dewan Pers.

Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo memberi lampu hijau pada pembentukan SOP ini. “Kalau mereka [media] mau bikin SOP, kami tidak bisa menolaknya.”

Agus mendorong agar draf SOP bisa segera dirampungkan agar ia dapat membahasnya bersama pimpinan media. Setelah itu SOP bisa disahkan dan menjadi aturan Dewan Pers.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Hukum
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino